Hits: 69
Rebecca Lestari Sianipar / Nathasya Sianipar
Pijar, Medan. Marsius Sitohang adalah dosen Universitas Sumatera Utara jurusan Etnomusikologi yang sangat menginspirasi banyak orang. Pria kelahiran 1 April 1953 yang berasal dari Kampung Palipi, Kabupaten Samosir ini tidak menyangka bahwa akhirnya ia menjadi dosen Universitas Sumatera Utara karena kecintaannya terhadap budaya daerah asalnya.
Marsius hanya menempuh pendidikan resmi sampai kelas 2 Sekolah Rakyat (Sekolah Dasar). Hal ini membuatnya tidak begitu paham membaca dan menulis, tetapi ia tak gentar untuk terus melestarikan seni tradisional Batak.
Sejak kecil, Marsius kerap menghabiskan waktunya memainkan seruling sembari menggembalakan kerbau-kerbaunya. Berawal dari kebiasaan inilah dirinya ditawari untuk memainkan opera musik tradisional Batak.
Namun, permasalahan ekonomi yang dihadapi mengharuskannya untuk pergi merantau ke Kota Medan untuk mencari pekerjaan. Ia sempat berprofesi sebagai pengayuh becak di Kota Medan untuk menghidupi keluarganya, tetapi kecintaannya terhadap seruling dan keahliannya dalam opera musik tradisional Batak tersebut tak ia tinggalkan sampai di Medan.
Pada tahun 1985, ia diundang dalam seminar musik tradisional Batak yang diadakan di Taman Budaya Medan. Pada kesempatan itu, Marsius beserta lima orang temannya yang juga pemain musik diperkenankan tampil. Kesempatan emas ini yang akhirnya membuat Marsius dilirik oleh dosen tetap Universitas Sumatera Utara yakni, Rizaldi Siagian. Rizaldi yang merupakan seorang ahli musik tradisional (etnomusikologi) begitu tertarik setelah melihat keahlian Marsius dalam bermain musik tradisional Batak.
Setelah penampilan tersebut, Rizaldi kemudian menemui Marsius dan menawarkannya posisi sebagai dosen praktik di Universitas Sumatera Utara. Saat itu, jumlah dosen praktik jurusan etnomusikologi USU cukup sedikit. Akhirnya, ia diangkat menjadi dosen praktik pada tahun 1985 melalui Surat Keputusan (SK) Rektor USU.
Sejak menjadi dosen praktik jurusan etnomusikologi, nama Marsius Sitohang semakin terkenal dikalangan masyarakat luas. Meskipun awal mengajar ia hanya menjadi tenaga pengajar honorer dan tidak mendapat banyak bayaran, hal itu tak menutupi kegigihannya dalam melestarikan budaya tradisional Batak.
“Saya akhirnya tergerak menerima tawaran menjadi dosen karena saya perhatikan di waktu itu tidak ada orang yang berniat belajar budaya Batak khususnya orang Batak itu sendiri, juga banyak sekali yang anggap sepele dengan budaya Batak. Itulah yang membuat saya tergerak menjadi dosen walaupun saat itu honor saya sedikit, yang penting adalah bagaimana ilmu musik saya tersalurkan ke banyak orang,” tutur Marsius.
Selain menjadi tenaga pengajar praktik etnomusikologi USU, Marsius juga mengajari para kaum tunarungu. Ia menganggap semua orang yang memiliki bakat musik harus dikembangkan tanpa harus merasa minder dengan segala keterbatasannya.
“Saya biasanya dipanggil untuk membantu dan mengajari tunarungu. Jadi biasanya, untuk tunarungu yang memang sudah ada bakat dan mengerti dasar-dasar bermain musik akan saya ajari. Kadang ada dari mereka yang segan dengan saya karena saya dipanggil dari rumah ke rumah untuk mengajari mereka, tetapi tidak apa-apa. Selagi mereka sudah tahu dasar-dasarnya dan mau untuk saya ajari, saya pasti bantu. Apa salahnya?” jelas Marsius.
Tak hanya seruling, ia akhirnya mampu menguasai beberapa alat musik tradisional Batak secara otodidak. Dengan kemahirannya bermain alat musik tradisional Batak, Marsius telah mengunjungi beberapa negara yang tersebar di empat benua.
Perjalanan hidup yang telah membawanya melanglang buana membuat Marsius mendapatkan banyak penghargaan. Ia dihadiahi penghargaan Maestro Seni Tradisi dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI pada tahun 2013. Tak hanya itu, salah satu media Amerika Serikat, The New York Times pada November 1991 mempublikasikan penampilan Marsius dengan para pemain musik lainnya.
“Kalau masalah piagam penghargaan, memang sudah dari beberapa negara saya terima. Namun, yang berkesan bagi saya adalah dari Pak Menteri Kebudayaan dan Menteri Pendidikan. Saya awalnya sempat heran kenapa saya terpilih dan dipanggil untuk diwawancarai di Jakarta. Seusai wawancara tersebut, saya akhirnya dipilih menjadi Maestro Indonesia,” ujar Marsius.
Marsius berharap kedepannya semakin banyak pemuda yang ingin belajar budaya-budaya Batak agar kebudayaan tersebut tidak hilang di masa depan. Ia pun memiliki cita-cita untuk mempunyai sanggar tempat berkumpulnya para anak muda yang akan diajari bermain musik tradisional Batak.
“Saya memikirkan bagaimana kesadaran anak-anak muda ini supaya bisa belajar tradisi Batak. Saya berharap kedepannya dibuatkan sanggar sebagai tempat berkumpulnya anak-anak muda yang diajari tiap minggu tanpa dibayar. Saya yakin dari situ akan banyak sekali anak-anak muda yang akan datang untuk sekedar melihat atau mungkin tertarik,” ucap Marsius untuk harapan kedepannya.
(Redaktur Tulisan: Marcheline Darmawan)