Hits: 9

Raymond Putra Pratama Silalahi

“ABANGGG… Aku disinii” teriak Lyla dari kejauhan.

Sudah pukul 10 malam pada hari itu, dan Lyla masih terlihat bugar seperti tidak melakukan apa-apa pada hari itu, padahal dia baru saja terbang dengan pesawat selama 2 jam dari kotanya bekerja ke kotaku bekerja, dengan catatan bahwa ia pergi sendiri sambil mendorong koper dan membawa tas ranselnya. Tidak heran, sejak kecil Lyla merupakan anak yang aktif di banyak bidang. Soal hobi, dia rela melakukan apapun agar ia bisa mengerjakan hobi nya. Dengan umur yang masih 10 tahun saat itu saja, ia seperti memiliki energi setara dengan atlit lari Usain Bolt yang merupakan pelari tercepat di muka bumi pada saat ini. Bayangkan saja, Lyla dapat melakukan ekstrakulikuler taekwondo atau karate yang aku sendiri lupa mana yang pasti ia ikuti,  lalu sepatu roda, dan ia juga mengikuti klub bergengsi di sekolahnya, marching band dengan posisi pemain drum. Ia pernah mengatakan pada ku bahwa drum yang ia bawa sangat berat.

“Drum ini berat, badanku lelah mengangkatnya“ curhatnya pada saat itu, tapi sampai ia tamat dari sekolah itu, ia tetap mengikuti marching band di sekolahnya, bahkan ia selalu tersenyum saat bersama dengan drum beratnya.

Selain itu, ia sempat mengikuti banyak kegiatan besar dan lomba-lomba yang aku sendiri tidak bisa mengingatnya. Kemampuannya dengan kamera, jiwa nya menjadi pemimpin dan banyak hal, membuatku semakin terheran-heran dengan kemampuannya. Aku sangat ingat dahulu saat ia masih dalam kehidupan sekolahnya, ia mengikuti banyak sekali pelatihan dan menenteng kamera yang besar dan berat, pergi ke pedalaman dan melewati jembatan yang panjang, lalu setelah itu ia pergi untuk mengikuti kegiatan lainnya yang bagiku “tidak kalah menarik“ dari kegiatan sebelumnya.

Sekarang, ia sudah tumbuh sangat dewasa. Aku dan Lyla sudah sangat lama tidak bertemu. Sekarang ia bekerja dibagian yang ia suka dan tekuni dengan gaji dua digit yang ia impikan, dan aku sama dengannya. Yang berbeda dari kami saat ini hanyalah satu, yaitu tempat kami bekerja. Lyla dan aku pernah berjanji untuk terus saling berhubungan satu sama lain, atau jika memungkinkan kami harus mengusahakan sebuah pertemuan.

Saat ini pertemuan itu sangat mahal, karena kami sudah sangat lama tidak berjumpa. Walaupun aku adalah seorang abang yang merindukan adiknya, sangat sulit untukku agar lolos dari pengambilan cuti kerja yang aku sudah usahakan karena sebelumnya aku sudah mengambil jatah cuti untuk keperluan membeli satu rumah di daerah luar dari kota yang saat ini menjadi tempat aku bekerja. Walau saat ini bos dari tempatku bekerja sangat baik, tapi ia sangat ketat untuk urusan libur. Untungnya, lagi-lagi Lyla membawa keberuntungan besar padaku. Dengan menyebutkan “aku ingin bertemu dengan saudara perempuanku yang mendadak datang ke kota ini..,“ kepada bos, secara mengejutkan ia mengijinkanku untuk pergi.

Aku merindukan Lyla. Dia merupakan saudara perempuanku yang terkecil. Jiwanya masih sama, dengan sikap kakunya, senyum di wajahnya, dan suara khasnya yang dulu sangat sering aku dengar. Sekarang tubuhnya meninggi dari terakhir kali kami berpisah karna tempat kerja yang berbeda. Bagiku, dia seperti malaikat kecil yang pernah menuntunku untuk berjalan kearah yang lebih baik. Mungkin kalimat tersebut seperti kiasan yang aneh dan berlebihan, tetapi, itulah “arti Lyla bagi hidupku“.

Sekarang ia ada di depan mataku. Ia datang dari kotanya bekerja untuk bertemu denganku. Ayah dan ibu sudah memberitahuku sebelumnya, sehingga aku tidak terlalu kaget untuk melihatnya, seharusnya. Tetapi, saat ini badanku terasa kaku, aku tidak sadar sudah berjalan kearahnya yang juga berlari ke arahku. Pertemuan pertama kami sejak terakhir kali kami berpisah. Aku memeluknya dengan erat, aku tidak sadar pada saat itu aku sudah menangis terharu.

Aku tau, ia adikku yang aku kenal. Ia bertumbuh dengan sangat pesat dan hebat. Sekarang, ia sudah bisa membelikan apapun untuk ayah dan ibu sesuai dengan keinginannya. Ya, dia sangat mementingkan ayah dan ibu dari apapun. Di pertemuan pertama ini, aku berusaha meluapkan segala haru dan rindu yang sudah ku simpan sejak lama. Aku meminta maaf padanya karena tidak bisa datang ke kotanya.

“Aku bangga untuk mu, dan segala perjalanan yang sudah kamu lewati“ ucapku pada Lyla yang juga pada saat itu menangis terharu dengan perjumpaan ini.

Aku tidak tahu isi hatinya apakah ia rindu atau tidak. Aku mengatakan ini karena aku mengenalnya. Lyla dari dulu sangat sulit untuk mengungkapkan perasaanya lewat kata, bahkan untuk mengetik kata rindu saja butuh berhari-hari untuknya sampai ia berhasil mengetiknya melalui kolom pesan kami. Itupun dengan kalimat panjang yang sangat panjang, dengan inti kalimat “ayo main, Lyla rindu bermain bersama“. Dengan kondisi pada saat itu aku sedang dirawat di rumah sakit, aku sangat tertawa membaca pesan itu yang ibu tunjukkan padaku melalui ponsel ku. Tetapi, pesan itu membawa semangat besar untukku sembuh dari penyakitku pada saat itu.

Sekarang, kami mulai melepas pelukan dan tersenyum satu sama lain. Kami berjalan ke arah restoran yang aku yakin seluruh makanan disitu pasti Lyla sukai. Sangat sulit menemukan tempat makan yang Lyla suka, karena ia sangat pemilih untuk makanan. Dia sangat tidak suka dengan sayur tauge yang aku sendiri sangat menyukainya, begitu juga dengan mie rebus favoritku yang berada didekat rumah orang tua kami.

Aku sangat senang melihatnya, aku ingin melihat adikku terus tersenyum dengan bahagia, mencapai apa yang ia inginkan. Bagiku, Lyla masih saja Lyla kecil yang penuh energi. Usain Bolt kecil, dengan segudang prestasinya.

Leave a comment