Hits: 24

Shalli Anggia Putri

Hangatnya matahari bersinar menyentuh bunga-bunga pada pagi itu. Awan seakan tersenyum manis menampakkan kebahagiaan yang ia rasa. Burung-burung pun berkicau menghasilkan simfoni indah yang mendamaikan hati. Zaza bisa berdiri sepanjang hari untuk menikmati keindahan alam yang tidak ada duanya. Tetapi, setiap memulai hari, perasaan gadis berparas cantik itu terombang-ambing dalam kebimbangan oleh luka dalam, sedalam lautan yang tidak disinari oleh cahaya mentari.

Zaza kehilangan sesuatu yang paling berharga dalam hidupnya saat berusia dibawah balita, usia yang kurang bukan? Ya, sangat kurang untuk memahami persoalan orang dewasa. Anak lain memiliki satu potret keluarga yang utuh, sedangkan Zaza memiliki satu tapi patah menjadi dua. Zaza tidak tahu harus ke kanan atau ke kiri, mama dan papa adalah orang yang ia sayangi dengan timbangan kasih sayang yang adil. Ia harus menyaksikan perang dunia ketiga di dalam istana mereka membuatnya bergabung ke dalam Gerakan Non-Blok, tidak memihak kekuatan manapun. Pada akhirnya, hak asuh Zaza dimenangkan oleh mamanya, sehingga terpaksa ia keluar dari gerakan tidak memihak.

Gadis kecil ini berpikir bahwa ini adalah keputusan yang tepat setelah mengetahui bahwa papanya sudah memiliki keluarga kecil dengan seorang wanita berbeda ras. Dadanya seperti dihantam martil dan tertancaplah paku dengan sangat dalam. Seiring waktu, Papa Zaza ingin ia menerima bayi lelaki yang tidak berdosa.

“Mungkin aku bisa menerima anak bayi tak berdosa itu, tapi apa aku bisa menerima orangtuanya yang melakukan dosa besar itu?” Zaza berkata dalam hatinya.

Tidak pernah ada “mantan anak”, hubungan darah tidak bisa diputuskan dengan cara apa pun. Darah akan mengalir sampai darah itu berhenti terpompa. Papanya memohon kepada putri kecilnya untuk selalu berada di sisinya walau ia sudah membuat kesalahan terbesar dalam hidupnya. Kesalahan yang memengaruhi masa depan anaknya.

Waktu berjalan sangat cepat meninggalkan Zaza dengan luka yang mulai sembuh. Ia mulai berlapang dada menerima anak laki-laki itu dan ibunya yang merampas milik Zaza. Sejujurnya ia sangat berambisi menguliti perempuan yang dicintai papanya itu, tetapi ia sadar ada hukum dan Tuhan yang akan menindaklanjuti jika ia bertindak tanpa pikir.

Air mata selalu jatuh dari kedua bola matanya, membasahi mukena merah muda yang ia kenakan. Doa selalu ia panjatkan untuk kedua orangtuanya dan hatinya yang sudah letih tersayat oleh pisau-pisau yang dilemparkan selama ini.

Sesaat Zaza seperti tersambar petir yang berkali-kali mengenainya. Ia mendengar kabar yang tidak diinginkan sama sekali dalam hidupnya. Kabar bahwa mama yang mencintai seorang pria yang tidak jelas asal-usulnya.

“Pengganguran mana itu, Ma? Mama pungut di mana?” Zaza berbicara dengan nada kesal.

“Jaga omongan kamu ya, Za! Kamu bisa nerima wanita murahan papamu, tetapi kenapa mama ga bisa dengan pria lain?”

Perdebatan pun semakin memanas dan masing-masing berbicara sangat lantang.

“Aku ga pernah terima wanita itu, begitu pula dengan mama! Sampai kapan pun aku ga akan nerima pria itu! Dan satu lagi ma, mama mau jadi kepala rumah tangga? Kan pria itu pengganguran di jalan raya sana kan!”

Mamanya pun menangis sambil berkata “Mama mau seperti wanita lainnya, memiliki teman hidup sampai hari tua nanti, kan papa kamu duluan yang meninggalkan mama, ”

Zaza tak dapat berkata apa-apa, ia tahu bahwa mamanya mengalami depresi berat saat papanya meninggalkan mereka. Tetapi,  selama ini Zaza kuat hanya untuk mamanya. Jika kejadian sudah seperti ini, ia tidak tahu harus berpegangan pada siapa.

“Baiklah, kalau itu keputusan mama, AKU TIDAK AKAN MENIKAH! AKU BENCI CINTA! AKU BENCI PERNIKAHAN! AKU TIDAK MAU ANAKKU MENGALAMI HAL YANG SAMA SEPERTI YANG AKU RASAKAN!” ucap Zaza sembari menangis terisak-isak.

Kemudian, mamanya memeluk dengan hangat gadis kecilnya itu dan berbicara bagaimana proses lahirnya Zaza. Keputusan mamanya tidak berubah untuk hidup bersama pria pengganguran itu. Mau tidak mau dengan berat hati Zaza membiarkan apa yang ingin mamanya lakukan.

Beberapa tahun kemudian, ia tumbuh menjadi gadis cantik yang diselimuti ketakutan untuk berkomitmen dalam suatu hubungan. Ia masih teringat dengan janjinya pada mamanya untuk tidak menikah. Ia ragu dan tidak percaya dengan lelaki yang mendekatinya. Sosok ayahnya selalu terngiang dalam batinnya. Sampai sekarang, ia tidak meneruskan hubungan spesial dengan siapapun walau ia tertarik. Ia mengunci rapat hatinya dan tak membiarkan seorang pun mengetahui dimana letak kunci tersebut. Kunci itu sekarang berada di dasar samudera biru yang sulit terjamah oleh seorang insan.

Leave a comment