Hits: 20

Claudita Piesesta Tarigan

Di sebuah desa kecil yang berada di dalam hutan hiduplah seorang anak perempuan bernama Erina. Dia gadis yang pemalu dan tinggal sebatang kara, di saat anak lain seusianya belajar di sekolah dan beristirahat di rumah nyaman, Erina harus menghadapi pilu hidup di usianya yang masih dini.

Srek srek

Suara tangan seseorang sedang membongkar sampah demi mencari barang berguna yang bisa dipakainya dari bekas orang lain.

“Kenapa orang-orang selalu membuang benda yang masih bisa dipakai? Apa mereka tidak menghargai apa yang telah diberikan oleh keluarganya?” gumamnya saat dia mendapatkan sepatu berwarna hitam yang memiliki lubang kecil di sebelah bagiannya.

Erina kembali mencari barang yang dianggapnya menarik untuk diambil, lalu diperbaiki dengan caranya sendiri. Tangan kecilnya yang rapuh dan wajahnya yang kotor karena debu terlihat bersemangat saat menemukan apa pun yang bisa diambilnya.

***

Erina akhirnya sampai di rumah, rumah berukuran kecil yang hanya dilindungi oleh kayu-kayu tua yang semakin lapuk dan menunggu waktunya untuk menyerah. Erina merasa nyaman di dalam sana, walaupun setiap hujan datang mereka akan saling bertengkar satu sama lain dengan rumah Erina.

“Rina! Rina!” suara seseorang dari luar istananya terdengar memanggil dengan semangat, suara yang familiar untuk didengar telinga kecilnya Erina.

“Kenapa kau kesini?” ucap Erina sambil membersihkan tangannya ke baju.

“Emang aku ga boleh datang? Kamu kan temanku! Ayo bermain!” serunya sambil bersemangat.

“Jika kau terus-terusan kesini keluargamu nanti marah.”

“Kamu menghinaku ya?” bantah temannya sambil mengerutkan dahi.

“Oke, maaf maaf. Aku hanya bercanda. Kau tidak perlu marah, nasib kita kan sama,” jelas Erina.

Cia sudah menjadi keluarga bagi Erina. Dia adalah seorang anak perempuan yang memiliki nasib sama sepertinya. Erina masih sangat ingat bagaimana pertama kali mereka bertemu, saat Erina tersesat di hutan di malam hari, anak perempuan itulah yang membantunya keluar dari kegelapan hutan yang menyeramkan. Hingga sekarang mereka terus bersama-sama jika bermain atau hanya sekadar menghabiskan waktu.

Cia masuk ke rumah Erina sembari melihat barang-barang yang telah didapatkan.

“Wah! Sepatu ini bagus, aku mau!”

Dengan cepat Erina langsung memegang sepatu itu, “Enak aja! Cari sendiri dong ini kan aku yang dapat, berarti ini punyaku,” serunya dengan nada kesal.

Cia langsung menggaruk kepalanya sambil tertawa, “Padahal kan aku hanya bercanda, ga mungkin aku mengambil apa yang bukan punyaku. Walaupun kamu sebenarnya juga mengambil yang bukan punyamu.”

“Ini memang bukan punyaku, tapi pemilik aslinya kan sudah tidak menginginkan benda ini makanya mereka buang, berarti aku tidak mencuri dong,” ucap Erina dengan nada sedikit malu.

“Seperti kamu dong?” tanya Cia.

Pertanyaan tersebut membuat Erina kaget dan merasa kesal, wajahnya mengerut marah sambil menatap Cia.

“Bercanda, kamu tidak usah terlalu serius,” gumam Cia.

Erina yang terlanjur kesal dengan ucapan Cia hanya memalingkan wajahnya dan tidak menjawab. Sedangkan Cia hanya tertawa kecil. Bocah berumur 13 tahun itu memilki mulut yang tajam, sementara Erina sudah terbiasa dengan seluruh perkataannya tersebut.

***

Seminggu setelah kejadian tersebut, Cia kembali mendatangi rumahnya dengan bersemangat.

“Hei, Erina! Kamu tau ada sekolah baru yang dibangun di sini? Ayo lihat!”

Erina bingung, “Sekolah? Di desa kecil ini?”

“Sudah ikuti saja aku, kamu pasti suka.”

Cia langsung menarik tangannya menuju lokasi yang dimaksud.

Sesampainya, mereka melihat sekolah yang cukup bagus untuk sepantaran sekolah di desa dan melihat para orang tua membawa anak mereka untuk mendaftar di sekolah baru itu. Anak-anak mereka tertawa dan bermain bersama seusia mereka dengan memakai seragam yang berwarna sama. Namun, wajah Erina tampak sedih dan cemburu.

“Kamu kenapa?” tanya Cia.

“Tidak… Hanya saja aku merindukan keluarga,” jawabnya sedih.

“Begitu…,” Cia mendekat kearah Erina berdiri, “Kamu mau mendengarkan sebuah cerita?” lanjutnya.

“Eh, tiba-tiba?”

“Kamu mendambakan sebuah keluarga kan? Kalau begitu biarkan aku menceritakan sebuah cerita yang indah.”

Cia memulai ceritanya dan Erina diam seolah siap mendengarkan.

“Terdapat sebuah keluarga, ayah, ibu, dan satu anak mereka. Mereka hidup dengan bahagia, tidak kekurangan suatu apa pun. Harmonis, sejahtera dengan keuangan yang cukup netral. Apalagi yang kurang dari keluarga itu? Semuanya sudah indah.”

“Apa kau menghinaku?” Erina tiba-tiba berceletuk di tengah cerita Cia.

“Hei, tunggu dulu! Kamu harus mendengarkan bagian yang seru!” ujarnya.

Erina mengatur ulang ekspresinya dan kembali bersiap untuk lanjutan ceritanya.

“Tidak ada yang dapat menganggu kehidupan mereka, kan? Seharusnya tidak ada, hingga seorang anak kedua lahir, seorang perempuan. Keluarga itu menjadi semakin indah dan bahagia. Istana mereka penuh dengan canda tawa anak bayi yang telah lahir itu. Tapi semakin bertumbuhnya anak gadis itu, dia menjadi semakin keras kepala dan bahkan memiliki niat buruk kepada saudarinya. Akhirnya setelah suatu kejadian yang cukup fatal, keluarga mereka tidak lagi memiliki pegangan dalam hubungan dan berakhir hancur.”

Cia diam sebentar sebelum akhirnya tersenyum ke arah Erina sembari berkata, “Bagaimana? Cerita yang menarik bukan?”

Erina terlihat kesal mendengar ceritanya, “Bagaimana bisa sebuah keluarga hancur dan kau hanya bercerita seperti menyampaikan kabar gembira seperti itu?”

“Padahal aku hanya mencoba menghiburmu…,” ucap Cia sedih.

“Sudahlah, ayo kembali, untuk apa kita di sini?” Erina berjalan duluan meninggalkan Cia di belakang yang akhirnya berlari mengejarnya.

Saat ingin berjalan pulang, mereka bertemu orang tua yang aneh berpapasan dengan mereka. Orang tua itu terlihat mencurigakan dan memanggil Erina dengan suara lemahnya.

“Nak!”

Erina berbalik melihat wajah orangtua itu yang tampak khawatir.

“Kau harus melepaskan apa pun yang ada di dalam dirimu, lupakan dan biarlah hidupmu terus berjalan,” ucap sang orang tua tersebut secara tiba-tiba.

“Dia terlihat mencurigakan, Rin, ayo balik saja,” paksa Cia kepada Erina dengan wajah ketakutan.

Erina pun mengiyakan kemauan Cia dan mereka berdua pulang ke rumah Erina. Namun, perkataan orang tua itu membuat dia bertanya-tanya apa maksudnya.

“Cia, sebelum kau pulang, aku ingin bertanya padamu.”

“Oh! Baiklah dengan senang hati aku menjawab,” balas Cia.

“Kau. Aku belum pernah mendengar masa lalumu selain kau tinggal sendiri sama sepertiku.”

“Aku? Ah, kau tidak perlu tau,” Cia berkata dengan santai seperti bukan hal penting.

Erina menaikkan nada bicaranya bermaksud agar Cia mau menjawab dengan serius, “Bukan itu yang ingin kudengar.”

Namun, Cia hanya memberikan senyuman kepada Erina dan tampak terlihat tidak masalah atas pertanyaan aneh itu.

***

“Apa kau senang akan mempunyai seorang saudari?” ucap seorang ayah kepada anaknya saat bermain boneka dengannya.

“Saudari? Mungkin… Aku bisa bermain dengannya! Jadi ayah tidak perlu khawatir lagi saat aku sendirian!”

“Ah, anakku ini tampak tidak setia pada ayahnya,” sedetik kemudian tawa memenuhi ruangan tersebut.

“Apa ibu boleh ikut bermain nanti?” Seorang wanita duduk di sofa melihat mereka dengan senyuman hangat.

***

“Ayah sudah berencana untuk membuat sekolah baru di desa ini.”

“Sekolah? Di desa seperti ini? Buat apa, ayah?”

“Tentu saja ini sebagai hadiah untuk kelahiran adikmu nantinya, dan juga untuk membantu anak-anak warga di desa ini yang masih kekurangan pendidikan.”

“Oh… begitu.”

***

“Wah, sepatu ini bagus! Aku mau!” seru sang adik dengan semangat.

“Enak aja! Ini kan punyaku, kalau mau bilang ayah aja buat beli!” sang kakak terlihat kesal.

Ibu terlihat mencoba melerai mereka, “Sudahlah, berilah sepatu itu pada adikmu, itu juga mulai tidak muat padamu, kak.”

“Tidak mau! Ini punyaku!”

***

“Ibuuu, Ibuuuuu!” sang kakak berteriak dari ruang tamu mendatangi ibunya yang berada di kamar tidur.

“Kenapa berteriak?”

“Ibu, lihat sepatuku! Kenapa sepatunya robek?”

“Tadi adikmu memakai sepatumu sebentar, sini ibu perbaiki.”

“Kenapa ibu kasih? Tanpa seizinku!” Kakak kesal dan langsung keluar dari kamar sang ibu.

***

“Kakak… Aku minta maaf udah memakai sepatumu hingga robek kemarin… ini uang jajanku aku tabung buat mengganti sepatu kemarin.”

Si adik tampak sedih dan menyesal masuk ke kamar kakaknya.

“Tidak apa-apa, tapi aku boleh minta tolong ga? Ambilin bajuku yang dijemur di balkon dong.”

“Okeee!”

Brakk

Suara sesuatu jatuh terdengar, diikuti dengan suara teriakan terkejut, “Rani! Rani!”

***

Keluarga itu menjadi semakin suram setelah kepergian salah satu anak mereka dan sang kakak yang tersisa malah semakin sedih karena merasa keluarganya semakin jauh. Perlahan dia mulai merasa sendirian dan kesepian. Apa yang menjadi miliknya yang indah direbut begitu saja hanya karena kepergian sang adik.

“Setidaknya kamu masih memilikiku, kan? Aku akan membuat siapa pun yang berani mengambil yang kau miliki membayarnya…”

***

Melihat tingkah laku si kakak yang menjadi semakin aneh, akhirnya sang ayah dan ibu memutuskan untuk memeriksanya. Mereka pergi ke rumah sakit dan mengetahui kondisi putri mereka yang tersisa ternyata memiliki penyakit mental. Si kakak menganggap bahwa adiknya masih hidup. Semakin hari keluarga itu semakin berantakan dan pecah.

***

“Kita akan liburan hari ini, kalian nikmati saja,” ucap sang Ayah dengan lelah.

Bahkan di perjalanan, orang tuanya malah bertengkar saling menyalahkan satu sama lain atas kejadian lama yang menimpa mereka, sehingga sang ayah secara tidak fokus.

Brakkk

Sang kakak keluar dari mobil berlari masuk ke dalam hutan mencari tempat perlindungan. Hari sudah malam, bersama bintang-bintang cerah menyinari malam. Pagi menjadi malam. Matahari menjadi bulan. Kebahagiaan menjadi penderitaan.

“Aku sudah bilang, kan, aku akan melindungimu dan menghiburmu, Erina…”

Erina menatap Cia dan menerima uluran tangannya. Cia menyelamatkannya dari gelapnya hutan malam. Cia juga yang menjatuhkannya dari terangnya kebahagiaan keluarga.

Leave a comment