Hits: 201
Chairunnisa Asriani Lubis
Pijar, Medan. Mendengar kata tradisi, yang terlintas pertama kali dipikiran adalah hal yang dilakukan secara turun-temurun. Beberapa orang menganggap, tradisi dalam suku dan budaya merupakan sesuatu yang harus dilestarikan. Namun, bagaimana jika tradisi yang dipertahankan justru melenceng dari budaya aslinya?
Dian Purnomo, seorang penulis isu sosial perempuan dan anak mengemas dengan rapi tradisi kawin tangkap dalam novelnya yang berjudul Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam.
Kawin tangkap atau yang disebut Yappa Mawine adalah tradisi yang masih berkembang dalam adat Sumba, Nusa Tenggara Timur. Ironisnya, kawin tangkap digambarkan sebagai tradisi yang merenggut hak serta kebahagiaan perempuan. Bagaimana tidak? Tradisi yang dahulunya didasarkan atas persetujuan pihak laki-laki dan perempuan, kini telah bergeser ke arah penculikan karena tanpa persetujuan perempuan.
Novel ini mengisahkan seorang Magi Diela sebagai korban. Seorang perempuan yang kembali ke Sumba selepas masa kuliah di Jawa. Magi awalnya berniat membangun daerah asalnya melalui ilmu pertanian yang sudah ia emban. Namun, impian mulia itu hancur ketika tokoh bernama Leba Ali menculiknya sampai melakukan kekerasan seksual terhadap dirinya.
Dalam penculikan itu, ia diperkosa, dipukuli, bahkan disuruh menikah dengan Leba Ali. Alih-alih dianggap tindak kejahatan, perbuatan tersebut justru tidak dipermasalahkan oleh masyarakat setempat dengan dalih tradisi.
“Sekarang Magi jadi bisa membayangkan bagaimana para perempuan yang diculik kemudian ‘ditaklukkan’. Perutnya bergejolak aneh dan Magi kembali merasakan sakit yang amat sangat di kemaluannya. Magi tidak mau ditaklukkan dengan cara yang sama. Dia tidak mau ditaklukkan sama sekali. Dan di saat itulah Magi terpikir bahwa kematian jauh lebih baik ketimbang hidup dalam penderitaan.” – hal 54
Pahitnya menjadi perempuan Sumba yang harus mengalami kawin tangkap, membuat Magi melakukan percobaan bunuh diri. Ia berpikir bahwa lebih baik mengakhiri hidup daripada harus hidup dalam derita. Namun, sejatinya semua rencana harus ada izin dari-Nya.
Berjumlah 320 halaman, novel ini semakin menarik tatkala tokoh Magi dikembangkan menjadi pejuang perempuan yang menolak keras tradisi kawin tangkap. Magi berusaha keras untuk bangkit dan melakukan berbagai cara demi mendapatkan kemerdekaannya sebagai perempuan.
Kisah dalam novel ini tidak digambarkan tanpa data. Dian Purnomo justru menulis novel ini lewat riset yang dilakukannya ketika residensi di Waikabubak, Sumba tahun 2019.
Secara tersirat, tradisi kawin tangkap dalam novel ini mengajak pembacanya untuk lebih membuka wawasan. Di era modern ini, ternyata masih ada tradisi yang dipertahankan tetapi justru memperlakukan perempuan bak binatang hingga merampas kebahagiaannya. Lewat novel ini juga, pembaca diajak untuk menyuarakan jeritan hati perempuan yang seolah tak terdengar.
(Redaktur Tulisan: Lolita Wardah)