Hits: 98
Rais Sihombing
“And that’s when i knew, I’ve always been crazy about her.” – Taku Murosaki
Pijar, Medan. Romansa anak sekolah sering menjadi genre yang disukai banyak orang. Banyak seri dan drama yang juga berhasil mengadaptasi cerita tersebut dan mendulang kesuksesan. Tetapi, pernahkah kalian dengar bahwa Studio Ghibli, rajanya film fantasi menggunakan ide tersebut untuk menjadikannya sebagai sebuah film? Ya, mereka membuatnya menjadi sebuah film berjudul Ocean Waves.
Diproduksi di tahun 1993 dengan formula yang berbeda dari film-film sebelumnya, studio Ghibli merilis film dengan jalan cerita yang lebih realistis tanpa adanya bumbu fantasi dan dongeng masa kecil. Diarahkan oleh Tomomi Mochizuki dan Kaori Nakamura sebagai penulis cerita, film ini diangkat dari novel berjudul I Can Hear The Sea oleh Saeko Himuro. Kisah ini bercerita mengenai cinta dan masa muda antara Taku Morisaki, Yuto Matsuno, serta seorang anak baru yang mencuri perhatian bernama Rikako Muto.
Bermula saat Taku Morisaki melihat seorang gadis yang tidak asing baginya di stasiun kereta Tokyo. Maka dalam pesawat menuju kampung halamannya, Kochi, kenangan akan gadis itu membawa angan Taku kembali ke masa dua tahun lalu. Pada saat libur musim panas yang mengawali pertemuannya dengan seorang gadis pindahan dari Tokyo.
Rikako, yang bisa dikatakan anak kota dan pindah ke daerah pinggiran, tentu langsung mencuri perhatian semua anak laki-laki di sekolahan, bahkan para anak perempuan juga. Tidak terkecuali sahabat tokoh utama, yaitu Matsuno. Awal cerita kita akan melihat Morisaki yang tampak cuek dan biasa saja menanggapi kehadiran Rikako. Semuanya perlahan berubah hingga ke beberapa peristiwa dan masalah yang datang dengan tidak disangka malah menumbuhkan sedikit demi sedikit perasaan di dalam hati Murosaki.
Film ini menyuguhkan kisah yang lumayan klise dan mudah ditebak, namun semua terbayar dengan animasi khas dari Studio Ghibli yang membuat kita serasa kembali ke masa lalu. Adegan-adegan yang ditampilkan akan terasa relate ke beberapa orang yang menontonnya. Terutama intrik cerita, yaitu cinta segitiga dan dilema memilih persahabatan atau perasaan. Konsep cerita yang memang sudah biasa kita lihat di beberapa sinema.
Penggambaran karakter yang sederhana dalam kisah tersebut membuat kita sebagai penonton akan sangat menikmati film dari Studio Ghibli ini. Kisah masa muda selalu menjadi cerita yang diminati karena banyak orang yang merasakan keterikatan dengan cerita yang disuguhkan, sebab setiap orang pernah melewati masa itu, masa penuh semangat dan pertama kali mengenal yang namanya cinta dan perasaan suka ke lawan jenis. Kita pasti juga pernah merasakan yang namanya bingung, galau, juga berbunga-bunga dikala itu. Jadi, dengan menonton film ini kita bisa menyegarkan kembali ingatan yang telah lampau.
Walaupun begitu, film yang berdurasi 72 menit ini memiliki beberapa kekurangan, seperti transisi alur maju mundur yang kurang mulus, sehingga dapat membuat penonton kebingungan memahami cerita. Kurangnya character development dan sifat tokoh utama yang labil juga dapat membuat penonton merasa kesal dengan karakter dalam film ini.Kesimpulan yang dapat saya berikan ialah film ini bukan merupakan salah satu yang terbaik dari Ghibli. Masih banyak kekurangan dan juga celah-celah untuk bisa diperbaiki. Tidak seperti film Princess Mononoke maupun Grave of Fireflies yang bertopik berat juga menguras air mata, film ini bisa menjadi tontonan ringan ketika kita memiliki waktu senggang. Dan kabar baiknya, sekarang film ini sudah bisa diakses di platform streaming Netflix bersama film-film garapan Studio Ghibli lainnya.
(Redaktur Tulisan: Alya Amanda)