Daging Babi “Dibingkai” Toleransi

Hits: 23

Pijar, Medan. Alangkah indahnya perbedaan kalau dipenuhi aroma toleransi yang melahirkan kebersamaan. Toleransi sarat rasa saling menghargai. Kota Medan tergolong sebagai kota rasa toleransi tinggi. Satu dari bentuk toleransi ini adalah banyak ditemui para penjual daging babi yang bebas bertransaksi di ruangan terbuka.

Pijar berkunjung ke Simpang Pos, persimpangan bertemunya Jalan Djamin Ginting dengan Jalan Hj. Misbah. Terdapat puluhan pedagang daging babi segar di sini. Sebagai sentra perdagangan, kawasan ini setiap hari ramai dikunjungi pembeli. Simpang Pos sendiri merupakan kawasan padat. Penduduknya datang dari berbagai latar belakang agama dan suku yang berbeda. Kelompok Nasrani dan Muslim banyak ditemui di sini.  Sebelumnya tempat ini adalah lahan garapan.

Adalah Ediman Ginting, seorang Karo yang ikut meramaikan Simpang Pos sebagai pedagang daging babi selama 13 tahun terakhir. Daging babi yang ia jual adalah peliharaannya sendiri. Penghasilannya terbilang cukup fantastis. Dalam sehari dia bisa menjual 100 kilogram daging yang biasa diplesetkan sebagai “kerbau pendek” ini. Berat ini setara dengan 1 ekor babi. Satu kilogram daging babi ia jual seharga Rp 27.000.

Dahulu Ediman memang menernakkan hewan tersebut di belakang rumahnya. Tetapi sekitar tiga tahun yang lalu, sejak Peraturan Daerah Nomor 23 tahun 2009 tentang Larangan Usaha Ternak Kaki Empat dan Peraturan Walikota Nomor 13 Tahun 2010 tentang Larangan Ternak Kaki Empat digalakkan, dia memindahkan semua ternaknya ke daerah Binjai. “Sekarang ternak kami tidak di sini lagi. Kami sudah memindahkannya ke daerah Binjai,” sahutnya ringan dengan logat Karonya.

Kalau bicara mengenai toleransi, pria 28 tahun ini berusaha menjaga dan menghargai umat yang mengharamkan hewan ini. Dia selalu menutupi dagangannya itu dengan kain agar orang-orang lewat yang “anti” akan daging hewan tersebut tidak merasa jijik. Sungguh itu suatu perbuatan yang arif, walaupun berdampak buruk bagi penjualannya, sebab calon pembeli mungkin menganggap bahwa yang  tertutup kain itu bukan daging babi. “Orang-orang mengira ini seperti kain-kain biasa. Jadi, calon pembeli pun nggak tau dan pergi aja. Tapi, ya memang uda gitu seharusnya, saling menghargailah,” ungkapnya.

Uniknya di seberang jalan, tidak jauh dari situ berdiri tegak sebuah rumah makan muslim yang sangat terkenal, Mari Kena. Rumah makan ini sudah berdiri sejak 50 tahun yang lalu. Bayangkan, sebuah rumah makan yang halal “dikepung” pedagang daging babi, tetapi sampai saat ini tidak ada konflik. Kita barangkali heran, bagaimana bisa rumah makan yang dimiliki seorang muslim yang jelas-jelas haram dengan “kerbau pendek”, berjualan tepat di depan penjual daging babi tersebut? Luar biasa, sungguh sesuatu yang tidak akan kita temui di tempat lain.

Marikena, wanita berkulit gelap pemilik rumah makan itu terkesan sangat santai menanggapi hal itu. Ia bukannya tidak pernah merasa risih. Ia bahkan menginginkan adanya campur tangan pemerintah untuk merelokasi pedagang  daging babi itu. Sudah berkali-kali dia menyampaikan keluhannya kepada kepala lingkungan, tetapi tidak ada respon sama sekali. Ya sudahlah, biarkan saja. Kita kan harus menghargai juga kan?” terangnya sambil tertawa kecil.

Sebagai muslim yang taat, wanita yang masih memiliki keluarga di luar nonmuslim ini sangat prihatin dengan kondisi yang setiap hari dihadapinya. Tapi tetap saja, dia harus lapang dada menghadapinya. “Kita kan berketuhanan. Kalau merasa risih, ya pastilah, tapi bagaimana lagi? Rejeki itu sudah ada yang mengatur,” tambahnya.

Kentalnya semangat saling menghargai juga tercermin dari Ruslin (70), tokoh agama di Mesjid Nurul Huda, Kwala Bekala. Mesjid itu masih berdekatan dengan daerah penjualan babi. “Ya, intinya kami saling menjaga, berbaur, dan saling menghargai,” katanya.

Medan, kota yang dinamis dan multietnis dapat hidup dengan harmonis. Bak lukisan, Medan takkan mungkin dapat membentuk gambar yang indah jika hanya terdiri dari satu warna. Takkan mungkin Medan bisa hidup damai tanpa ada sikap saling menghargai perbedaan. Itulah Medan, indah di dalam keberagaman. [dht]

 

 


Leave a comment