Hits: 37

Fadillah Maharani, seorang mahasiswi di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara mampu mendapatkan penghasilan berkat kemampuan berbahasa Inggris yang ia asah sejak SD. Foto : Nadya Vristissya.

Pijar, Medan. Bahasa Inggris merupakan kemampuan yang sangat dibutuhkan dewasa ini, mengingat perkembangan zaman yang semakin modern dan keterbukaan hubungan antar satu negara dengan negara lain. Saat ini Bahasa Inggris merupakan bahasa internasional yang wajib digunakan saat terjadi hubungan kerjasama antar satu negara dengan negara lain. Bahkan bagi dunia pariwisata. Bahasa Inggris menjadi bahasa wajib untuk mempermudah komunikasi antar masyarakat di seluruh dunia. Dikalangan anak muda, berbicara menggunakan Bahasa Inggris terlihat lebih keren dan bergengsi.

Berangkat dari sanalah, Fadillah Maharani seorang mahasiswi di Fakultas Matematika  dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara ( USU) ingin terus meningkatkan kemampuannya untuk belajar Bahasa Inggris. Meski pada awalnya dikarenakan dukungan orang tua, namun hal tersebut akhirnya menyadarkannya akan pentingnya Bahasa Inggris. Ia pun mengikuti bimbingan belajar (bimbel) sejak duduk dikelas 6 SD. Gadis berkulit putih yang biasa dipanggil Dila ini kemudian melanjutkan keinginannya untuk mengasah kemampuan Bahasa Inggrisnya hingga jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA).

Sekitar tahun 2010, Dila diminta untuk mengajukan lamaran kerja di bimbel tersebut karena kemampuan Bahasa Inggrisnya sudah tidak diragukan lagi, Dila pun memenuhi permintaan tersebut dan tak lama kemudian ia diterima menjadi staf pengajar disana. Kecintaannya pada Bahasa Inggris tak hanya tertuang lewat proses mengajar di bimbingan belajar saja tetapi ia juga pernah menjadi penyiar pendamping di sebuah radio dan membawakan program Bahasa Inggris untuk anak-anak. Hal tersebut berlanjut hingga akhirnya Dila kebanjiran tawaran untuk mengajar murid SD dan SMP dari pintu ke pintu.

Pada awal mula mengajar ia hanya dibayar Rp 16.000,-perkelas dan penghasilan tersebut harus bersaing dengan waktu sekolah Dila pada saat itu masih duduk dibangku SMA. Namun hal tersebut tidak membuat ia menjadi malas untuk mengajar karena baginya mengajar adalah kesempatan untuk belajar lebih banyak lagi. Kini penghasilan perempuan bermata cokelat itu mencapai Rp 200.000,- perkelas perbulan dari hasil mengajarnya. Apalagi setelah ia masuk perguruan tinggi, ia memiliki waktu yang lebih fleksibel sehingga bisa memperbanyak jam mengajarnya.

Dila mengaku bahwa penghasilannya sebagai pekerja paruh waktu sangat cukup untuk sekelas mahasiswa. Penghasilan tersebut ia gunakan untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari sehingga ia dapat mengurangi beban orang tuanya. Bahkan dirinya bisa membeli sejumlah sarana yang dapat menunjang kegiatannya sepertisepeda motor dan laptop. Bagi Dila mengajar Bahasa Inggris adalah kemampuan yang harus dibaginya dengan orang lain. Untuk urusan bahan ajar, Dila mengaku tidak terlalu menggunakan gadget namun ia menghimpun sendiri bahan ajar yang diajarkannya lewat buku-buku pelajaran.

“Selagi punya ilmu ya dibagi sajalah”, ujarnya saat ditemui reporter mediapijar.com (1/5) lalu.

Selain mengajar, Dila ternyata juga berprestasi dibidang lain seperti menulis. Sejumlah kejuaraan pernah ia raih seperti Juara II kategori mahasiswa pada Lomba Karya Tulis Ilmiah se-Kota Medan pada peringatan Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2011 serta meraih juara harapan III pada lomba menulis yang diadakan oleh Jamsostek. Bakat menulisnya diturunkan dari sang ayah, seorang wartawan yang juga sering memenangkan sejumlah lomba menulis. Hal tersebut yang memotivasinya untuk terjun dalam dunia menulis.

Kecintaan Dilla pada Bahasa Inggris tak hanya tertuang lewat proses mengajar di bimbingan belajar saja tetapi ia juga pernah menjadi penyiar pendamping di sebuah radio dan membawakan program Bahasa Inggris untuk anak-anak. Foto : Nadya Vristissya.

Dila mengatakan bahwa ia tidak pernah  bosan mengajar karena ia suka dengan anak-anak, sebab ia merupakan anak tunggal dalam keluarganya. Namun perjalanan hidup Dila tidak selalu mulus. Ia menceritakan lebih dalam bahwa ia pernah mengalami masa kritis dalam hidupnya yaitu pada saat orang tuanya harus bercerai disaat ia akan menghadapi Ujian Nasional. Tentu hal tersebut sangat berpengaruh terhadap sekolahnya pada waktu itu. Sejak saat itu pula ia semakin memantapkan diri bahwa ia harus menjadi sosok yang lebih mandiri agar tidak selalu bergantung dengan orang tua yang kondisinya yang tidak bersama lagi.

Walaupun begitu, kedua orang tua Dila tetap mendukung kegiatan mengajarnya . Terutama sang ibu yang setia menemani Dila mengurus surat lamaran, menemani saat siaran dan kegiatan lainnya. Dalam kehidupannya sebagai seorang pelajar yang biasanya kebanyakan waktunya dihabiskan untuk bermain bersama rekan sebaya, dirinya pun tak lepas dari kritikan dari teman-temannya.

“Aku kan jarang punya waktu untuk main bareng temen ya mereka suka ngomong aja gitu, aku cari duit terus setiap kali diajak nonton. Tapi aku coba kasih pengertian aja sih” ujarnya.Saat ditanya mengenai cita-citanya, ia mengatakan bahwa ia ingin menjadi dokter karena itu merupakan permintaan sang ibu yang belum sempat diwujudkannya.

Salah seorang teman Dila bernama Muai mengatakan bahwa dirinya iri dengan temannya tersebut karena kemandirian yang dimiliki temannya itu. Selain itu ia juga mengambarkan sosok Dila sebagai sosok yang baik dan suka membantu teman-temannya jika menghadapi kesulitan dalam belajar.

Pendidikan bagi dara Melayu ini sangat penting dalam menentukan arah dan tujuan masa depan seseorang. Sehingga ia sangat gigih memperjuangkan pendidikannya meski berkali-kali gagal dalam serangkaian tes kelulusan penerimaan mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Usai menyelesaikan studinya di SMA Harapan Medan, Ia mencoba melamar menjadi mahasiswa fakultas kedokteran USU,Teknik Sipil USU, Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) lewat sejumlah jalur uji coba seperti SNMPTN dan UMB namun tidak lulus.Hingga pada usahanya yang terakhir, ia berhasil lulus di Jurusan Teknik Informatika Diploma 3 FIMPA USU.

“Bagi saya, Impossible is possible. Jadi guru saya adalah keinginan saya selanjutnya supaya bisa terus berbagi,” akhirnya menutupi wawancara. [nk]

Leave a comment