Hits: 382
“Bukan” Tanah Surga… Katanya
Zakiyah Rizki Sihombing
Pijar. Medan. “Bukan lautan hanya kolam susu, katenye…Tapi kata kakekku hanya orang-orang kaya yang bisa minum susu // Kayu dan jala cukup menghidupimu, katenye…Tapi kata kakekku ikan-ikan kita dicuri oleh banyak negara // Tiada badai tiada topan kau temui, katenye…Tapi kenape ayahku tertiup angin ke Malaysia // Ikan dan udang menghampiri dirimu, katenye…Tapi kata kakek awas ada udang dibalik batu // Orang bilang tanah kite tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman, katenye…Tapi kata Dokter Intel belum semua rakyatnya sejahtera, banyak pejabat yang menjual kayu dan batu untuk membangun surganya sendiri.
Puisi tersebut diadaptasi dari lagu Kolam Susu milik band lawas di Indonesia, Koes Plus. Puisi inilah yang dibacakan oleh Salman, salah satu peran dalam film Tanah Surga… Katanya (2012). Di dalam puisi tersebut terdapat makna kritikan kepada para pejabat yang tidak memperhatikan daerah mereka, daerah terpencil di perbatasan antara Kalimantan Barat dan Malaysia Serawak.
Film berdurasi 90 menit ini mampu membawa penonton ikut merasakan kepedihan mereka. Sebagai warga negara Indonesia, mereka tak tahu lagu kebangsaannya, rupa bendera merah putih, mata uang Rupiah. Mereka hanya mengenal lagu Kolam Susu dan mata uang Ringgit.
Salman dulunya tinggal dengan kakek, Salina adiknya dan ayahnya (Ence Bagus) yang kemudian menjadi pedagang di Malaysia. Ketika Ence Bagus kembali ke Indonesia, ia berencana memboyong keluarganya untuk menetap di Malaysia dengan harapan ingin mengubah hidup mereka menjadi sejahtera. Kakek yang merupakan mantan sukarelawan Konfrontasi Indonesia Malaysia pada tahun 1965, menolak permintaan Ence Bagus. Melihat kondisi kakek yang tengah sakit-sakitan, Salman pun mengurung niatnya untuk ikut Ence Bagus ke Malaysia dan memilih berpisah dengan Salina.
Di usianya yang sudah lebih dari setengah abad, kakek harus menahan perih kesakitan karena tak ada biaya untuk berobat ke rumah sakit. Obat yang didapat dari Dokter Intel (menggantikan dokter yang sudah meninggal) tak cukup untuk menyembuhkan kakek. Akibatnya Salman harus bekerja keras untuk biaya berobat kakeknya.
Ketika uang Salman sudah terkumpul, disaat itu pula kondisi kakek semakin parah. Dokter Intel beserta Ibu guru pun turut mengantarkan kakek ke rumah sakit. Jarak yang ditempuh memang cukup jauh, mereka melewati sungai dengan menggunakan perahu mesin. Ketika di tengah perjalanan, mesin perahu tiba-tiba saja mati dan terpaksa harus didayung. Tak lama setelah itu, kakek berpesan, “Salman, Indonesia tanah surge..apapun yang terjadi pada dirimu jangan sampai kehilangan cintemu kepada negeri…genggam erat cite-citemu, katekan kepada dunia dengan bangga, kami bangsa Indonesia…Lailahaillallah.”
Secara keseluruhan, film bergenre nasionalis ini sangat menarik dan berbobot untuk dikonsumsi oleh khalayak. Film ini dapat menumbuhkan rasa cinta yang lebih akan negara kita, Indonesia Raya. Tak heran jika pada tahun 2012 film ini mendapatkan beberapa penghargaan pada Festival Film Indonesia.