Hits: 65

Annisa Van Rizky

“Ketika saya mendengar tentang minimalism, itu bukan hanya tentang menyingkirkan barang-barang saya. tetapi tentang bagaimana mengendalikan hidup saya, dan berhenti memberitahu apa yang harus dilakukan dan memutuskan apa yang sebenarnya ingin saya lakukan” 

– Ryan Nicodemus, The Minimalist

Pijar, Medan.  Pada zaman modern saat ini perilaku konsumtif dan materialistik seolah menjadi suatu gaya hidup dalam masyarakat. Masyarakat sering membeli dan mengoleksi banyak barang yang terkadang tidak terlalu dibutuhkan dan akhirnya menjadi tidak berguna. Padahal hal ini bisa menyebabkan seseorang menjadi boros. Namun, ada suatu tren yang berlawanan dengan hal ini, yakni gaya hidup Minimalism.

Minimalis adalah gaya hidup dimana kita memiliki barang-barang yang sedikit tetapi barang-barang tersebut memiliki nilai di kehidupan kita. Penelitian yang dilakukan seorang Dosen di Bali tentang Gaya Hidup New Minimalism menjelaskan bahwa istilah minimalis yang muncul pada abad ke 19  dengan motto less is better  telah memberikan perubahan akan gaya hidup, arsitektur, desain, dan musik yang awalnya terinspirasi oleh penanaman filsafat Zen Budha ke dalam gaya hidup.

Di sisi lain, budaya konsumerisme yang berkembang juga telah menjadi acuan gaya hidup, sehingga muncul pada tahun 2015 sebuah Buku yang ditulis Fumio Sasaki berjudul Goodbye Things: The New Japanese Minimalism. Di dalam buku tersebut dijelaskan bahwa ia mulai membuang benda dan hanya hidup dengan benda yang sangat diperlukan saja untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Buku tersebut yang kemudian menjadi Inspirasi gaya hidup Minimalis di Jepang.

Di Indonesia sendiri ada Raditya dika yang mulai menerapkan Gaya Hidup Minimalism di kehidupannya. Di Channel Youtube-nya ia mengaku mulai mengenal Gaya hidup Minimalism lewat Dokumenter Netflix yang berjudul Minimalism: A Documentary About the Important Things. Radit menjelaskan ada beberapa yang menjadi patokan para Minimalism dalam menentukan barang mana yang seharusnya ada dalam hidup atau tidak. Pertama, jika barang tersebut tidak dipakai dalam 90 hari atau tidak ada gunanya dalam 90 hari, maka barang itu wajib disingkirkan. Kedua,  jangan terlalu memberikan nilai yang terlalu sentimentil ke sebuah Objek. Artinya jika barang itu sudah tidak terpakai dan sudah tidak memberikan nilai yang lebih di kehidupan, harus direlakan. Radit mengungkapkan poin penting lain dari Minimalism, “Bukan berarti tidak boleh punya barang mahal, barang mahal tapi kalaupun itu mahal itu memberikan nilai. Jadi Minimalism itu masalah untuk punya satu barang tapi berkualitas sehingga tidak perlu punya barang yang banyak,” kata Radit.

“Kita menghabiskan banyak waktu untuk berburu (sebuah barang). tetapi tidak ada yang cukup untuk kita. dan kita jadi terlibat di dalamnya, hal tersebut membuat kita menyedihkan,” ungkap Dan Harris, Author 10% Happier dalam Minimalism: A Documentary About the Important Things. Memiliki barang barang justru tidak membuat hidup lebih bahagia, seperti yang diungkapkan Jesse Jacobs (Entrepreneur), “you’re not going to get happier by consuming more”.

Dilansir dari Millburn & Nicodemus, 2016 , Minimalism dianggap sebagai sebuah strategi untuk menemukan kebebasan dalam berbagai hal, bebas akan takut, bebas akan kekhawatiran, dan terbebas dari budaya konsumerisme, bebas akan keharusan mengikuti tren terbaru, kompetisi, dan identitas. Contoh ekstrimnya seperti seseorang terlalu terobsesi untuk memiliki handphone terbaru sehingga bekerja terlalu keras, atau bahkan berhutang dan mencuri. Keuntungan memiliki gaya hidup minimalism menurut Becker, 2015 yaitu efisiensi akan waktu dan uang, kemudahan dalam mencari, menemukan, dan merapikan benda, kebebasan akan ketakutan yang berlebihan akan tren dan kompetisi, meminimalisir stres dan depresi.

Para Minimalist yang telah menerapkan gaya hidup ini mengaku lebih bahagia dalam menjalani kehidupannya. Jadi, apakah Sobat Pijar mulai tertarik untuk menerapkan gaya hidup Minimalist ini?

Redaktur Tulisan: Maya Andani

Leave a comment