Hits: 79
Alvira Rosa Damayanti
“Ke mana aku akan pergi? Apakah memang langit ada batasnya? Ternyata tidak juga.”- hal 389.
Pijar, Medan. Jika memiliki sebuah tujuan, barulah seseorang akan pergi. Tapi bagaimana ketika tidak memiliki tujuan, seseorang tetap saja terus menyusuri? Itulah yang dituangkan Tere Liye dalam novel yang berjudul ‘Pergi’. Di dalam novel setebal 455 halaman, Tere Liye menuangkan kembali imajinasinya yang kuat ke dalam kisah pencarian tujuan, diselimuti dengan kisah masa lalu.
Novel ‘Pergi’ yang notebenenya adalah sekuel dari novel sebelumnya yang berjudul ‘Pulang’, Tere Liye kembali membuat rasa penasaran pembaca menggebu-gebu. Seperti biasa, Tere Liye selalu dapat mengambil alih imajinasi setiap manusia.
Dalam novel ‘Pulang’ Tere Liye menuliskan sebuah kisah tentang perjalanan pulang yang melalui banyak pertarungan dan juga kesedihan. Maka, setelah jawaban pulang di dapati, jawaban pergi, kini di telurusi.
Kisah Bujang, si pemuda dari Talang pedalaman pulau Sumatra kembali dilanjutkan. Anak laki-laki yang dulunya tidak mengetahui apapun tentang dunia, karena tinggal di pedalaman pulau Sumatra. Kini menjadi seorang pria gagah berumur 35 tahun, yang memimpin lebih dari 500 tukang pukul.
Tukang pukul di sini adalah sekelompok orang yang rela mati kehilangan nyawa untuk melindungi ‘Tauke Besar’, pemimpin sebuah kelompok dalam dunia bisnis gelap. Pemimpin seluruh aset keluarga, dan pemimpin yang mampu menjaga nama baik keluarga yang ia emban.
Bujang- dengan julukan si babi hutan, merupakan pemimpin dari keluarga Tong. Dari pangkat seorang ‘kepala tukang pukul terbaik’, hingga akhirnya dipercayai menjadi pemimpin keluarga menggantikan ‘Tauke Besar’ , yang mati saat terjadinya penyerangan.
Memimpin sebuah keluarga besar yang kekayaannya tidak akan mampu untuk diprediksi, serta memimpin lebih dari 500 lautan manusia, dulunya tidak pernah ada di pikiran Bujang. Malah bagi Bujang sendiri, menjadi ‘Tauke Besar’ adalah sebuah beban dan sebuah pangkat yang penuh dengan tanggung jawab. Cukup dengan menjadi seorang kepala tukang pukul terbaik seperti sebelumnya ,sudah membuatnya senang dan bangga.
Namun, perintah tetaplah perintah. ‘Tauke Besar’ terdahulu mempercayainya untuk menjaga nama baik ‘Keluarga Tong’ setelah dia tiada, menambah pikiran dan menambah beban Bujang.
Bujang yang memilki nama asli Agam tetap harus rela menjalani posisinya sebagai ‘Tauke Besar’, walaupun setiap kali pertanyaan ‘pergi kemana’ selalu terlintas di dalam fikirannya.
Menjalani hari-hari sebagai ‘Tauke Besar’ tidak membuat Bujang dapat bersantai sesuka hati. Bersama dengan para rekan, yang tidak kalah pandai berkelahi, Bujang melewati serangkaian peristiwa sembari mencari kearah jalan mana dia akan pergi, dan mencari sebuah jawaban, kemana sebenarnya keluarga Tong ini akan dia bawa.
Hingga pada akhirnya, Bujang seorang Tukang Pukul tadi yang telah berubah menjadi ‘Tauke Besar’ menemukan arah langkah kemana ia harus ‘Pergi’ dan kapan ia harus kembali ‘Pulang’. Hidup sejatinya memang merupakan sebuah tempat persinggahan hingga kita pada akhirnya menemukan arah, kemana pada tujuan akhir dari perjalanan ini.
‘Aku bukan lagi Tauke Besar, tapi jalan baru yang akan kupilih terbentang penuh tantangan’- hal 454
(Redaktur Tulisan: Hidayat Sikumbang)