Hits: 39
“Semakin langka seni yang kita tekuni, maka akan semakin mahal”
Pijar, Medan. Kalimat ini seolah menggambarkan keseriusan seorang Robby Forceanoz dalam menekuni dunia sulap. Walau sulap dipandang setengah mata oleh sebagian orang namun itu tidak menghalangi semangat Robby dalam berkarya. Menurutnya, anggapan tersebut muncul dari ketidaktahuan masyarakat tentang sulap sehingga menganggapnya remeh. “Ibaratnya emas, itu kan mahal karena dia langka. Kalau dia berserak dimana-mana pastilah tidak mahal lagi. Jadi semakin langka seni yang kita pelajari semakin mahal juga ianya,” terang Robby.
Robby Forceanoz merupakan nama panggung dari Robby Setiawan Surbakti. Nama itu diambilnya dari seorang tokoh perang dari Mesir bernama Gio Forceanoz, “Dia itu seperti tokoh Gajah Mada di Indonesia, dia enggak terkalahkan,” jelasnya. Mahasiswa Sastra Inggris USU ini awalnya mempelajari sulap sekedar iseng-iseng dan tidak berniat menjadi profesional. Ia mengisahkan, saat duduk di bangku SD ada seorang pesulap yang tampil di sekolahnya. Robby yang memiliki rasa ingin tahu dan penasaran yang cukup tinggi akhirnya berniat mempelajari sulap. Hanya, baru empat tahun belakangan ia serius mempelajarinya. Pada tahun pertama, Robby tidak berani tampil sebagai seorang profesional namun 3 tahun belakangan ia memberanikan diri untuk tampil.
Hal ini pulalah yang membuatnya berjodoh dengan audisi The Master 5 yang diadakan di RCTI. Robby ingat saat itu bulan November, dimana dirinya melihat iklan The Master di internet. Kebetulan ia juga punya kenalan di Jakarta, jadilah Robby membuat sebuah video atraksi sulap yang diunggah ke Youtube. Kemudian link-nya ia kirimkan ke RCTI. Setelah 3 minggu, ia diberitahu oleh pihak RCTI bahwasanya ia lulus untuk diaudisi di Jakarta. Jadilah Robby bersama sekitar 360 peserta lainnya menjalani audisi kembali di ibukota.
Audisi pertama ia lalui dengan mulus, dimana hanya diambil 50 besar dari seluruh peserta. Kemudian pada audisi selanjutnya ia juga lolos masuk 20 besar. Sayang sekali saat akan menuju 15 besar untuk ditampilkan secara live di televisi, ia harus tersingkir.
Namun semua itu tidak mematahkan semangat Robby untuk menekuni sulap. Walaupun dirinya pernah mempelajari sulap klasik dan fakir pada akhirnya ia memutuskan untuk memilih mentalism sebagai fokusnya. Mentalism adalah ilmu kekuatan pikiran, meramal, memprediksi dan mempengaruhi pikiran orang. Alasannya sederhana saja, “Seni apapun yang kita pelajari harus sesuai dengan diri kita. Ibaratnya, kalau enggak bisa nge-dance ya jangan nge-dance,” pungkasnya. Selain itu ia juga memiliki keahlian lainnya seperti membaca kartu tarot (tarot reader).
Seperti halnya setiap orang yang memiliki idola, Robby pun sama. Di Indonesia, ia mengidolakan Deddy Corbuzier yang menurutnya bisa menampilkan ide sederhana menjadi megah. Bukan cuma itu, tapi juga menyisakan pesan dan kesan untuk penontonnya bukan sekedar show saja.
Seni ini jugalah yang menghidupinya, selain menjadi mentalis ia juga membuka toko properti sulap. Pendapatannya pun tak main-main, dalam sekali show angka jutaan bisa diperolehnya. “Paling kecil dua juta, kalau teman-teman di Jakarta sana yang sudah profesional bisa mendapat 30 juta untuk setiap penampilannya,” terangnya gamblang. Pernyataan ini juga mematahkan anggapan masyarakat bahwa menjadi pesulap itu tidak mendatangkan penghasilan. Padahal Robby merasa sangat untung dengan menjalani profesinya ini sekarang.
Robby kini masih terus menekuni sulap dari seorang gurunya yang berada di Jakarta, yaitu Joe Thunder – juga guru Master Limbad – serta Ki Ari Pamungkas yang berdomisili di Medan. Robby pun tak berharap muluk-muluk untuk perkembangan sulap di Indonesia. Ia hanya ingin sulap mendapatkan porsi yang pantas, tidak perlu terlalu over di atas tapi tak juga harus berada dibawah. Tak lupa Robby berpesan bagi yang ingin menekuni dunia sulap, jangan patah arang dulu hanya karena kata-kata orang sekalipun banyak yang memandang sulap setengah mata. Siapapun orangnya asal terus maju dan terus berlatih maka akan ada jalan, tutupnya. [PRA]