Hits: 24
“Kenapa mereka menyebutnya pahlawan padahal dia merampas dari kita?”
Star Munthe
Pijar, Medan. Kembali ke akhir abad 20, ketika pertama kali cerita masyarakat Cina tentang seorang perempuan yang berpura-pura menjadi laki-laki, demi melindungi keluarga dan negerinya diangkat ke layar lebar melalui animasi garapan Disney. Perempuan itu bernama Mulan, sosok yang semula pahlawan dalam cerita rakyat dan kartun Disney, kini menjadi tokoh yang kental dengan intrik politik masyarakat Hong Kong—penyebabnya, aktornya tak bertindak seperti pahlawan yang menyelamatkan masyarakat Cina, bagian Hong Kong.
Sejatinya pula, Mulan dalam cerita rakyat adalah representasi dari pemberontakan akan dominasi laki-laki. Seorang tokoh feminis yang lantang menggaungkan bahwa perempuan juga bisa jadi pahlawan—sosok yang melindungi, bukan hanya dilindungi. Pandangan yang mengakar pada masyarakat Cina kuno, bahwa bicara tentang perang adalah bicara tentang urusan laki-laki. Tapi tulisan ini tak akan mengalir lebih jauh pada semiotika Mulan dan sinematografinya. Tulisan ini lahir dari suara pemberontakan.
Kembali ke pertengahan 2019, di mana Hongkong mengalami salah satu krisis paling parah sepanjang sejarah negara tersebut. Penyebabnya adalah demonstrasi masyarakat Hong Kong yang menolak dikeluarkannya undang-undang ekstradisi, yang akan membuka jalan terbuka bagi Cina daratan untuk menangkap pelaku kriminal di Hong Kong. Bagi masyarakat Hong Kong, ini lebih dari itu, tindakan tersebut malah membuat Cina menjadi semakin berkuasa di Hong Kong dan mengontrolnya dengan kediktatoran.
Usul tersebut ditolak oleh masyarakat Hong Kong dan menuntut pemerintah segera membatalkan rancangan undang-undang tersebut. Setelahnya malah memperlebar sayap demonstran ke berbagai tuntutan. Gerakan tersebut begitu masif dan hampir tak tertandingi aparat kepolisian Hong Kong—mereka menjulukinya ‘Gerakan Payung’.
Baku hantam tak terelakkan. Kepolisian Hong Kong yang seharusnya menjadi pihak yang menetralkan konflik dan memberikan rasa aman bagi masyarakatnya, malah menjadi momok musuh masyarakat yang kerap tertangkap melakukan kekerasan kepada aktivis Hong Kong.
Melalui beberapa kemenangan dengan dipenuhinya ruas-ruas jalan oleh masyarakat dan ditinggalkannya banyak sektor ekonomi, memaksa pemerintah dan bidak caturnya untuk terpukul mundur. Melalui kemenangan demi kemenangan, aktivis Hong Kong juga menyuarakan demokrasi yang lebih luas untuk Hong Kong. Melalui konflik tersebut, tergambar ketidakinginan masyarakat Hong Kong untuk bergabung dengan Cina. Terlebih lagi dua negara ini sejatinya memiliki budaya perpolitikan yang berlawanan.
Pro-demokrasi adalah istilah yang paling banyak digaungkan dan menggambarkan isi hati mereka yang berani melawan aparat keamanan. Kenapa masyarakat ini begitu berani melawan aparat? Pertanyaan tersebut dijawab oleh pernyataan Whiji Thukul pada puisi berjudul “Peringatan” yang lahir selama periodesasinya melawan kediktatoran Orde Baru di Tanah Air.
“Ketika usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif, dan menganggu keamanan. Hanya ada satu kata: lawan.”
Disney Memberi Nangka dan Disney Terkena Getahnya
Belum selesai di Asia Timur, Hollywood hadir pada akhir tahun 2019 dan memperkeruh suasana melalui trailer film Mulan versi live-action. Melalui pengumuman trailer tersebut, diketahui bahwa film Mulan dibintangi aktor Cina kenamaan—di sisi lain tak ada keterlibatan masyarakat Cina langsung untuk posisi di belakang layar.
Film ini awalnya digadang akan menjadi salah satu film blockbuster. Karena sejatinya, film tersebut telah menyerap anggaran sebesar 200 juta dolar. Jumlah yang besar untuk impian yang besar, terlebih lagi strategi pasar Disney untuk mengeker masyarakat Cina terbilang sangat tepat, karena Cina adalah salah satu negara yang paling memberi sumbangsih konsumen pada industri hiburan Amerika.
Perencanaan tersebut sempat buyar karena pandemi yang juga berasal dari daratan Cina. Film Mulan sempat ditunda perilisannya. Tapi kemudian Disney mengumumkan akan menayangkan film tersebut perdana melalui televisi berlangganan miliknya, Disney+ pada 4 September 2020.
Sebelum film itu tayang perdana pun, suara masyarakat untuk memboikotnya sudah kuat terdengar. Mengutip surat kabar 5.45 Asumsi, seruan untuk memboikot film Mulan bergema dari Hong Kong dan Thailand. Dilansir dari The Washington Post, penyebabnya adalah pemeran utama Liu Yifei yang memerankan Mulan mencuit sesuatu di media sosial. Cuitannya itu mengusik hati para masyarakat pro-demokrasi pada akhir 2019 lalu.
“Saya mendukung polisi Hong Kong,” tulis Yifei dalam bahasa mandarin. “Silahkan marah-marah, tapi saya malu untuk Hong Kong,” ujar Liu Yifei dalam memberi respon terhadap demonstrasi di Hong Kong.
Di sisi lain, masyarakat Hong Kong yang kontra dengan pernyataan Yifei malah menyuarakan bahwa Agnes Chow adalah Mulan yang sebenarnya. Sosok yang bertindak sebagai pahlawan dan melindungi masyarakat Hong Kong. Agnes Chow adalah aktivis yang ikut berteriak lantang dalam Gerakan Payung. Ia sempat ditangkap oleh kepolisian Hong Kong. Kemudian karena dukungan yang besar dari masyarakat internasional, Agnes akhirnya dibebaskan.
Perdebatan tentang siapa Mulan adalah hal yang belum selesai. Liu Yifei mungkin memainkan peran yang sempurna dalam Mulan dimensi fiksi. Tapi Agnes Chow malah mengimbanginya dengan bertindak layaknya Mulan di dunia nyata.
Lebih dari itu, tindakan Disney dalam memilih momentum penayangan perdana dianggap sebagai agenda terencana. Bagi pemimpin Gerakan Payung sekaligus aktivis pro-demokrasi, Joshua Wong menganggap bahwa apa yang dilakukan industri hiburan Hollywood adalah selalu menjilat kepada Cina. Perlu diketahui bahwa Cina adalah salah satu negara yang paling cepat bangkit dari krisis akibat pandemi corona. Dengan sasaran pasar yang besar dan mobilitas masyarakat yang kian menuju normal, Disney+ dianggap akan merogoh keuntungan besar dari penayangan tersebut.
Alih-alih mendapatkan untung besar, produk Disney yang digadang menjadi film blockbuster tersebut malah mendapatkan penolakan keras dari berbagai kalangan masyarakat. “Boikot Mulan,” begitu kata yang kian dilontarkan masyarakat bahkan sempat menjadi trending di Twitter.
Nasib Mulan yang semula merupakan sosok pahlawan dan motor pergerakan feminis di cerita rakyat Cina malah menjadi tokoh pemecah belah dan penuh intrik politik. Pro-kontra Mulan mewarnai teriakan di ruas-ruas jalanan dan cuitan-cuitan di media sosial yang kian mendorong pemboikotan film Mulan.
(Editor: Widya Tri Utami)