Hits: 57

Agnes Priscilla / Erizki Maulida Lubis

Pijar, Medan. Merah jambu adalah warna yang identik dengan perempuan, sementara hitam adalah warna laki-laki. Laki-laki akan dianggap feminim ketika menggunakan warna merah jambu, sementara perempuan akan dianggap maskulin ketika menggunakan warna hitam.  Pengotak-ngotakan warna tertentu ini, seakan memaksa ruang gerak kita untuk berekspresi. Apakah dunia yang kita tinggali selama ini terkotak-kotak untuk memahami feminim dan maskulin?

Bias Gender adalah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan situasi saat ini. Seperti itu juga yang dirasakan pesepak bola putri di Indonesia, yang masih dipandang tabu dan tak pantas ketika memutuskan berkarir menjadi pesepak bola.

Jika kita perhatikan, berita tentang sepak bola putri di Indonesia sudah semakin sering menghiasi media, baik media mainstream maupun media sosial. Namun di sisi lain, ada terbesit rasa risau di dalamnya, yaitu penulisan judul artikel dengan sentuhan skandal seperti kata ‘cantik’ dan ‘seksi’,  yang melekat pada artikel pesepak bola wanita.

Mengenai hal tersebut, Mula Kota Tua bekerjasama dengan Organisasi Sepak Bola International Fare Network menyelenggarakan Webinar yang bertajuk “Sepak Bola Putri dalam Media: Seksi atau Prestasi?” pada (02/11) pukul 16.00 WIB melalui platform Zoom meeting.

Beberapa topik diskusi yang dibahas mengenai sepak bola putri dalam media, pada (2/11) melalui Zoom meeting. (Sumber foto: Dokumentasi Pribadi)
Beberapa topik diskusi yang dibahas mengenai sepak bola putri dalam media, pada (2/11) melalui Zoom meeting. (Sumber foto: Dokumentasi Pribadi)

Dibuka oleh Alfa Faridhian selaku moderator, acara ini bertujuan untuk melihat berita pesepak bola putri dari perspektif jurnalis, psikolog maupun pemain pesepak bola putri itu sendiri.

Acara ini turut mengundang Basia Putri selaku pemain sepak bola putri, Yanu Arifin selaku jurnalis olahraga, Amanda Kuswandi selaku penggiat sepakbola putri dan Putri Langka selaku psikolog pemerhati masalah remaja.

Tiga kata yang melekat setiap membuka artikel tentang sepak bola putri di media. “Cantik, seksi, dan bidadari. Kata-kata itu selalu ada saat aku melihat artikel tentang diriku sendiri,” ungkap Basia selaku pesepak bola putri Persija.

Dipandang dari kacamata Yanu Arifin selaku jurnalis bola, sentuhan kata seksi dalam penulisan judul justru mengundang banyak mata untuk mengunjungi artikel tersebut. Hal ini diperkuat dengan data yang menyebutkan jumlah viewers yang berbeda jauh antara artikel yang menggunakan kata seksi dengan tanpa kata seksi.

Menurut Basia, hal tersebut sangat tidak relevan. Padahal masih banyak headline yang bisa dibuat lebih baik dari itu, tanpa harus memakai kata seksi. “Kalo menurutku sayang banget sih, kenapa yang diangkat cantiknya? Padahal main bola bukan karena cantiknya, tapi karena prestasinya,” tegas Basia saat memberikan tanggapan.

Namun sayang, dipandang cantik justru malah menjadi boomerang bagi pesebak bola putri ini. Ketika Basia dan timnya menerima kekalahan, netizen seakan melempari mereka dengan kalimat-kalimat negatif, seperti ‘pantasan kalah, menang cantik aja’. “Saat menang dijunjung, namun saat kalah dihujat bahkan sampai dijapri ngata-ngatain fisik, dikatain lebih cocok jadi selebgram daripada main bola,” tambah Basia.

Dalam hal ini, Putri Langka selaku psikolog angkat bicara. Ia menyebutkan bahwa kita hidup di dunia yang memaksa kita untuk punya konfirmitas soal nilai feminis dan maskulin, apalagi kita juga dibesarkan dengan cara seperti itu.

Perbedaan ini tidak hanya sebatas perlakuan saja, namun juga menyangkut soal Equal Pay. Basia mengungkapkan bahwa terdapat perbedaan yang cukup drastis antara pendapatan pemain sepak bola putra & pemain sepak bola putri. Hal tersebut menurutnya adalah salah satu pemicu orang-orang memandang sebelah mata pemain sepak bola putri.

Persoalan mengenai sepak bola justru berbeda dengan pesepak bola di luar negeri. Menurut Amanda Kuswandi, berita-berita di luar negeri justru menampilkan awareness yang lebih tinggi ketimbang di Indonesia, yang bisa kita katakan masih “Bias gender”. Diketahui juga bahwa negara Norwegia justru sudah menerapkan yang namanya “Equal Pay”.

Melihat banyak hal dari berbagai sisi yang masih tidak pantas untuk dilakukan oleh seorang jurnalis dalam menuliskan artikel-artikel tentang sepak bola putri, Yanu Arifin mengakui bahwa tingkat literasi wartawan mengenai gender masih rendah. “Saya sebagai jurnalis berharap agar wartawan lebih sadar mengenai hal-hal olahraga, terutama terhadap olahraga sepak bola putri. Wartawan bisa belajar lebih dalam lagi mengenai dunia sepak bola putri dan buatlah pemberitaan yang lebih baik lagi,” harap Yanu.

“Harapannya itu sebenarnya, bahwa aku dari dulu pengen banget cewe setara sama cowo, karena kalau dilihat dari sisi pendapatannya antara pesepak bola cewe dan cowo itu ga make sense banget. Mungkin kalau hal itu udah setara, masyarakat nanti juga akan sadar bahwa pesepak bola cewek juga memiliki kelas,” tutup Basia.

(Editor: Widya Tri Utami)

Leave a comment