Hits: 18
Josephine / Marshella Febriyanti Hutabarat
Pijar, Medan. Pernahkah kamu mengalami masa di mana perasaan dan pikiran liar terus menghantui hingga kamu tersakiti karenanya? Atau hari dimana kamu merasa sangat lelah hingga di titik ingin menyerah dan meninggalkan segalanya? Begitulah depresi yang diungkapkan oleh Matt Haig dalam bukunya, Reasons to Stay Alive.
Reasons to Stay Alive adalah buku non-fiksi karya Matt Haig, seorang penulis buku kesehatan mental asal Inggris. Terjemahannya dalam bahasa Indonesia diterbitkan oleh Gramedia pada tahun 2018. Berjumlah sebanyak 266 halaman, buku ini didasarkan oleh perjuangan pribadi sang penulis dalam melawan depresi dan kecemasan yang ada dalam dirinya, serta perjalanannya menuju kesembuhan dan penemuan alasan untuk tetap bertahan hidup.
Matt mendeskripsikan secara rinci kondisi depresi yang dialaminya. Dia menjelaskan bagaimana depresi menyebabkan seseorang bertarung hebat melawan pikiran-pikiran yang mencoba menyerang dirinya. Bagi Matt, depresi dianalogikan seperti ban bocor, sesuatu yang rusak dan tidak bisa bergerak.
Terdiri dari lima bagian, yaitu jatuh, mendarat, bangkit, menjalani hidup, dan menjadi bagian dari kehidupan, buku Reasons to Stay Alive mengulik seluk-beluk depresi yang dialami oleh penderitanya. Mulai dari gejala-gejala depresi, tantangan atau hambatan yang dialami dalam kehidupan, hingga berbagai usaha yang dilakukan untuk bisa pulih dari depresi.
“Saya ingin mati. Tidak. Itu tidak sepenuhnya benar. Saya bukannya ingin mati, saya hanya tidak ingin hidup. Saya takut mati. Dan orang yang bisa mati hanya orang yang pernah hidup.” – halaman 13.
Depresi itu bisa menyerang siapa saja dan penderita depresi bukanlah orang yang tidak takut mati. Mereka hanya manusia biasa yang takut dan tidak ingin mati. Akan tetapi, mereka tidak diberikan pilihan lainnya. Kondisi depresi mendorong mereka ke titik terendah mereka, yaitu ketika mereka akhirnya kehilangan harapan atau keinginan untuk melanjutkan hidup. Satu-satunya keinginan yang tertinggal hanyalah keinginan untuk bisa menghilangkan kepedihan yang dirasakannya itu.
Depresi itu tidak bisa sembuh atau dihilangkan sepenuhnya dari dalam diri seseorang. Namun, depresi itu bisa diatasi. Setidaknya itulah yang dikatakan oleh Matt. Prosesnya membutuhkan waktu yang lama, tidak instan. Selain itu, dibutuhkan perjuangan yang datang dari diri sendiri serta dukungan dari orang sekitar.
“Cinta menyelamatkan saya. Andrea. Kekasih saya menyelamatkan saya. Cintanya kepada saya dan cinta saya kepadanya. Bukan cuma sekali. Berulang-ulang. Lagi dan lagi.” – halaman 124.
Melalui Reasons to Stay Alive, Matt juga membagikan berbagai solusi mengatasi depresi yang telah dicobanya sendiri secara langsung. Mulai dari menghabiskan waktu lebih banyak untuk menulis dan membaca, serta memilih olahraga lari untuk berdamai dengan kondisi depresi.
Bukan hanya itu, Matt juga membuat daftar buku bacaan yang dapat dijadikan sebagai referensi bagi para pembaca yang juga mengalami hal serupa untuk mengatasi sesuatu yang “sepertinya salah” dalam hidup.
Bagi kamu yang saat ini tengah merasa depresi, putus asa, ataupun menganggap dirimu hanya sebagai sebuah beban dalam hidup, Reasons to Stay Alive akan menjadi buku yang tepat. Ia dapat membantumu dalam menemukan alasan untuk melanjutkan hidup kembali dan mengisi hidupmu dengan berbagai hal indah. Bertahanlah seperti Matt Haig yang dulunya pernah dibelenggu oleh sosok depresi dalam hidupnya, tetapi kini bisa sukses sebagai penulis dan dikaruniai oleh keluarga yang mencintai dirinya.
“Kita sendirian, tapi tidak sendirian. Kita terperangkap oleh waktu, tapi kita juga tidak terhingga. Kita terbuat dari darah dan daging, tapi kita juga terbuat dari bintang-bintang.” – halaman 249.
(Redaktur Tulisan: Marcheline Darmawan)