Hits: 37

Muhammad Fikri Haikal Saragih

Pijar, Medan. Di tengah sibuknya kehidupan, banyak kelompok rentan yang menghadapi sejumlah tantangan untuk berekspresi. Dari banyaknya kelompok rentan yang selalu siap menghadapi rintangan serta tantangan, disabilitas tunarungu (teman Tuli) menjadi salah satu yang siap menjalani hidup dengan semangat, meskipun terbatas pada kemampuan mendengar.

Di balik keterbatasan yang dimiliki, terdapat potensi besar yang sering kali luput dari pandangan. Sri Dewi Fitriyani Natadiningrat menjadi seseorang yang mampu melihat potensi besar itu.

Wanita yang akrab disapa Dewi ini merupakan ketua sekaligus pendiri Yayasan Khadijah Sharaswaty Indonesia (KSI) pada tahun 2005. Program awal yang digerakkan di KSI mulanya hanya dua, yaitu sosial dan lingkungan.  Lewat inisiatifnya, Dewi mendirikan Rumah Difabel Sharaswaty (RDS) sebagai pembuka jalan bagi seluruh teman-teman difabel untuk berekspresi, berkumpul, belajar, dan merasa dihargai sebagai bagian dari masyarakat pada umumnya.

“Disabilitas awalnya masih menjadi bagian dari program sosial, tetapi sekarang sudah menjadi program sendiri. Kalau Rumah Difabel baru berdiri di tahun 2023. Rumah Difabel dibuat karena awalnya dilakukan secara door to door, saya belum punya tempat. Jadi, 2020 sampai 2023 saya yang mengunjungi tempat perkumpulannya, seperti dari Tarutung, Tebing Tinggi, dan lainnya,” ungkap Dewi.

RDS saat ini menjadi ruang dan rumah bagi teman difabel maupun masyarakat umum untuk saling berbagi cerita dan menghidupkan harapan. Para sahabat Sharaswaty dan teman Difabel diajak untuk belajar berbagai jenis keterampilan, seperti berkomunikasi dalam bahasa isyarat, menghasilkan karya seni, bahkan membuat produk kewirausahaan. Lewat interaksi yang setara, RDS menjadi lingkungan yang mampu membuat teman difabel merasa dimengerti dan dihargai.

Perjalanan Dewi dalam mendirikan yayasan dan Rumah Difabel tentu tidak berjalan mulus begitu saja. Banyak tantangan yang harus ia hadapi dalam menjalankan yayasan, baik dari internal maupun eksternal, seperti membutuhkan energi yang lebih banyak, kesulitan dalam mendapatkan kepercayaan dari teman difabel termasuk teman Tuli, dan menyatukan perbedaan sudut pandang dari berbagai pihak.

“Pertamanya, mereka tidak welcome. Namun, dengan adanya pembuktian dari program kita, seiring berjalannya waktu mulai ada kepercayaan dari mereka. Sehingga, dapat  bersama seperti saat ini. Tantangan lainnya mungkin lelah serta adanya perbedaan persepsi. Memang kebanyakan tantangan dari eksternal, tetapi bagi saya waktu terus berlalu. Jadi, biar waktu yang membuktikan,” pungkasnya.

Dewi berupaya agar masyarakat bisa melihat teman difabel sebagai individu yang memiliki potensi besar. Lewat kehadiran RDS sebagai ruang inklusi bagi teman difabel, hal ini membuktikan bahwa mereka bisa menjadi orang yang mampu memimpin, serta menginspirasi bagi lingkungan sekitar. Dengan dukungan dan ruang yang tepat, mereka bisa menunjukkan kapasitas dan kreativitasnya sama seperti orang lainnya.

Dengan didirikannya Rumah Difabel dan program-programnya, Dewi ingin para penyandang disabilitas melihat diri mereka sebagai individu yang lebih mandiri, mampu, dan setara, sama seperti masyarakat lainnya walaupun dengan kemampuan yang berbeda. Ia juga berpesan untuk teman difabel, khususnya teman Tuli, keterbatasan bukan sesuatu yang harus disesali, melainkan pintu untuk membuka potensi lain yang belum dieksplorasi. Jangan jadikan keterbatasan sebagai label untuk membatasi langkah diri sendiri.

“Saya harap, kalian mau berteman dan berkomunikasi dengan teman Dengar, tidak hanya dengan teman Tuli yang lain saja. Kemudian, jangan jadikan keterbatasan ini sebagai privilege kalian untuk dikasihani. Buktikan bahwa kalian bisa sebagai difabel untuk mampu melakukan apa yang orang lain lakukan,” harapnya.

(Redaktur Tulisan: Kelly Kidman Salim)

Leave a comment