Hits: 14
Claudita Piesesta Tarigan
“Tidak bisakah kau lebih baik?”
***
“Selamat pagi semuanya, selama satu semester ke depan, saya lah yang akan mengampu anda dalam mata kuliah Bahasa Indonesia, jadi saya mohon kerja samanya agar pertemuan-pertemuan selanjutnya dapat berjalan dengan lancar,” ucap seorang wanita yang sedang berdiri di depan kelas sembari memperkenalkan diri.
Dari luar terdengar suara langkah kaki yang dengan cepat mendekati kelas.
“Maaf saya terlambat, apa saya masih diperkenankan masuk, Bu?” Seorang pemuda berdiri sambil terengah-engah di depan pintu kelas karena harus berlari dari tempat parkir menuju kelas yang berada di lantai 4 saat itu.
“Baru pertemuan pertama saja kamu sudah terlambat, bagaimana ke depannya nanti? Yasudah, saya beri ampun karena ini adalah pertemuan pertama, silakan masuk.”
“Terima kasih bu, permisi.”
Pemuda itu mengambil kursi di bagian belakang melewati teman-teman sekelasnya yang sudah mengeluarkan buku catatan. Di sebelahnya, seorang pemuda tampak bersembunyi di belakang mahasiswa lain sambil memakan camilan.
“Hari pertama saja kau sudah telat, Do.” Ucapnya sambil menawarkan jajanan kepada temannya yang baru saja datang.
“Orang yang hadir di kelas hanya pada waktu ujian saja tidak pantas menasehatiku.”
“Sekarang tidak tuh.”
Lalu, seluruh kelas mulai hening dan teliti mendengarkan materi yang disampaikan dari mata kuliah nasional pada pagi hari tersebut.
“Karena waktu sudah hampir selesai, pertemuan hari ini kita akhiri sampai sini saja. Namun, saya akan memberikan tugas yaitu setiap individu harus menulis tulisannya masing-masing tentang hidupnya. Tidak perlu terlalu mendalam ataupun panjang dan akan dibacakan minggu depan di depan kelas. Terima kasih dan selamat siang.”
Serentak seluruh mahasiswa disana menjawab sambil merapikan peralatan mereka “Selamat siang, terima kasih Bu.”
***
“Kenapa tugasnya harus buat cerita hidup, seperti tugas anak kecil saja. Aku butuh tugas yang lebih susah seperti buat jurnal atau minimal makalah.”
“Terakhir kali tugas makalah presentasi saja kau tidak hadir dengan alasan sakit perut.”
“Kalau itu memang sakit perut, Do. Lagian sepertinya tugas ini memang sangat cocok untukmu.”
“Kenapa?”
“Di kertas itu nanti kau bisa bercerita sekaligus kau bisa pamer sedikit jika kau itu anak tunggal, orang tua mu punya pekerjaan tinggi.”
“Tentang itu bukankah tidak baik jika terlalu disombongkan?”
“Bukan sombong tetapi hanya mencoba memberitahu.”
***
Sesampainya di rumah, dia langsung membuka laptopnya dan mulai mencoba menulis apapun yang sudah terpikirkannya. “Aku Aldo, umur 20.” Dia berubah pikiran dan mulai menghapus dan mengganti kata-kata yang diketiknya. “Halo, namaku Aldo.” Dia berubah pikiran dan menggantinya lagi, dia tidak mengira mencari kata-kata yang tepat untuk menceritakan hidupnya akan sesusah ini.
“Namaku Aldo, akan memasuki umur 20 saat bulan Mei nanti.” Hingga suara ketukan pintu terdengar, bersamaan dengan terdengarnya suara klakson mobil yang ada di luar gerbang rumahnya. Aldo langsung menutup laptopnya, mencoba untuk tidur tetapi berhasil diganggu oleh suara di depan pintu kamar yang membangunkannya.
“Permisi Aldo, Ibu dan Bapak sudah pulang.”
Ternyata itu adalah suara yang tidak asing bagi Aldo, suara itu tidak salah lagi adalah seorang asisten rumah tangga yang sudah lama bekerja di rumahnya bahkan semenjak dia kecil. “Yasudah Bik, bilang saja aku sudah tidur.”
“Tapi mereka meminta kamu keluar sebentar, mereka ingin bicara dengan kamu.”
Aldo akhirnya membuka lagi selimutnya dan berjalan ke pintu, mengalah dia membuka pintu dan berjalan keluar menuju ruang keluarganya.
“Selamat malam, Nak. Apakah kamu sudah makan? Ibu membawa makanan nih,” ucap sang Ibu sambil memberikan plastik yang berisi makanan di dalamnya.
“Wah, terima kasih.” Aldo sudah mengerti apa yang akan terjadi, karena orang tuanya jarang bersikap seperti ini jika sedang tidak menginginkan sesuatu darinya. “Jadi, hari ini apa?”
Sang Ayah langsung mengambil alih pembicaraan. “Kau sudah tahu bahwa sepupumu sudah bekerja di luar negeri? Sebaiknya kau bertanya kepadanya dan ikuti dia.”
“Pak, berapa kali aku sudah bilang aku tidak mau mengikuti orang lain, aku ingin meraih cita-citaku sendiri, Pak!”
“Pengusaha tidak mau, melanjutkan usaha kita juga tidak mau. Lalu, kuberikan saran sudah cukup mudah. Kau hanya perlu mengikuti sepupumu bagaimana dia melakukannya juga tidak mau! Mau jadi apa kau nanti nya?”
“Tapi itu bukan yang ku mau,Pak! Bapak kan sudah tahu aku gemar melukis, bahkan aku juga sering mendapatkan penghargaan lomba lukisan sampai sekarang.”
“Kau hanya tau melukis! Melukis bukan pekerjaan, melainkan hanya hobi. Kau tidak bisa hidup hanya dengan sebuah cat yang kau tuangkan ke kertas atau apalah itu. Aku sudah pernah peringatkan jika kau terus membantah, hidup saja sendiri. Selama kau dirumah ini, kau ikuti aturanku.”
“Aku kira rumah bisa menjadi tempatku bercerita, ternyata tidak. Apa kalian pernah memberiku selamat saat aku menang olimpiade? Saat aku memenangkan perlombaan? Atau hanya sekedar melihat hasil ujianku? Sepertinya seluruh usahaku sia-sia, tidak ada yang menginginkannya.”
“Kalian tidak pernah mendengarkanku sekali saja. Aku tidak perlu makan itu, aku tidak selera karena aku takut selera makanku juga akan diatur oleh aturan kalian. Selamat malam Bapak, Ibu.”
Saat Aldo masuk kamar dan sedang berpikir sendirian, asisten yang sudah cukup tua itu kembali mengetuk pintu dan masuk ke kamarnya. Memeluknya seperti anak kandungnya sendiri.
“Tidak apa-apa Aldo, cukup tunjukkan saja kepada mereka bahwa kamu itu pantas mendapatkan impianmu sendiri.”
“Sedari dulu aku mengikuti mereka, Bik. Bahkan mereka tidak ada saat aku sedang sangat membutuhkan sosok orang tua yang dikatakan sangat nyaman oleh orang lain. Namun aku malah mendapatkannya dari Bibik.”
“Cukup ingat saja seberapa tidak adilnya suatu keadaan, akan tetap ada orang-orang yang masih menyayangimu. Kamu cukup menyadari orang tersebut.”
***
Saat itu akhirnya tiba, pembacaan tugas di depan kelas dengan tema bercerita tentang kehidupan sendiri. Satu persatu ditunjuk untuk mulai membacakan tugasnya masing-masing, semua tulisan mereka indah. Namun, juga memiliki masalahnya tersendiri.
“Do, Ibu itu bertanya tentang cita-cita juga ternyata. Cita-citaku dari dulu tentara, karena hanya itu yang kupikirkan dan menurutku keren. Kalau kau apa?” Tanya teman nya yang kebetulan mengerjakan tugas, suatu hal yang bisa dianggap keajaiban.
“Cita-cita? Entahlah, apa aku masih pantas memikirkannya.”
“Kenapa? Bukankah kau ingin menjadi pelukis, aku liat kau jago sekali.”
“Aku tidak tahu, aku bermimpi sebagai astronot saat TK. Namun, dulu aku mudah sekali mual. Aku bermimpi ingin menjadi dokter saat masuk SD, tetapi aku tidak kuat melihat darah. Masa-masa SMP dimana aku mulai menurunkan kriteriaku, aku hanya ingin menjadi guru. Tapi aku tidak diberikan izin untuk mengikuti bimbel bagian itu. Ketika SMA, aku menemukan hobi baru dan aku mengembangkannya, itulah pelukis.”
“Nah, yaudah itu saja.”
“Tapi apakah itu memang yang kuinginkan?”
Akhirnya giliran Aldo dipanggil, dan dia dengan ragu membawa kertasnya dan mulai maju ke depan kelas membaca kata-kata yang sudah disusunnya selama seminggu lamanya. Kata-kata yang diucapkannya mulai terbang dari kertas saat dia membacakannya. Hingga akhirnya, dia menyelesaikan cerita tentang dirinya diikuti dengan suara tepukan tangan kagum yang bergema di kelas tersebut.
“Wah, kamu sangat berprestasi ternyata, saya yakin anak seperti kamu nantinya akan berhasil di tempat kerja yang kamu inginkan nantinya. Lalu, jika boleh tau, apa cita-citamu?” Ibu itu bertanya dengan senyuman hangat sambil melihat mahasiswa yang dibanggakannya tersebut.
“Cita-citaku?” dia tampak ragu, dia ingin menjadi pelukis, tapi dia sendiri tampak bingung bertanya-tanya kepada dirinya sendiri apakah itu yang benar-benar diinginkannya.
Dia memantapkan hatinya sambil tersenyum. “Cita-citaku adalah mengikuti hatiku sendiri, aku tidak perlu pekerjaan yang tinggi yang tidak ku sukai. Aku yakin masa depan akan memilihkan yang terbaik untuk ku.”