Hits: 3
Alfi Rahmat Faisal
Pijar, Medan. Jika sepakbola adalah sebuah Anomali, maka Underdog Sindrom adalah rangkaian kata yang tepat untuk menggambarkan euforia liga inggris musim ini. Siapa lagi kalau bukan Leicester City penyebabnya. Kontestan dengan latar sosio-ekonomi paling sederhana di acara kompetisi adu bakat di telvisi, komposisi pemain seadanya dan pelatih yang karirnya menyedihkan. Tentu saja kita menyukai klub ini dengan alasan yang sama yaitu karena Leicester City adalah kita.
Kita menyukai Leicester City karena pada satu titik dalam hidup kita juga pernah menjadi underdog, dan tahu bagaimana rasanya dianggap remeh oleh orang lain –sakit, mz-. Karena itu setiap melihat underdog berkompetisi, seperti ada bagian dari diri kita yang sedang ikut bertarung di sana. Tentu saja, kisah soal underdog sangat menghibur dan penuh atraksi. Bahkan banyak Film Hollywood yang berangkat dari kisah perjuangan para tokoh dengan probabilitas kecil merangkak menuju kejayaan. Sebut saja Film Goal, Mighty Ducks, Remember the titans, Rocky, hingga The Hunger Games.
Bahkan Film komedi Shaolin Soccer pun pada dasarnya hanya bercerita tentang sebuah klub sepakbola miskin dengan pemain antah berantah yang tidak tau cara bermain sepakbola pada awalnya hingga akhirnya menjadi juara (Tentu saja tidak, Jamie Vardy cs tidak mempunyai kekuatan super dari shaolin) –sebuah paradoks yang menggelikan ketika membayangkan kisah Leicester City dan Film Shaolin Soccer—
Jika dalam film Shaolin Soccer ada Stephen Chow, maka Leicester City pun punya Jamie Vardy sebagai tokoh utama. Vardy adalah perwujudan sempurna dari konsep underdog dan keberadaannya sangat penting dibalik kisah Cinderella ala Leicester City. Sama seperti Katniss Everdeen dalam trilogi Hunger Games, Jamie Vardy adalah wajah revolusi.
Jamie Vardy menjelma menjadi mimpi buruk bagi lini belakang lawan. Saat ini ia menjadi top skorer sementara liga inggris dengan 19 gol mengalahkan nama-nama beken seperti Sergio Kun Aguero, Harry Kane dan Romeru Lukaku. Sebuah pencapaian yang luar biasa mengingat 3,5 tahun yang lalu, ia masih bermain di klub kelas kecamatan non-liga (divisi kelima di piramida sepakbola Inggris), Fleetwood Town. Maaf mengecewakan anda, kita tidak akan menemukan nama Vardy sebagai jebolan akademi sepakbola manapun. Karena dulu ia hanyalah buruh pabrik dengan gaji pas pasan lalu bermain sepakbola untuk menyambung hidup. Kisah Jamie Vardy adalah bukti nyata dongeng di dunia sepakbola. Jangan heran ketika ada yang mengusulkan untuk membuat sebuah film tentang kisah Jamie Vardie, underdog dari segala underdog. –Beruntung Vardy tidak lahir di Indonesia, mungkin sudah diajak main sinetron atau jadi bintang iklan produk minuman penambah tenaga-.
Tapi sesungguhnya Vardy bukan satu-satunya pemain buangan di Leicester City. Kita akan menemukan Robert Hurt yang dicampakkan Chelsea karena kalah mentereng dibanding John Terry, William Gallas, maupun Ricardo Carvalho dan ada Kasper Schmeichel yang hidup di bawah bayang-bayang nama bapaknya ketika di Manchester City. Lalu ada jebolan akademi Manchester United, Danny Drinkwater, yang tidak pernah bermain satu kalipun untuk “Setan Merah” dan akhirnya hengkang dari Old Trafold.
Lalu bagaimana dengan Riyad Mahrez? Ah, dia juga bukan siapa-siapa. Apalah Mahrez yang cuma berharga 400.000 poundsterling ketika dulu dilego Le Havre (lebih kecil dari gaji Diego Costa 2 minggu).
Tak kurang dari itu sang pelatih Claudio Ranieri pun hanya di cap pelatih kelas dua. Melanglangbuana di banyak klub, AS Roma, Inter Milan, hingga AS Monaco, namun tak ada prestasi mentereng. Bahkan Ranieri dianggap gagal melatih tim nasional Yunani yang menelan kekalahan dalam 4 pertandingan. Tak perlu lama lama menarik kesimpulan, Ranieri adalah pelatih gagal, begitupun Leicester yang kebetulan beruntung akhir musim lalu, perpaduan sempurna. Begitu kira-kira.
Kini kumpulan pemain buangan itu sedang menertawakan para pencibirnya. Kita pun ikut tertawa karena membungkam haters adalah hal yang menyenangkan. Apa yang dilakukan Leicester adalah sebuah anomali. Selama ini mereka yang bertakhta di Premier League adalah wajah-wajah lama. Kalaupun ada yang baru, pastilah punya kuasa financial yang sangat besar seperti Manchester City.
Namun, bukan sepakbola namanya jika tidak ada anomali dari paradoksnya liga Inggris. Dan hari ini Leicester adalah sebuah antitesa, “Degradasi atau juara”. Bukannya berkutat di jurang degradasi, malah ujung-ujungnya bikin keributan di jajaran pimpinan klasemen. Jangan ada dusta diantara juara. Jujur saja, deretan klub yang pernah menjamah seksinya piala liga inggris dibuat ketar-ketir oleh skuad Ranieri. Tentu saja para elit Liga Inggris sedang kebakaran jenggot menyaksikan hukum probabilitas ditunggangbalikkan oleh tim kampungan yang berhasil mengangkangi mereka yang berdarah Aristokrat. Sebut saja Manchester United, Liverpool, Manchester City hingga juara musim lalu Chelsea pun kebagian giliran dipecundangi.
Perjalanan menuju singgahsana juara bagi Lesicester City masih panjang. Tentu saja kita menaruh harapan pada klub ini, tak peduli apa klub sepakbola favorit anda. Nah, jika Chelsea musim lalu juara bersama pelatih berjuluk “The Special One”, lalu julukan apa yang akan kau pilih, Ranieri? dan perayaan seperti apa yang akan kita lakukan nanti, Leicester? (Sumber: detikcom, cnnindonesia.com)