Hits: 18

Viona Matullessya

Pijar, Medan. Aku menghela nafas panjang untuk kemudian menghembuskannya, terdengar suara pelatih Paduan Suara itu menarik aba-aba untuk memulai lagu itu sekali lagi. Lagi-lagi aku menoleh ke belakang, tak ada. Apakah yang terjadi dengannya, beragam pertanyaan mucul dalam benakku, sementara mulut harus tetap mengeluarkan suara. “Stop!” teriak pria muda yang merupakan pelatih Paduan Suara ini. Aku tersentak, entah mengapa semua mata seperti mengarah kepadaku. “Tolong semua konsenterasi, kali ini kita bukan mengisi acara-acara biasa, tapi acara yang di hadiri para pejabat daerah bahkan nasional, jangan mempermalukan saya!” tegasnya, sorot matanya yang tajam seolah-olah mengintimidasi setiap sudut pikiranku.

Apa yang ada di benakku saat ini, tidak seharusnya aku membuat teman-teman yang lain mengulang lagu ini lagi. Setelah lebih dari 2 jam kami berdiri dan berkoar-koar mengumandangkan beberapa lagu, rasanya kaki ini tidak lagi berpijak di bumi. Pertunjukkan tinggal beberapa minggu lagi. Aku berusaha memfokuskan pikiranku, merasa bersalah sekali jika untuk kedua kalinya hal yang sama harus terulang.

Bar terakhir siap dinyanyikan, berakhirlah latihan panjang yang menguras tenaga dan suara ini. Lebih dari 2 jam kami berada di sini, namun sosok yang ku cari benar-benar tidak ada. Untuk kesekian kalinya beribu panah pertanyaan menghujam hati dan nalarku dan cukup menguras adrenalinku. Aku tak dapat mengerti sikapnya belakangan ini, apakah dia sengaja menjauh dariku.

“Tik, sebentar, saya mau bicara!” kata sang pelatih yang menghampiriku ketika aku sedang merapikan partitur lagu. “Kenapa bang?” tanyaku sambil menghampirinya dengan tatapan kosong. “Ada yang kau tunggu dalam latihan ini?” tanya sang pelatih. Sangat kaget mendengar pertanyaan tajam itu. Bagaimana mungkin dia tahu, belum lagi aku menjawabnya, “Jelas aku tau Tik, kau bergabung dalam paduan suaraku sudah lebih dari 2 tahun, dan kau adalah anggota yang paling semangat ketika latihan, dan memberikan seluruh jiwamu saat latihan. Tapi tidak dalam beberapa pertemuan ini, kenapa?”. “Ah, abang ini, sok tahu aja. Hahahahah, mungkin terlampau capek bang baru pulang les, jadi kelihatan kurang bersemangat,” tegasku. “Kebohongan itu memang tidak terdengar jelas dari bibir, tapi terlihat jelas dari sorotan mata, sudahlah jika kau belum mau terbuka, namun aku minta kau mampu profesional jika sudah bergabung, sebentar lagi kita akan tampil!” katanya dengan lembut dan berlalu.

Aku tak menyangka sedalam itu Bang Sony memperhatikanku, bahkan pikiranku pun dapat dibacanya. Apakah dalam fakultas musik ada mata kuliah yang membahas pikiran seseorang. Bagaimana mungkin dia tahu aku sedang mencari seseorang yang harus bertanggung jawab setelah mencuri hatiku. Bahkan mungkin dia mengetahui isi hatiku. Aku jadi takut, jika sampai dia mengetahuinya dan menyampaikannya pada orang itu. Gawat. Atau mungkin dia juga sudah menyampaikannya.

Sejak bergabung dua tahun lalu dalam Paduan Suara ini, bahkan sebelum aku bergabung aku telah tertarik pada salah seorang anggota paduan suara ini. Dulu saat masih SMP aku sering ikut kakakku ketika dia berlatih di Paduan Suara ini bahkan dalam beberapa kesempatan aku boleh hadir dalam konser Paduan Suara ini. Diam-diam aku menaruh perasaan pada junior Paduan Suara ini yang sekarang telah menjadi seniorku. Aku mencari tahu segala hal tentangnya dari jejaring sosial, semuanya. Sayangnya kakakku harus mengundurkan diri karena akan segera menikah. Di acara pernikahan kakakku inilah, aku dan dia berkenalan. Meski sebenarnya sudah lama sekali aku mengenal dia.

Setelah masuk SMA aku memutuskan untuk mengikuti jejak kakakku bergabung dalam paduan suara ini atas rekomendasi dari Bang Sony. Kakakku bilang, saat pernikahannya Bang Sony begitu terkesima mendengar suaraku ketika mengisi acara. Kesempatan ini tak ku sia-sia kan, aku langsung menyetujuinya. Setiap kali latihan, aku begitu senang. Apalagi ada Bang Isaac, semenjak bergabung dia yang selalu memperhatikan segala kebutuhanku di paduan suara ini, sesuai harapanku masuk dalam Paduan Suara ini. Meski, aku tak terlalu banyak berharap saat aku tahu bahwa dia menyukai orang lain secara diam-diam juga. Namun, memelihara perasaan ini salahkah?

Bertahun aku menyimpan semuanya sendirian, tak seorang pun boleh tahu. Apa boleh buat, aku tak sekuat itu, aku butuh seseorang untuk berbagi, seseorang yang benar-benar dapat ku percaya. Aku menceritakan semua kronologinya kepada sahabat karibku Cory. Meski dia pendengar yang baik, aku juga butuh pendapat darinya, sayangnya dia memintaku untuk segera move on. Cory khawatir ketika rasa ini semakin membesar, ternyata dia telah memilih orang lain. Sungguh, pendapat itu benar-benar membuka nurani dan pikiranku yang selama ini tertutupi oleh cinta buta. Melupakannya, apakah aku sanggup?

Setiap malam aku berdoa agar Tuhan memberikan jalan keluar dari masalah hati ini. Ntah mengapa, setiap aku berusaha melupakannya, bayangannya selalu muncul dan muncul. Namanya selalu melintas dan aku tak kuasa untuk membuang segalanya. Konsenterasiku pecah, segalanya menjadi kacau. Aku tak menemukan setitik cela pun yang dapat menghapus semua perasaan ini, tidak ada alasan untuk tidak mencintainya selain dia mencintai orang lain. Apa daya, itu tak cukup untuk menghapus semuanya karena cinta tak harus memiliki. Beragam cara, dan tak ada yang berhasil.

Seminggu ini aku hampir saja dapat mengerjakan misiku untuk melupakannya, aku kesal sekali ketika dia berubah secuek itu. Aku tak tahu apa penyebabnya, aku kira dia orang yang fleksibel dan tidak mudah marah. Tapi belakangan ini aku begitu merasakan perubahannya. Meski aku tidak begitu dekat padanya namun aku tahu persis bagaimana dia sebenarnya. Beberapa waktu lalu aku mengirim chat melalui Line wadah kami sesama anggota Paduan Suara berinteraksi, padahal aku hanya menanyakan soal partitur lagu yang kemarin di bawa olehnya, namun hingga detik ini dia tak kunjung membalas pesan itu.

Saat latihan tadi, aku sempat melihat dia membawa barang-barang serta beberapa kertas yang aku tak tahu apa. Kami sempat berpapasan namun dia seolah-olah tidak melihatku dan memalingkan wajahnya. Aku tak mengerti apa salahku, biasanya dia begitu ramah padaku. Menegurku setiap kali kami bertemu, tapi belakangan ini itu jarang terjadi. Dia juga jarang ikut dalam latihan, kabarnya dia harus mempersiapkan ujian di kuliahnya, tapi apa sampai harus sekejam itu? Atau ini hanya perasaanku saja.

Aku memanfaatkan kesempatan ini untuk pelan-pelan melupakannya. Meski ini hanya sekedar dugaanku semata, aku yakin ini pasti berhasil. Sayangnya nalar boleh saja menutup segala tentangnya tapi hati tidak. Aku merasa sikapnya yang seperti itu adalah kesalahanku. Mungkin aku tak sadar berbuat salah dan menyakiti hatinya atau jangan-jangan dia sengaja menjaga jarak denganku ketika dia tahu perasaan itu. Hatiku tidak pernah tenang sejak saat itu.

Hal yang sama terus saja terulang. Dalam beberapa kali latihan dia tampak hadir dan ikut latihan. Tapi dia tetap seperti menjauh dariku. Setelah lama kuperhatikan sepertinya sikap seperti itu tidak hanya ditunjukkan kepadaku tapi juga Bang Sony. Padahal aku sangat tahu mereka sudah lama akrab. Bang Isaac dan Bang Sony juga tidak hanya sekedar bertemu di Paduan Suara ini tapi juga satu sekolah dulunya. Aku juga kenal pribadi Bang Isaac yang begitu baik dan lembut. Sikapnya benar-benar berubah.

Dua minggu kemudian hari yang kami tunggu-tunggu pun tiba. Pesta tahunan kota kami pun dimulai, dan tentu saja Paduan Suara kami menjadi artisnya kali ini. Persiapan kami yang cukup matang mengundang ribuan tepuk tangan dari ribuan hadirin pula. Setelah selesai mengumandangkan dua buah lagu kami kembali ke belakang pentas. Dadaku sesak sekali melihat pemandangan di belakang panggung, namun aku berusaha untuk menutup segalanya. Tak boleh seorang pun tahu. “Cieee, yang sudah jadian, makan-makan dong!” kata Bang Sony pada dua sejoli yang sepertinya sedang dimabuk asmara itu Bang Isaac dan Kak Sinta. Mereka jadian? Bagaimana mungkin bisa, bukannya selama ini Bang Isaac menyukai Kak Poppy yang kuliah di Jogja. Sakit sekali rasanya, aku langsung membayangkan wajah Cory saat dia mengatakan kata-katanya kemarin. Aku benar-benar belum sanggup menerima kenyataan ini.

Kami masih harus melanjutkan 2 buah lagu lagi. Sejujurnya, jika bisa aku ingin sekali segera pulang dan melampiaskan amarahku. Tapi aku bukan tipe orang yang seperti itu, aku harus melanjutkan tanggung jawabku. Toh, dia bukan siapa-siapa. Aku tidak harus repot-repot menangis untuk orang yang bukan milikku. Meski hati ini perih aku harus tetap bertahan.

Setelah pesta tahunan itu, Bang Isaac keluar dari Paduan Suara ini. Aku berusaha tidak peduli dengan hal itu. Rasa sakit itu masih terasa sampai sekarang. Meski berat sekali, namun apa hak ku melarangnya keluar. Dia keluar juga secara sepihak dan langsung disetujui oleh Bang Sony.

Semakin hari perilaku Bang Sony semakin berubah padaku. Dia semakin baik dan perhatian padaku. Seperti yang sudah ku katakan sebelumnya dia seakan mampu membaca pikiranku. Aku merasa ada hal yang ganjil dari sikap Bang Sony padaku. Benar saja, beberapa lama kemudian dia menyatakan cintanya padaku. Aku bingung sekali bagaimana mengatasinya. Bang Sony lima tahun lebih tua dariku sama seperti Bang Isaac, tapi perasaanku masih sama seperti yang dulu. Apapun itu, hatiku masih tetap untuknya. Tapi bagaimana mungkin aku menolaknya, dia begitu baik padaku.

“Cor, Bang Sony nembak gua!” kataku di telepon. “Tunggu apalagi, langsung terima aja kelles!” sambarnya. “Gila lu, dia tua banget pe’a!” seruku. “Bang Isaac?” pertanyaan itu seolah menyudutkan aku. “Beda dong Cor, lu pasti ngerti lah!”, “Bang Sony tulus mencintai lo, bahkan semuanya dilakukannya buatlu?”, “Sok tahu lu, macam kenal aja!”, “Ya jelaslah, Bang Sony tuh tahu banyak tentang lu dari gua, semuanya. Termasuk perasaan lu ke Bang Isaac dia juga tahu. Dia cerita sama gua kalau dia berusaha jauhin lu dari Bang Isaac, dia mohon banget loh! Makanya Bang Isaac sampai jauhin lu!” katanya panjang lebar. Aku gak tahu harus berkata apalagi, jadi ini semua akal-akalannya Bang Sony. “Gua gak akan terima dia!” suaraku melemah, “Gua kecewa sama lu Cor!” seakan sadar telah keceplosan Cory langsung mengklarifikasi perkataanya, “Emh, eh, emh, tadi tuh, emh, gua cuma bercanda kok! Itu bohong. Lu jangan marah ya.” aku menutup telepon itu, aku gak sanggup menerima kenyataan ini. Aku gak tahu bahwa semuanya akan serumit ini, apalagi Cory, tega-teganya dia melakukan semua itu. Ternyata Bang Sony bukan ahli membaca pikiranku, tapi bertanya tentang diriku.

Secara dewasa aku menyelesaikan semua masalah ini. Aku menolak secara halus permintaan Bang Sony, aku juga memutuskan keluar dari Paduan Suara ini dengan alasan harus fokus setelah memasuki jenjang kuliah. Aku tak menanyakan apapun soal apa yang dikatakan Cory. Semuanya sudah jelas, Bang Sony baik, tapi dibutakan cinta. Sama seperti perasaanku saat ini masih sama seperti lima tahun lalu pada DIA.

Leave a comment