Hits: 630
Wiva Anza Dewata / Yulia Kezia Maharani
Pijar, Medan. Telah terjadi aksi sosial yang dilakukan oleh mahasiswa FISIP USU sebagai wujud kritik terhadap kantin Temu Tengah pada Jumat (28/10/22). Terdapat lima spanduk terpampang di sekitaran kantin yang berisi sindiran serta penolakan dari mahasiswa. Tindakan tersebut merupakan inisiasi dari Divisi Kajian Aksi dan Strategi PEMA FISIP USU yang menganggap kantin tidak dapat dinikmati sepenuhnya sebagai fasilitas kampus.
Haris Hasibuan, Gubernur PEMA FISIP, mengungkapkan latar belakang dari gerakan ini, yakni berangkat dari keresahan mahasiswa terkait harga menu yang tidak relevan dan hanya mampu dinikmati oleh mahasiswa kalangan menengah ke atas. Selain itu, adanya larangan membawa makanan dari luar, larangan duduk jika tidak membeli, dan lain sebagainya membuat para mahasiswa tidak dapat menikmati kantin.
“Kantin yang diharapkan mahasiswa FISIP USU itu adalah kantin yang mempersatukan, ruang-ruang diskusi untuk mahasiswa, tetapi yang terjadi kantin itu hanya bisa dihuni oleh kalangan mahasiswa yang memiliki ekonomi menengah ke atas. Di sini terjadi gap antara mahasiswa menengah ke atas dengan mahasiswa menengah ke bawah. Gap ini akan mempengaruhi secara signifikan ke dalam variabel solidaritas yang terjalin di antara mahasiswa,” ucap Haris.
Salah seorang mahasiswa Kesejahteraan Sosial angkatan 2020, Hara Aritonang, turut memberikan tanggapan terkait kejadian ini. Ia mengatakan bahwa menu di kantin Temu Tengah USU tidak merakyat. “Menurut saya pribadi, saya setuju dengan pendapat tersebut. Tidak semua mahasiswa di fakultas ini berasal dari kalangan menengah ke atas. Pasti ada yang dari kalangan menengah ke bawah. Jadi kalau saya perhatikan dari daftar harga yang tertera di menu, itu tidak merakyat. Ini kan fasilitas dari FISIP, ya seharusnya dikasih dong fasilitas yang sesungguhnya,” jelasnya.
Menanggapi peristiwa ini, pihak Temu Tengah sudah memberi klarifikasi. Grafik selaku manajer operasional menjelaskan bahwa Temu Tengah FISIP USU bukanlah sepenuhnya fasilitas kampus karena adanya jalinan kerja sama dengan eksternal. Oleh karena itu, pertimbangan akan harga pada menu juga didasari dari biaya sewa, bahan baku makanan, serta keperluan lainnya.
“Kalau dibilang tidak ramah dengan kantong mahasiswa, sih, tolak ukurnya apa, ya? Kita selalu welcome dengan mahasiswa di sini, mau minum saja, mau makan (dan) minum, kita gak memandang status,” terangnya pada Pijar (28/10).
“Kalau perihal membawa bekal atau makanan (dan) minuman dari luar, konsep kita kan FnB. Kita menjual produk. Jadi kalau mereka datang dan duduk di sini tanpa membeli dari kita, yang ada kitanya rugi. Lagi pula kita kan nyewa, semuanya kita juga keluarkan biaya, sewa, listrik, air, dan karyawan. Kita juga sesuaikan dengan bahan baku harga pasar sekarang. Bukan gak perhatiin mahasiswanya,” jelasnya lebih lanjut.
Mengenai pernyataan “kantin” di FISIP, pihak Temu Tengah mengatakan bahwa mereka tidak pernah mem-branding dirinya sebagai kantin, melainkan Kafe Temu Tengah.
Grafik juga mengatakan bahwa gerakan aspirasi dari mahasiswa ini sudah disampaikan ke manajemen. Ia berharap ada tindak lanjut atau penetapan regulasi baru dari kejadian tersebut.
(Redaktur Tulisan: Laura Nadapdap)