Hits: 41

Patrycia Gloryanne Pasaribu

Pijar, Medan. Seruan “Peringatan Darurat” saat ini telah mencuri perhatian publik. Kabar ini menyebar secepat kilat sebab Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) memanuver keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat pencalonan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024.

Permasalahan diawali dengan putusan MK yang merubah syarat ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah, yaitu tidak harus mengumpulkan minimal 20% kursi DPRD dan 25% suara sah dari partai politik/gabungan partai politik. Selain itu, MK juga memutuskan untuk menetapkan batas umur calon kepala daerah tingkat provinsi, yaitu berusia 30 tahun pada saat ditetapkan sebagai kandidat resmi.

Namun, putusan MK ini langsung direspon oleh DPR RI, sehingga mereka merevisi UU Pilkada dengan tetap memberlakukan threshold sesuai dengan peraturan lama dan mengadopsi aturan batas umur dari Mahkamah Agung (MA), yaitu berusia 30 tahun pada saat dilantik.

Opini publik yang muncul menyatakan bahwa keputusan tersebut memungkinkan Kaesang Pangarep, putra dari Presiden RI Joko Widodo, bisa maju dalam Pilkada 2024 setelah namanya dicalonkan oleh beberapa partai politik.

Kabar ini mengundang amarah dan ketidakterimaan dari masyarakat Indonesia. Sehingga, warganet pun gencar untuk mengunggah gambar berlogo Burung Garuda dengan latar berwarna biru yang bertuliskan “Peringatan Darurat” dan menyertakan tagar yang berisi “Kawal Putusan MK”.

Dilansir dari cnnindonesia.com, gambar ini berasal dari potongan video akun Youtube EAS (Emergency Alert System) Indonesia. Salah satu akun di X, yakni @BudiBukanIntel awalnya mengunggah gambar tersebut hanya sebagai lelucon semata. Tetapi, poster ini akhirnya dimanfaatkan sebagai bentuk perlawanan serius masyarakat atas krisis politik yang terjadi di Indonesia.

Problematika ini berujung pada demonstrasi sekumpulan mahasiswa yang menyuarakan aspirasi dengan melakukan aksi turun ke jalan. Terdapat beberapa titik menjadi target para pendemo, mulai dari Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Bandung, Medan, dan beberapa wilayah lainnya.

Di balik masyarakat yang aktif merespon ketidakpuasannya terhadap keputusan itu, bagian masyarakat lainnya dinilai bersikap tone deaf akan kasus ini. Secara harfiah, tone deaf diartikan sebagai “buta nada”. Namun, istilah ini merujuk pula kepada pihak-pihak yang tidak peduli terhadap situasi sosial.

Tengku Raihan Anandyta Pasha, mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara (USU) yang turut berpartisipasi dalam Seruan Aksi di DPRD Provinsi Sumatera Utara beberapa hari silam, memberikan tanggapannya mengenai sikap masyarakat terhadap kasus ini.

“Mereka yang tone deaf tidak bisa sepenuhnya disalahkan sebab banyak sekali disinformasi dan propaganda yang tersebar, sehingga sangat mungkin bahwa mereka tidak dapat melihat masalah apa yang sebenarnya terjadi. Sudah tugas kita untuk mengedukasi agar mereka melek soal isu ini, tapi patut digarisbawahi bahwasanya keberadaan mahasiswa yang tone deaf adalah suatu kekecewaan yang amat besar karena sepatutnya mahasiswalah yang paling peka soal masalah dan isu yang ada di publik,” tuturnya.

Raihan juga membagikan alasannya turun ke jalan. Pelanggaran konstitusi yang terjadi memicu kemarahan publik dan aksi ini menjadi momentum bagi seluruh masyarakat, terkhusus bagi dirinya sendiri untuk menyampaikan aspirasi rakyat atas keculasan-keculasan yang dilakukan oleh Rezim.

“Aksi demonstrasi merupakan salah satu medium untuk menunjukkan protes dan menyampaikan aspirasi kita sebagai warga negara yang dilindungi hak konsitusinya. Namun, tindakan lain seperti mengedukasi publik soal isu yang beredar, gerakan-gerakan virtual, dan advokasi yang bersifat legal juga sangat membantu pergerakan. Kita tidak bisa membatasi ruang pergerakan hanya pada aksi demonstrasi saja,” tutupnya.

 

(Redaktur Tulisan: Marcheline Darmawan)

Leave a comment