Kata orang, hari Minggu adalah hari yang tepat untuk mendinginkan kepala dan otak yang sudah bekerja keras enam hari lamanya. Namun, tak pernah lagi ku rasakan satu kali pun arti yang dimiliki oleh hari tersebut.
Dimas adalah seorang mahasiswa semester 7 yang tumbuh di sebuah panti asuhan. Ia memiliki seorang sahabat bernama Salwa. Saat mereka menginjak usia 17 tahun, Salwa pergi meninggalkan Dimas. Akankah Dimas dan Salwa dipertemukan kembali?
Aku tidak butuh validasi agar orang menganggapku cantik. Lagi pula, ini sudah abad 20, siapa yang peduli dengan standar kecantikan?
Aku terus berlari. Entah sampai kapan. Tergesa-gesa dan mulai kehabisan nafas. Aku ingin berhenti. Berbalik dan menyudahi ini semua, berbalik dan berteriak sekuat tenaga. Menyalurkan semua perasaaan lelahku.
“Mungkin memang dunia ini nggak adil, Mbak. Saat kita sedang terluka, orang-orang masih tetap nongkrong, ketawa-ketiwi. Dunia akan tetap berlanjut meski dunia kita sedang runtuh. Itulah, kenapa. Mungkin saya cuma bisa kasih minuman. Tetapi percayalah, Mbak. Ada satu-dua orang yang mencoba hadir di sisi Mbak untuk saat ini.” Siapakah gerangan tersebut?
“Halo, Jani. Maaf sudah tiga hari tidak memberimu kabar. Kebun hidroponikku sedang banyak-banyaknya panen hasil. Kemarin, aku baru saja mendapat kabar baik kalau proposal proyek sosialku dari Kedutaan Jerman itu, diterima,”