Hits: 83

Hesmitha Eunike

“Tidak apa-apa sekarang kita menderita dan berasa seperti di neraka, tetapi jangan ajak orang lain. Kalau bisa, suatu hari nanti, buatlah surga sendiri di duniamu sebelum kamu mati dan ketika itu kamu dapat mengajak sebanyak mungkin manusia untuk ikut menikmati surga duniamu”

Pijar, Medan. Ken Hanggara, lewat novelnya Negeri yang Dilanda Huru-Hara seakan mengantarkan kita pada sebuah kisah negeri yang disebut dengan Negeri Fiktif Belaka. Negeri yang memiliki nilai sejarah lengkap dengan kejayaan bahkan kemundurannya. Kaum penjajahan, pribumi, bahkan kaum sihir turut dijabarkan dalam novel ini.

Keadaan sebuah Negeri dibawah pimpinan raja Mugo I. raja yang terkenal dengan sifatnya yang cerdas, cerdik, baik, dan adil hingga mampu disegani oleh para rakyatnya. Dengan kegigihan dan kerja keras yang ia lakukan, ia bisa menjadikan negerinya berada pada masa kejayaan. Hingga saat Raja Mugo I turun tahta yang digantikan oleh keturunannya, yaitu Raja Mugo II, di sinilah ‘masa panas’ negeri ini.

Seperti yang kita ketahui, pergantian Raja tidak akan selalu menghasilkan harapan yang bagus dan tidak serta merta menjamin kejayaaan seperti raja sebelumya. Meski Mugo II adalah keturunan dari Raja Mugo I, akan tetapi raja Mugo II memiliki sifat yang berbeda dari ayahandanya. Para dukun sihir percaya, kebiasaan yang dilakukan oleh Mugo II adalah cerminan dari sebuah sikap dan kebijakan apa yang raja itu lakukan. Di sini, beberapa kaum dukun sihir mulai menunjukkan ketidaksukaannya pada kebijakan-kebijakan yang diambil oleh seorang Mugo II, namun mereka tetap diam di kota bawah tanah dan menjadi pengamat.

Setelah beberapa dekade Mugo II memerintah dan dikabaran tewas karena penyakit diabetes, ternyata inilah masa pemerintahan yang sebenarnya berlangsung. Pemerintahan yang dipimpin oleh Raja Mugo III ternyata berdampak sangat besar pada sejarah Negeri Fiktif Belaka ini.

Dalam karyanya, Ken bukan hanya memfokuskan sebuah dongeng kerajaan, namun bila kita lebih teliti lagi, Ken seakan menjabarkan sebuah kemajuan literasi pada zaman ini. Ken juga akan memperkenalkan beberapa tokoh seperti Hady Hamzah, Ben Azmara, Guru Blewah, dan Popo Gusnaldi, seorang yang akan merajai jalannya cerita ini.

Seperti yang dikisahkan, Ken ingin pembaca memahami bagaimana kegiatan literasi yang telah dicampur oleh doktrin-doktrin mulai merusak sejarah Negeri tersebut. Tulisan manipulatif dan memuji raja adalah tulisan-tulisan yang akan lolos kurasi hingga bisa terbit di pasaran. Bagaimana dengan tulisan yang menentang dan bersifat kebenaran tentang sejarah Negeri tersebut? Mati. Mereka semua akan diburu, dianiaya, dipenggal, dan tindakan sadis lainnya.

Sama halnya dengan yang Hady Hamzah dan Popo alami, Popo Gusnaldi, novelis gagah berdarah separuh penjajah separuh pribumi,berusaha mati-matian menahan aliran darah dari lubang hidungnya. Ia ditinggalkan begitu saja setelah dihajar oleh beberapa polisi hingga pada titik ia merasa tidak lebih berharga ketimbang barang rombeng.

Saat usahanya ternyata tak membuahkan hasil yang diinginkan, Popo harus rela dipenjara dan dihajar habis-habisan lantaran tulisannya yang mengungkapkan seluruh kebusukan Mugo III. Bukan hanya Popo, Hady Hamzah malah memiliki takdir yang lebih prihatin. Hady dibunuh lantaran karyanya dan setelahnya jasadnya dibuang begitu saja.

Hingga di beberapa bab terakhir, Ken seakan muncul dalam tulisannya. Cerita melompat pada masa modern. Masa sekarang dimana dengan bantuan kaum dukun sihir, Popo melewati ruang dan waktu hingga bisa bertemu dengan tokoh ‘saya’. Cerita ini memang memiliki titik terang di akhir cerita. Penulis menjabarkan seluruh kejadian dengan runtut dan singkat lewat transkip pikiran yang dibawa oleh Ben Azamara ke masa sekarang. Novel politik dengan segala praktik kekuasaan yang otoriter dalam negeri ini berhasil dalam meyakinkan para pembacanya.

Leave a comment