Hits: 29

Nailah Yudi Permata

The human spirit, you know what they say about the human spirit? It is harder than a rock and more delicate than a flower petal.” Nadia Hashimi, The Pearl That Broke Its Shell

Pijar, Medan. Hidup di era di mana perempuan dianggap sebagai beban bukanlah hal yang diinginkan Rahima. Lahir dari keluarga yang beranggotakan lima orang wanita membuat Rahima berubah menjadi Rahim, demi pendidikan dan keluarga. Rambut panjangnya dipotong, jubah panjangnya diganti menjadi celana panjang. Rahim adalah salah satu dari banyak bacha posh, anak perempuan yang menjadi laki-laki, sebuah budaya yang diturunkan dari generasi ke generasi dalam keluarga tanpa anak laki-laki di Afghanistan.

Bacha posh, yang secara harafiah merupakan “berpakaian seperti laki-laki”, merupakan tradisi yang sudah ada di Afghanistan sejak zaman kuno. Perempuan menyamar tidak hanya untuk membantu keluarga dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga untuk mengikuti berbagai kegiatan publik, bahkan berperang.

Pada masa itu, anak perempuan tidak bisa bersekolah. Mereka melakukan berbagai pekerjaan rumah dan kemudian menikah secepat mungkin ketika seorang pria melamar. Bahkan untuk berbelanja bahan baku, perempuan kesulitan karena tidak bisa keluar rumah sendirian. Mendapatkan pendidikan merupakan suatu anugerah bagi mereka. Berkat ide tantenya, Rahim bisa mengenyam pendidikan sekaligus membantu keluarga, mulai dari berbelanja hingga bekerja paruh waktu.

Bibi Rahima bercerita tentang bibi buyutnya, Shekiba, yang diejek dengan kejam setelah wajahnya terluka akibat kecelakaan dengan minyak goreng. Ketika keluarga dekatnya meninggal karena wabah penyakit kolera, Shekiba diolok-olok oleh kerabatnya dan diperbudak oleh mereka. Karena putus asa akan kebebasan, ia memanfaatkan praktik budaya bacha posh, yang mengizinkan keluarga mana pun tanpa anak laki-laki untuk mendandani anak perempuan mereka seperti anak laki-laki.

Tentu saja, bahkan seorang bacha posh pun harus kembali menjadi seorang gadis setelah dia mencapai kedewasaan. Meski begitu, cerita Shekiba menginspirasi Rahima untuk menyamar menjadi laki-laki juga. Memotong rambut dan mengenakan celana panjang memungkinkan dia melakukan barter di pasar, menghadiri kelas, dan bermain sepak bola dengan anak laki-laki.

Setiap orang menerima posisi barunya sebagai laki-laki. Orang tuanya bahkan membebaskannya dari tugas-tugas rumah tangga tertentu yang sebaiknya diserahkan kepada anak perempuan. Sayangnya, ayah Rahima yang kecanduan opium berhutang budi kepada seorang panglima perang, yang menaruh minat pada anak berusia 13 tahun itu.

Buku yang ditulis oleh Nadia Hashimi ini mengajarkan tentang kehidupan bacha posh sekaligus realita pahit di masyarakat yang amat patriarkis, di mana anak perempuan dianggap tak ada gunanya bagi keluarga. Perempuan yang menyamar menjadi lelaki ternyata telah ada dari generasi sebelumnya. Pada buku ini juga, Rahima turut menceritakan kehidupan nenek buyutnya, Shekiba, yang juga harus menyamar menjadi pria sebelum akhirnya mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

(Redaktur Tulisan: Alya Amanda)

Leave a comment