Hits: 370
Muhammad Farhan / Rassya Priyandira
Pijar, Medan. Berdasarkan hasil wawancara tim investigasi Pijar dengan Ketua Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Medan, H. Muhammad Sofyan, S.Sos., M.AP. menyampaikan bahwa sudah ada peraturan daerah Kota Medan yang mengatur tentang Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) ini, yaitu Perda Kota Medan Nomor 6 Tahun 2003 tentang Larangan Gelandangan dan Pengemisan serta Praktik Susila di Kota Medan. PMKS yang dimaksud oleh Sofyan meliputi manusia silver, pengamen, badut jalanan, dan lainnya.
Dalam Perda tersebut dijelaskan pada Pasal 2 Ayat 2 yang berbunyi, “Dilarang dengan sengaja memperajat orang lain seperti bayi, anak kecil dan atau mendatangkan seseorang/beberapa orang untuk maksud melakukan pengemisan”.
Larangan itu juga menimbang segala aktivitas yang dilakukan mereka bertempat di ruang publik, seperti persimpangan jalan, lampu merah, bahkan terkadang di tengah jalan yang mana aktivitas tersebut dapat membahayakan pengguna jalan maupun diri mereka sendiri. Selain untuk aspek keamanan, larangan tersebut didasari untuk menjaga kenyamanan masyarakat. Sofyan menegaskan bahwa sejatinya profesi badut tidaklah dilarang oleh pemerintah, namun badut hanya diperbolehkan untuk berada pada ruang tertentu, seperti acara ulang tahun ataupun acara lainnya.
Satpol PP Kota Medan sebagai unsur penegak Peraturan Daerah dan Peraturan Wali Kota telah berupaya untuk menertibkan badut jalanan bersama dengan PMKS lainnya dengan melakukan razia rutin di sekitaran persimpangan jalan di Kota Medan. Razia rutin ini juga melibatkan berbagai tim pihak pengamanan, seperti Polisi, TNI Angkatan Darat, dan Komando Distrik Militer (Kodim). Hasil dari razia dan penertiban ini kemudian diserahkan oleh Dinas Sosial Kota Medan untuk dilakukan pembinaan terhadap para PMKS tersebut.
Sofyan juga menambahkan bahwa tindakan atau aktivitas yang dilakukan oleh Irma, Ilham, dan teman-teman badut jalanan sudah melanggar regulasi yang ada dan dapat ditindak dengan pembinaan bahkan pemberian sanksi tegas.
Pendapat Kepala Bidang Pemenuhan Hak Anak Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Sumatera Utara, Dra. Hj, Marhamah, M.Si: Dampak Mempekerjakan Anak di Bawah Umur
Tim investigasi Pijar juga mewawancarai Kepala Bidang Pemenuhan Hak Anak Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Sumatera Utara, Dra. Hj, Marhamah, M.Si. Menurut Marhamah, Dalam UU 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dijelaskan bahwa definisi anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Lazimnya, anak-anak harus dipenuhi haknya untuk mendapatkan edukasi formal. Terlebih lagi di masa pandemi ini, kesehatan anak-anak juga harus menjadi prioritas utama para orang tua. “Latar belakang anak-anak di jalanan juga tidak semua berasal dari keluarga marginal (red; pra-sejahtera). Jadi, ada kecenderungan bahwa mereka dieksploitasi,” tambahnya.
“Berada di jalanan, pastinya akan berdampak negatif bagi anak-anak tersebut, minimal kesehatan atau Pendidikan. Tumbuh kembang, suasana riang gembira anak-anak seharusnya tidak berada di jalanan,” ungkap Marhamah.
Marhamah juga memaparkan, bahwa Dinas PPA Provinsi Sumatera Utara pernah menemukan dan mendapatkan temuan serta pengakuan dari seorang anak bahwa ia telah dimanfaatkan dan dipaksa oleh orang tuanya untuk mendapatkan uang. Hal tersebut sudah melanggar pasal 26 ayat (1) UU 35/2014, yang menjelaskan bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk; mengasuh, memelihara, mendidik, serta melindungi anak.
Saat tim investigasi Pijar bertanya lebih spesifik mengenai ‘jika anak tersebut yang menginginkan untuk menjadi badut jalanan atas kemauan mereka sendiri tanpa adanya paksaan dari pihak manapun’, Marhamah menjawab, “Kalau ditemukan kondisi seperti itu, seharusnya lebih mudah mengarahkannya. Anak-anak tersebut berarti sudah memiliki jiwa seni di dalam dirinya. Kita tinggal rangkul dan berikan pembinaan untuk kreativitasnya. Namun, sekarang kita tidak tahu apakah benar mereka memang menjadi badut atas kemauannya sendiri.”
Hakikatnya, anak-anak tidak boleh dipekerjakan dengan alasan apapun kecuali alasan edukasi, seperti pelatihan kerja lapangan (PKL). Kondisi itupun tetap memiliki batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar atau sampai mengeksploitasi mereka.
Bagaimanapun, aktivitas Ilham dan teman-temannya adalah hal yang menyalahi regulasi. Usia mereka yang masih anak-anak, seharusnya dipenuhi oleh canda tawa serta edukasi formal maupun non-formal. Hak-hak mereka sebagai anak juga dirampas, ketika mereka dipekerjakan sebagai alat untuk mendulang pundi-pundi rupiah oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Menjamurnya badut jalanan anak-anak di Kota Medan menjadi salah satu hal yang miris untuk dilihat. Padahal, sudah ada regulasi dan undang-undang yang mengatur serta melarang anak-anak untuk dipekerjakan. Dalam UU 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dijelaskan pada Pasal 76I bahwa, “Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual terhadap anak”.
Marhamah berpesan bahwa peran kita sebagai masyarakat khususnya di Kota Medan, seharusnya lebih peduli terhadap kehidupan anak-anak tersebut. Tidak hanya mengandalkan dan berharap kepada pemerintah saja untuk mengurusi hal ini. Namun jika masyarakat juga ikut andil, maka anak-anak tersebut akan memegang hak mereka. Semua itu dilakukan semata-mata demi menjadikan Kota Medan menjadi kota yang ramah anak.
(Data dihimpun melalui liputan investigasi kepada pihak terkait yang dilakukan oleh Tim Investigasi Pijar USU yang terdiri dari: Rassya Priyandira, Muhammad Farhan, Diva Vania, Lolita Wardah, Widya Tri Utami, dan Erizki Maulida Lubis.)
(Editor : Lolita Wardah)