Hits: 20
Alfi Rahmat Faisal
Pijar, Medan. Banyak hal di dunia ini yang musykil dilakukan. Namun, tidak berlaku dalam sepak bola dan film India. Sejatinya selama bola masih setengah lingkaran kali dua (baca: bundar), hasil sebuah pertandingan adalah misteri yang sulit diprediksi seperti halnya alam semesta dan “wanita”. Beberapa waktu lalu cerita comeback Barcelona FC menjadi sumbangsih deretan hal-hal mustahil untuk dilakukan seperti halnya adegan dalam film India. Setelah kalah empat gol di leg pertama, Barcelona FC membuat keajaiban di Camp Nou pada leg kedua babak 16 besar Liga Champions. Enam lesakan gol punggawa the cules mengubur mimpi klub asal Paris, PSG (Paris Saint-Germain). Hasil tersebut pula membawa El Barca melenggang ke babak perempat final dengan agregat gol 6-5. Sialnya, kemenangan tersebut ditentukan gol di detik-detik terakhir pertandingan. Saya ulangi, 15 detik terakhir pertandingan akan usai. sebuah rekor comeback terbaik setelah tertinggal 4 gol. Sepanjang sejarah belum ada yang membalikkan keaadaan sebesar ini. Tentu saja Barca adalah sejarah itu sendiri.
Keajaiban yang hampir sama dapat pula dilihat dalam film India. Tengoklah salah satu adegan perkelahian dalam film action Bollywood, Singham. Film ini bercerita tentang seorang polisi jujur, Bajiro Singham, melawan para penjahat korup. Pada salah satu adegan perkelahian, tokoh utama kita hanya menggunakan lampu taman mampu menghantam para musuh sampai terlontar puluhan meter. Bahkan sebuah mobil jeep ikut terpelanting ke dalam laut. Bagaimana Singham menampar musuhnya hingga tubuhnya berputar dua kali tiga ratus enam puluh derajat sebelum jatuh ke tanah. Sebuah kemusykilan bahkan mustahil di dunia nyata. Namun, karena ini film India tentu saja menjadi lelucon atas sesuatu yang hiperbolik dan tidak masuk akal. Ketika kisah Rambo yang berhasil menghabisi pasukan Vietnam dalam perang Vietcong yang legendaris itu sendirian, tak banyak yang menyoal sebab itu bukan film India. Atau lihat pula kisah pahlawan super yang datang dari planet lain dapat menghacurkan apa saja dengan tengan tangan kosong kemudian menyelamatkan dunia, masih bisa dinikmati dan diceritakan tanpa malu tentu saja karena bukan film India. Siapa pula yang berani menjadikan Hollywood lelucon.
Lihat pula bagaimana tarian dan musik kerap menghiasi setiap adegan dalam film dengan koreografi menawan. Film India selalu terlihat ingar-bingar, musik yang bertalu-talu, lagu yang mendayu, barisan penari, kerumunan manusia dan serombongan orang di belakang layar dan cerita. Semua tampak serba kolosal. Bahkan ketika adegan melamun atau sedang bermimpi sekalipun akan ada tarian. Begitulah film India. Hollywood juga tak kalah bingar, baru-baru ini ada La La Land, film bertema musikal yang masuk nominasi tertinggi oscar dan langsung menjadi pembicaraan di berbagai tempat. Sebuah kebangkitan film bertema musikal di industri Hollywood sejak mulai ditinggalkan 1990-an silam. Sialnya, Bollywood sudah lebih dulu merawat tradisi tarian dan nyanyian dalam film ketika Hollywood meninggalkannya dulu.
Namun, tidak banyak yang mau membicarakan film India di depan umum apalagi terang-terangan mengaku penggemar film India. Mungkin tak ada orang Indonesia yang mencintai film India seperti Mahfud Ikhwan. Maksud saya, tentu saja banyak yang menyukai film India. Namun, orang-orang kerap gengsi membicarakannya seperti halnya film porno, terang Mahfud dalam bukunya “Aku dan Film India melawan Dunia”. Lewat buku tersebut, ia berbagi pengalaman menonton film India. Tentang nostalgia, perjuangan menonton, dan kisah sejumlah film terbaik yang pernah dihasilkan industri film Bollywood.
“Di tengah massa yang memuja secara membabi buta segala yang dibuat Hollywood dan histeris berat terhadap terhadap semua hal yang berkait dengan rambut kejur dan kuning langsat, film India tiba-tiba jadi semacam gambar durjana,” tulis Mahfud dalam pengantar bukunya. Penulis agaknya ingin menegaskan posisi dirinya sebagai pecinta film India garis keras, sebuah antitesa di tengah gegap-gempita industri Hollywood dengan milyaran penggemar sekalipun harus melawan dunia. Bukti sebuah bentuk truisme sekaligus dedikasi atas kecintaannya terhadap film India. Jika saja kepalanya adalah sebuah lemari penyimpanan, film india adalah salah satu harta yang tak akan pernah ia buang. Seusang apapun. Dan tak satu pun hal yang bisa mengambilnya. Tidak rasa snob, tidak juga intelektualitas, lebih-lebih pseudo intelektualitas.
Lalu bagaimana dengan Barcelona FC? Setelah euforia kemenangan yang serba kolosal beberapa waktu lalu, esoknya, tentu saja mudah ditebak; wasit, diving, kontroversi dan sisanya bisa anda lanjutkan sendiri. Bahkan telah muncul petisi yang hingga saat ini sudah ditandatangani lebih dari 200.000 orang, menuntut agar pertandingan tersebut di ulang.
Seperti halnya film India banyak orang yang diam-diam menikmati tiki-taka Barcelona FC, berdecak kagum ketika Messi melewati tiga sampai empat lawannya, tidak berkedip ketika Neymar mempecundangi pemain lawan lalu terjatuh di kotak penalti, atau memuja umpan-umpan menawan Iniesta. Namun terlalu gengsi mengakui di depan umum, karena klub yang di dukung pernah dipermalukan Barcelona FC atau mungkin karena kesebelasan ini terlalu mendominasi liga di negaranya, dianggap tim dengan permainan yang kotor, atau mungkin kalah terhormat dengan klub-klub Inggris yang dihuni oleh para Aristokrat berdarah biru di liga paling kompetitif di dunia yang punya sejarah tapi jarang menggenggam dinginnya trofi piala Champions.
Barcelona FC dan film India hari ini bernasib sama, disukai sekaligus tidak disukai dikonsumsi tapi dianggap terlalu kotor untuk dibincangkan. Diam-diam ditonton sendirian kemudian dihinakan di depan banyak orang. Maka ketika Mahfud, seorang penggemar, pemuja berdiri melawan dunia untuk mempertahankan kehormatan film India, akan ada pula yang berdiri melawan dunia atas kemenangan Barcelona FC.
Sialnya, saya penggemar keduanya…
Salam..
1 Comment
Fahmi
Tulisannya menarik. Cerdas
Boleh minta kontak penulis yang menulis tulisan ini?