Hits: 14
Rizka Gusti Anggraini
Pijar, Medan. Kita memang berpisah. Tapi aku tahu entah kita pernah bertemu atau tidak, yang pasti kita masih di bawah langit yang sama. Jadi, aku tak akan menyerah mencari dirimu di salah satu meteorid yang jatuh malam tadi. Aku akan menemukanmu.
***
Ranjani masih melambaikan tangan sekali lagi ke arah wanita yang mengenakan kerudung setengah dililit di bagian depan dengan gamis pemberian anak sematawayangnya, sebelum ia kemudian menghilang dari balik pintu bertuliskan “Gate 8”. Bandara itu masih terlihat tidak begitu ramai karena keberangkatan selepas Subuh memang tidak memakan sesak. Masalahnya hanya di kantung mata, hitam pekat lantaran menjaga tidur.
Selamat datang di pelayanan maskapai kami, begitulah kiranya pramugara dan pramugari menyambut setiap penumpang pesawat dengan santun dan irama senyum yang menyungging.
Sebelum alat komunikasi dimatikan untuk lepas landas, Ranjani mengeluarkan ponselnya yang beberapa kali bergetar saat ia menuruni tangga lobi gate 8. Keranjingan bawaan membuatnya sedikit kesulitan, apalagi kali ini dia benar-benar nekat melakukan perjalanan sendiri. Ranjani memang suka berkelana ke tempat-tempat unik. Hal itu membuatnya ingin menuliskan apa-apa yang ia temukan selama perjalanan.
Pesan Line 1 : Keberangkatan jam berapa ?
Pesan Line 2 : Hati-hati di perjalanan ya, Jani.
Pesan Line 3 : Kalau sudah sampai di Bandara Supadio, kabari aku.
Pesan Line 4 : ………..
Selesai membaca pesan terakhir itu, Jani –panggilannya– menaikkan kedua ujung bibir lebih tinggi. Jani tengah menahan tawanya. Matanya kemudian menoleh ke luar jendela.
Awannya sudah mulai terang, perjalanan sebentar lagi dimulai. Semoga menyenangkan untukmu, Jani. Jangan lelah di perjalanan. Ibumu menunggu pulang, ucapnya dalam hati.
Kali ini, tidak hanya sekadar menatap, tapi juga bulir air hampir jatuh. Sayangnya, ia singkap segera. Takut kelihatan awak pesawat, disangka hendak melarikan diri lantaran patah hati. Ia berusaha mengetikkan beberapa kalimat untuk sekadar memberitahu.
Pesan Line :
Aku sudah di pesawat sekarang. Iya, setibanya di Bandara Supadio akan langsung aku kabari. Ini aku kirimkan foto tiket. Untuk sekadar memberitahu supaya jemput aku di bandara sebelum jam kedatanganku tiba.
Layar telepon genggam kemudian menjadi hitam dan awak pesawat mulai menghimbau beberapa hal. Jani memulai perjalanan.
***
Bandara Internasional Supadio.
Tulisan besar itu sekelibat mematahkan rasa kantuk Jani. Kantuk yang meski ingin dituntaskan, tetap saja terasa sulit karena menahan dingin. Di ketinggian entah berapa kaki, Jani ingin meringkuk di dalam pesawat. Tangannya mulai disokong sedalam-dalamnya ke kantong jaket yang ia kenakan. Sayang, itu tidak begitu berhasil. Kali ini jam makan siang terlewatkan setengah jam karena lamanya menunggu transit di pemberhentian pertama tadi, membuatnya berpikir dua kali untuk makan di ruang tunggu. Alih-alih sedang makan, malah disuruh naik ke pesawat. Jani, orang yang senang menjiwai nikmat menu makan siangnya, apalagi kalau menu itu buatan Ibunya. Jelas saja ia demikian, karena kalau bukan di momen-momen perjalanan jauhnya, Ibunya tidak akan sempat membuatkan ia menu makanan. Jani, terpaksa harus menyantap menu makanan buatan nenek, setiap hari. Sementara Ibunya terus mendongkrak rezeki alias berjualan di kedai kelontong milik neneknya juga.
Layar ponsel berdering kemudian, sekitar 15 menit sesampainya ia di bagian boarding. Bagian ini agak sedikit membuat kesal, karena harus menunggu barang bawaan memutar satu demi satu.
Jani mengangkat telepon. Sejurus kemudian ia mendengar suara dengan logat daerah yang berusaha disembunyikan tapi tetap saja kelihatan itu, menegurnya.
“Jani, sudah sampai kan? Aku sudah menunggu tepat di depan pintu keluar kedatangan dalam negeri,” ucapnya lagi.
“Ah iya sudah sampai. Tapi aku masih menunggu barang bawaanku dulu. Tunggu sebentar ya,” jawab Jani dan langsung mematikan ponselnya setelah seseorang di seberang itu menjawab. “Iya, aku tunggu kamu di depan pintu kedatangan ya”
***
“Jani, kamu istirahat saja dulu. Ini kamar kamu. Sedikit berantakan memang karena sudah lama tidak digunakan. Ini kamar kakakku dulu sebelum ia dipinang sama orang Surabaya hahaha,” kata Andi, lelaki yang menjemput Jani di bandara siang tadi.
Belum sempat Jani menjawab, Andi kembali menoleh ke arah Jani dan buru-buru menepuk keningnya, “Astaga! Aku lupa. Kamu pasti belum makan siang kan? Ya ampun, aku baru ingat kalau sedari tadi aku bahkan enggak ada nawarin kamu makan apapun selama perjalanan dari bandara ke rumah,”.
Sialnya lagi, Jani memang belum diizinkan bersuara dan Andi langsung menarik tangannya, “Nanti saja lanjut beres-beresnya. Sampai berapa lama kamu tahan tidak makan siang hah? Ayo, kita makan dulu,”.
Lelaki itu memang belum berubah sejak 4 tahun lalu saat Jani pertama kali mengenalnya dari seorang lelaki yang pernah menjadi bagian paling penting di hidup Jani setelah almarhum Ayah Jani. Lelaki yang berusaha membuat Jani melihatnya secara penuh dan Jani masih terus berusaha selama 1 tahun terakhir ini. Lelaki yang pertama kali bercerita tentang meteorid di sela waktu antara malam menjelang Subuh itu dan kini Jani bisa melihatnya lebih lama dari hari-hari menghabiskan malam dengan menanti telepon berdering. Karena Jani tahu, dia ataupun lelaki itu sama-sama seorang aktivis kampus dan berkutat di linimasa selama seharian penuh bukanlah bagian dari agenda mereka.
***
Di depan sungai Kapuas.
Sesekali Jani mencoba menutup matanya, itu menikmati setiap tarikan napas di udara bebas yang selama 1 tahun terakhir ini ia tunggu-tunggu. Untuk sampai di kota ini saja, Jani pun tidak pernah menyangka. Ini kali pertama ia ke kota bahkan ke pulau ini. Jauh dari kota dan pulau kelahirannya.
“Daerah ini bernama Tayan. Disini aku dilahirkan. Kalau sudah banyak tugas dan merasa penat dengan rutinitas, aku selalu menyempatkan diri bermain ke sini. Banyak hal yang aku rindukan dari sini, termasuk sungai Kapuas ini. Aku pernah janji akan membawamu ke sini kan? Lalu apa yang mau kau katakan setelah ini?” tanya Andi setelah berhasil memecahkan lamunan Jani.
Jani tertegun dan memperhatikan punggung lelaki yang mulai berjalan pelan di depannya, kemudian berhenti di salah satu bagian tiang di jembatan itu. Bagian ini terlihat lebih strategis untuk melihat sungai Kapuas yang seolah-olah tidak punya jeda di ujung sana.
“Oh, mengenai hal itu…..,” jawab Jani.
“Pertanyaanku yang terakhir terkesan buru-buru ya? Hahaha, tidak apa-apa. Kau bisa menjawabnya nanti. Kau akan disini seminggu lagi kan? Kuharap, aku bisa mendapat jawabannya sebelum bandara Supadio hilang dari penglihatanmu dan entah kapan kau bisa kembali lagi ke sini, mengingat kalau kau…….” tiba-tiba Andi membungkam mulutnya dan menoleh ke arah Jani.
Jani terperanjat melihat tatapan itu. Begitu tajam dan berkedip lebih lama setiap detiknya. Jani langsung menaikkan alis tebalnya sedikit, memberi kode bahwa ia kebingungan. Lalu, lelaki itu melanjutkan.
“Iya, selama setahun terakhir ini. Aku tidak tahu, apakah harus ragu dengan perasaanku sendiri atau malah meragukanmu. Tapi kalau meragukanmu, sama saja aku membohongi diriku sendiri. Kalau saja kau bilang supaya tidak menunggumu datang, aku bisa saja berkelana ke mana saja yang aku mau. Sayangnya, daya tarik menunggumu lebih kuat daripada daya tarik gravitasi di kota-kota lain,” tambah lelaki itu yang kini merunduk.
“Kau tidak perlu menungguku, seharusnya. Sejak ceritamu tentang meteorid malam itu, aku sudah jauh lebih yakin kalau kau tidak menganggapku hanya teman sepermainan di linimasa. Andi, kau bilang akan menemukanku kan?” ungkap Jani dengan nada mulai memudar lantaran menahan sesak dan kini hampir meluap dari dalam tenggorokannya.
Andi tetap tidak menoleh ke arah Jani lagi. Ada rasa takut tiba-tiba di batin Jani melihat sikap Andi yang tidak ia inginkan setibanya ia di tempat ini. Ia baru saja tiba dua hari yang lalu dan melihat Andi seperti itu, rasanya ia ingin pulang saja dan memeluk Ibunya.
“Iya, tapi meteorid itu belum menjamin aku di matamu. Sebegitu besarnya kau dengan masa lalumu itu? Sampai menolehku saja, kau harus berpikir dua kali. Aku yang bodoh, mengharapkan orang yang jelas-jelas hanya menganggapku sebagai teman dari seorang di masa lalunya. Naif sekali!” tangkas Andi. Suaranya terdengar lebih berat dari sebelumnya. Benarkah yang dikatakan orang-orang, jika lelaki sudah menangis karena satu wanita, itu tandanya dia bersungguh-sungguh?
***
Di kamar Jani.
Ponsel Jani berdering setelah ia menutup buku catatan bertuliskan ‘Travelogue’ di atas meja belajarnya. Andi, begitu tulisan di layar ponsel itu.
“Halo,” ucap Jani membuka pembicaraan.
“Halo, Jani. Maaf sudah tiga hari tidak memberimu kabar. Kebun hidroponikku sedang banyak-banyaknya panen hasil. Kemarin, aku baru saja mendapat kabar baik kalau proposal proyek sosialku dari Kedutaan Jerman itu, diterima,” balas Andi kemudian tanpa sempat mengizinkan Jani membuka mulut lagi. Kebiasaan Andi memang begitu.
Jani tersenyum mendengar kabar baik itu.
“Berjuanglah lebih hebat lagi, bergunalah lebih luas lagi. Tidak apa-apa, aku yakin kita saling mendoakan. Andi, terima kasih sudah menemukan satu meteorid untukku,” kata Jani.
“Menemukan meteorid satu untukmu? Maksudnya?” nada Andi sedikit menaik.
“Iya, menemukan meteorid satu untukku. Meteoridnya itu adalah orang yang sedang menaikkan nada suaranya detik ini karena takut meteorid yang kumaksud bukanlah dia”
Di seberang sana, Andi terperanjat. Aku tahu, aku tahu kalau aku tak salah melihat meteorid malam itu. Terima kasih, Jani, gumam Andi dalam hati.
***
Sudah hampir dua minggu aku menyelesaikan perjalanan jauh itu. Tapi kau membuatku selalu ingat hari itu. Kau bilang akan menemukanku kan? Kau salah, akulah yang menemukanmu. Semoga hari baik itu datang secepatnya. Giliran aku yang menunggumu kali ini.