Hits: 72
Estetia Alma
Roda. Banyak orang bilang bahwa hidup itu seperti roda. Adakalanya kau di atas dan tentu kau pasti akan kembali ke bawah. Namun entah mengapa hidup seorang Jackson merasa bahwa dirinya selalu berada di bawah.
Jackson, seorang pria berusia 20 tahun yang sedang mengalami pergejolakan hati dan pikirannya. Ia pria dengan postur yang tegap namun sedikit kurus, kulitnya sawo matang serta matanya yang selalu sayu menandakan ia sering tidur terlambat. Ia bekerja paruh waktu di berbagai kafe, ia bekerja dan terus bekerja. Hingga suatu ketika kejadian paling memilukan hadir di hidupnya.
“Dek, kakak berangkat, ya,” ucap Jackson sambil memakai sepatunya di ujung pintu rumah kayunya.
“Iya kak, hati hati!” ucap adik perempuan kesayanganya.
Mereka yatim piatu, ayah mereka meninggal dikarenakan diabetes serta ibunya yang tak lama meninggal setelah itu, rindu mungkin ibunya kepada ayahnya.
Inilah alasan terbesar bahwa Jackson harus kerja keras. Karena ia punya gadis kecil yang harus ia jaga sebagai pengganti ibu dan ayahnya.
“Selamat pagi!” sapa jackson dengan senyum khas kepada para pegawai toko pizza tempatnya bekerja.
“Hei, Bung! Semangatmu masi seperti biasa saja,” sambut Moses teman bekerjanya.
Jackson sedikit menghela nafas. “Ya mau bagaimana lagi, aku harus tetap semangat meskipun hatiku menolaknya.”
“Beristirahatlah sejenak dari semua pekerjaanmu, Jack,” ujar Moses.
“Lalu adikku akan putus sekolah, kami kelaparan dan hidup dijalanan, hah! Tidak lucu kawan!” kekeh Jackson.
“Sudahlah aku mau bekerja”
Jackson berlari kecil ke dapur. Hingga pada siang hari, “Jackson! Ada pesanan pizza! Cepat antarkan!” teriak manajer toko
Jackson mengambil pizza tersebut dan akhirnya pergi dengan cepat. Manajernya itu adalah sosok yang perlu dihindari, ia memiliki tempramen yang cukup buruk.
“Ting nung!” Suara bel yang sedang dipencet oleh Jackson menyatakan ada pesanan menunggu di balik gerbang mewah rumah ini. Ini persis seperti rumah impiannya, mewah dan besar. “Mimpi saja kau Jackson!” ucapnya pada dirinya.
Sudah lama Jackson menekan bel tersebut namun tak ada jawaban yang pasti di sini. Hingga ia memberanikan diri masuk ke rumah itu. Dan ya, rumah itu tidak dikunci. Bagaimana mungkin rumah sebesar ini tidak dikunci.
Ia meletakkan pizza tersebut sambil melihat lihat lukisan mewah di dinding rumah berlapiskan cat keemasan tersebut.
Sepertinya perut Jackson tidak bisa berkompromi saat ini. Tiba-tiba ia merasakan mulas yang begitu mendadak membuatnya harus pergi ke toilet. Ia berlari mencari toilet dan ia mendapatkan toilet kecil dengan pintu ujung rumah ini sepertinya itu untuk para pembantu.
Selesai, Jackson keluar cepat-cepat karena takut ia tidak meminta izin dengan empunya rumah.
Tiba-tiba…
“Kau,angkat tangan!” teriak seseorang dengan seragam betuliskan polisi.
“Angkat tanganmu! Diam di tempat!”
Jackson kaget melihat dua orang dengan seragam polisi tersebut berteriak dan mengacungkan pistol.
“Kenapa kau bisa di sini? Apa kau pembunuhnya? Kau bukan anggota keluarga di rumah ini,” tanya polisi yang memiliki kumis tebal.
“Membunuh?” ujar jackson bingung
Ia hanya mengantarkan pizza dengan ketidakberuntungannya. Ia mulas tiba-tiba dan pergi ke toilet, hanya itu.
“Cepat borgol dia!” polisi lainnya pun memborgol tangan Jackson.
“Pak, Pak! Ini salah paham. Saya hanya pengantar pizza dan pemilik rumah ini memesan pizza dari toko tempat saya bekerja. Membunuh? Membunuh siapa, Pak?” Jackson tidak kuat menahan tangisnya ketika dirinya dipaksa masuk ke dalam mobil polisi dengan suara sirine di atasnya.
Tak ada jawaban yang pasti dari polisi kepada Jackson. Sepanjang jalan Jackson selalu menyangkal bahwa bukan dia pembunuhnya, bukan dia! Membunuh? Dia tidak melihat mayat di rumah itu.
Sesampainya di kantor polisi, ia sudah dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang begitu mencekam.
Sebenarnya siapa korban pembunuhan tersebut sampai sampai banyak sekali wartawan duduk menunggu di depan kantor polisi ini.
“Cepat jalan!” sambil mendorong bahu Jackson yang sudah melemah.
Di ruangan yang minim pencerahan ini Jackson diberikan pertanyaan yang menusuk dan selalu menyudutkannya. Ia tak tau lagi harus berapa kali ia harus menyangkalnya bahwa bukan dia pembunuhnya. 3 jam sudah lamanya dan belum ada hal yang pasti dari situasi yang sedang dihadapi seorang pengantar pizza dengan gaji yang tak seberapa itu.
“Detektif, ada seorang anak kecil teriak di luar ia mengatakan bahwa pembunuh ini kakaknya,” bisik seorang polisi pada polisi yang dari tadi mengintimidasinya.
“Itu adikku! Itu adikku! Tolong pertemukan aku dengannya!” tangis Jackson sudah tak terbendung lagi mendengar teriakan gadis kecil di luar memanggil namanya.
Tentu saja polisi tidak mengijinkannya. Detektif tersebut mendatangi perempuan kecil tersebut dan menyuruh anak buahnya membawanya pulang.
Lalu dia kembali masuk. “Kau pembunuhnya, mengakulah atau kusuruh anak buahku membuang adikmu,” ancam polisi tersebut. Suasananya semakin menyeramkan sekarang.
Seringai tiba-tiba muncul di bibir Jackson. “Iya itu aku, huuff kupikir aku bisa mengelabuhi kalian tapi ternyata memang polisi sangat pintar. Aku pikir tak ada orang di rumah itu namun ada rupanya,” tawa Jackson. Bukan! Bukan tawa biasa melainkan tawa jahat layaknya di film yang ditonton adiknya.
“Kenapa kau lakukan itu biadab?” tampar polisi tersebut membuat bibir Jackson berdarah.
“Cuih!” Jackson meludahkan darah akibat tamparan tersebut.
“Karena kau tidak bisa melakukannya, jadi kulakukan sendiri. Apa kau tidak ingat aku? Aku adalah anak korban pemerkosaan oleh anggota dewan bejat itu!” teriak Jackson sambil tertawa. Ya korban tersebut merupakan anggota dewan dengan luka tusukan di perutnya mengenai organ vitalnya, membuatnya mati seketika.
“Apa kau ingat bagaimana biadab itu memperlakukan ibuku? Apa kau ingat bagaimana aku memohon agar pria itu dihukum untuk mengurangi penderitaan ibuku? Kau mengusirku! Kalian semua mengusirku! Karena aku tidak punya uang. Bukankah kau sudah kenyang dengan uang suap dari anggota dewan tersebut, Pak detektif?” senyum mengerikan Jackson keluar.
Ibunya meninggal bukan merindukan ayahnya. Ibunya meninggal karena depresi, ibunya adalah pembantu di rumah impian Jackson itu. Ibunya diperkosa oleh majikan yang sudah ia anggap keluarga tersebut, namun naas ia berakhir menyedihkan.
Tadi, menurutmu seberapa berani seorang tukang antar pizza tiba tiba menerobos rumah seorang pelanggan? Itu karena Jackson sudah paham betul bentuk rumah ini, bahkan penghuninya sendiri. Ia hanya merasa bahwa ia mendapat layanan VIP ketika ia mendapatkan tugas mengantar pizza ke rumah sebesar itu.
Ia memang ke kamar mandi, bukan karena mulas melainkan karena ia membersihkan sedikit percikan darah yang ia sebut darah kotor dari seseorang yang menyambutnya di depan saat ia menekan bel rumah.
Mengapa roda Jackson tidak berjalan? Karena ia punya batu yang besar menghalanginya yaitu DENDAM kematian ibunya. Roda yang seharusnya berjalan baik, terhalang dendam yang lebih besar. Roda akan berjalan ketika jalan mulus namun ketika jalan berbatu mungkin akan berjalan.