Hits: 19
Zian Nabilla Barus
Kisah ini dimulai 14 tahun yang lalu. Saat itu, tahun ajaran 2010 baru saja dimulai.
Satu tahun pertama untukku di kota baru. Satu tahun pertama juga untukku di sekolah baru. Ketika itu, aku begitu bersemangat memasuki era baru dengan baju dan tas baru tentunya. Satu tingkat kelas sudah dilewati menandakan aku semakin dewasa, pikirku di usia delapan tahun waktu itu. Tidak hanya aku, teman-teman sepantaranku juga berpikir hal yang sama. Apalagi adik kelas kami bertambah menjadi dua kelas.
Hari pertama kelas dimulai sama seperti tahun sebelumnya. Tahun lalu, kelasku kedatangan murid baru, yaitu aku. Tahun ini, kelasku kedatangan murid baru lagi. Seorang bocah laki-laki bertubuh cukup tinggi dibandingkan bocah sepantarannya. Tidak ada yang spesial dari kehadiran bocah tersebut. Kami menyambutnya dengan hangat dan kelas berjalan seperti biasa dengan membosankan.
Hari-hari terus berlalu, hingga menemui hari di mana aku mendapati teman-temanku berpendapat kompak akan satu hal, “Kalau diliat-liat, kok kayaknya Dela mirip sama anak baru itu ya, ga sih?”
Ya, namaku Dela. Entah apa awal mula pembicaraan ini hingga seisi kelas kompak membicarakan aku yang dimirip-miripin dengan anak baru itu. Menurutku tidak ada kemiripan sama sekali di antara kami, kecuali tinggi badan kami yang sama-sama menjulang tinggi dan berbeda dari teman-teman lainnya.
Entah berapa kali aku mendengar hal itu dari banyak orang. Hingga akhirnya aku mengiyakan pendapat itu. Sekilas kami memang memiliki wajah yang mirip dan warna kulit yang cenderung sama. Mungkin, karena kami berasal dari suku yang sama.
Respon anak baru itu, tidak ada. Dia hanya bingung dan berkata, “Ah, masa?” lalu tersenyum kecil.
Suatu hari, seperti biasa sebelum istirahat dimulai, sekolahku menjalankan kegiatan salat dhuha berjamaah. Tabir atau kain pembatas tidak dibentangkan karena jamaah salat dhuha hanya anak-anak murid, sedangkan guru mengawasi dan akan salat setelah semua murid selesai salat.
“Del, ayok temenin aku. Shalat di sini aja,” ajak temanku bernama Yuni sambil menarik tanganku ke barisan salat paling depan.
Aku langsung melihat jamaah laki-laki di depan dan menyadari maksud Yuni dengan cepat. Dia hanya ingin salat sejajar lurus ke depan dengan crush-nya. Entah apa yang ada di pikiran bocah umur delapan tahun waktu itu, tetapi hal seperti ini terasa menyenangkan.
“Kau di sebelahku aja ya, biar sejajar sama dia juga,” ucap Yuni sambil menunjuk ke arah anak baru yang sudah berdiri tepat di sebelah crush-nya. Aku meng-iya-kan saja dan memulai salat.
Di sekolahku wajib menjalankan salat dhuha dan dzuhur berjamaah. Sejak hari itu, setiap kali salat, aku bersama Yuni selalu salat dengan mencari barisan tepat di belakang mereka. Secara kebetulan, mereka adalah sepupu yang sangat dekat, sehingga selalu salat bersebelahan. Lambat laun mereka menyadari kebiasaan kami berdua. Tidak ada penolakan sama sekali, bahkan hal ini menjadi lelucon untuk kami berempat.
Sejak kebiasaan aneh itu, aku dan Yuni jadi dekat dengan anak baru itu. Beberapa kali kami sering ngobrol banyak hal. Tentu, obrolan anak kecil yang random soal kartun hingga permainan baru apa yang bisa dimainkan hari ini. Hingga aku menyadari bahwa anak baru ini ternyata menyenangkan. Diriku yang waktu itu masih berusia delapan tahun berpikir bahwa, aku suka sama dia.
Tahun terus berganti. Perasaan suka itu mulai hilang, tetapi kami masih berteman dekat sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Bermain bersama, mengerjakan tugas bersama, bahkan aku suka meminta bekalnya yang selalu dengan lauk nugget dan sosis itu. Lucunya, di tahun ke-5 Sekolah Dasar, perasaan suka itu malah berpindah ke Yuni. Yuni mengakui bahwa dia suka dengan anak baru itu. Namun, baik aku maupun Yuni sama sekali tidak mengumbar perasaan itu. Mungkin waktu itu kami sudah menyadari kalau itu hanya perasaan sesaat, hehe.
Kukira kisahku ini akan berhenti setelah kelulusan tiba. Aku pikir nantinya kami bisa bertemu dengan versi remaja tanpa perasaan sesaat itu lagi. Namun, belum genap satu tahun aku melewati era putih biru, tepat di Januari tahun 2015, aku mendapati kabar bahwa anak baru itu telah menemui kehidupan barunya di dunia yang berbeda. Di umurku yang masih 13 tahun waktu itu, pertama kalinya aku menangisi kepergian seseorang sehebat itu. Aku mengurung diri di kamar dengan tangis yang pecah sejadi-jadinya. Suara tangisku yang terus sesenggukan terdengar hingga keluar kamar.
Entah apa yang membuatku menangis sejadi-jadinya waktu itu. Jika dipikir-pikir lagi, aku juga tidak tahu, tapi rasanya berat sekali. Sepertinya ada yang hilang. Mungkin karena itu pertama kalinya bagiku kehilangan orang terdekat dalam hidupku.
Sepulang melayat dari rumahnya, aku bersama Yuni menatap sekali lagi ke rumahnya. Rumah yang pernah jadi tempat kami bermain. Padahal dulu rumah itu terlihat menyenangkan. Tetapi hari itu terlihat sangat suram.
“Sebenarnya, dia pernah suka samamu lo,” ucap Yuni tiba-tiba.
Aku tertegun sesaat. Apa pentingnya itu sekarang? Lagipula dibandingkan soal perasaan itu, aku lebih menangisi kenangan persahabatan kami yang tidak bisa dikenang bersama lagi.
Waktu demi waktu terus berjalan. Benar jika kenangan itu memang ada untuk dikenang. Setiap tahunnya kenangan itu akan kembali dan tidak memberikan celah untukku melupakannya. Entah hanya aku atau teman-temanku juga merasakannya. Bahkan di tahun 2024 ini, sering kali terbesit di pikiranku, “Kira-kira versi dewasa kamu bakal seperti apa ya?”