Hits: 56

Miftahul Jannah Sima

Pijar, Medan. Semua orang berhak berubah dan memilih jalannya sendiri. Namun, terkadang masa lalu membayangi, menarik seperti black hole yang enggan melepaskanmu. Seperti cerita pada novel ini, Madkit yang mencoba lari dari masa lalunya, tetapi orang-orang enggan untuk melepaskannya.

Novel Ya, Aku Lari! Berkisah mengenai seorang narapidana dari dunia hitam yang ingin bertobat. Hidup di keluarga yang biasa saja, tetapi memiliki cerita kelam yang melatarbelakanginya menjadi tukang ‘jagal’. Ayahnya sendiri yang menjadi list pertamanya. Apa yang kita pilih tentu membawa konsekuensi. Jika berani membunuh, maka harus siap dibunuh.

Tak bisa dielakkan, harta berharga seperti keluarga, itulah yang paling diincar di sini. Mad Kit tidak ingin anak semata wayangnya menjadi korban kedua dari dosanya. Bahkan istrinya pun terasa sangat tidak pantas harus menjadi bayaran dosanya.

Hasan Aspahani, penulis novel ini mampu menantang dirinya sendiri. Keluar dari zona nyamannya, dengan mencoba mahakarya baru lewat ciptaan novel pertamanya ini. Sang puitis yang menuangkan gaya bahasa puisi di dalam novel, tetapi tetap terkesan misterius dengan teka-tekinya.

Beragam karakter muncul dalam novel ini, menariknya, karakter-karakter muncul melalui kisah yang diceritakan oleh karakter lainnya. Bak cerita 1001 malam, beragam kisah dan isu sosial bisa tersaji di dalam buku ini. Politik, religi, kriminal, tentang pers, bahkan romantis yang disajikan dengan porsi cukup.

“Kebebasan kadang bikin orang berhak berlaku biadab, tapi tanggung jawab pers termasuk berlaku adil. Berita adalah sejarah yang sedang disusun.” halaman 114

Setelah membayar dosanya. Mimpi Mad Kit sederhana, membangun kafe kopi yang dibantu anaknya, Alta. Namun, tampaknya orang-orang di masa lalunya tak ingin melepaskannya. Samon membawanya harus kembali berurusan dengan orang-orang di masa lalunya.

Hal yang membedakannya dengan dahulu hanya bungkusan mafia dibalik jasa keamanan. Berlindung di balik bisnis properti sebagai pencuri ulung. Mad Kit bagai di dalam lingkaran yang tak memiliki celah.

Semua karakter di dalam cerita pun memiliki keterkaitan. Mengorek masa lalu yang membuat Mad Kit mulai goyah, apakah ia bisa bebas dari masa lalu dan hidup sederhana dengan tenang?

“Bisnis kotor tetap saja kotor. Main di ruang ber-ac atau di comberan sama saja kotornya.” halaman 132

Sampul buku didesain dengan cara unik. Dari cover saja sudah bisa menebak-nebak. Di sudut buku juga ditorehkan simbol dwennimmen yang merupakan identitas atas pertarungan. Karena simbol ini sendiri memiliki arti dua tanduk domba yang sedang beradu.

Kisah ringan yang dikembangkan dari skenario yang ditulis Hasan mampu menarik pembaca untuk menamatkan ceritanya. Buku tipis, tetapi memiliki arti dalam yang bisa saja mengecoh konsentrasi dengan twist yang tak bisa ditebak. Kalimat yang ditulis jarang menggunakan kalimat langsung, pembaca harus menangkap poin penting agar paham, kisah siapa yang sedang diceritakan.

Dari novel ini, banyak makna yang bisa dipahami dengan mudah. Tak perlu berbelit-belit. Bahkan isu sensitif seperti terorisme mampu disajikan dengan mudah untuk dipahami. Cerita di novel ini seperti kopi, beragam dengan keunikannya masing-masing yang menyimpan teka-teki. Kopi tak perlu memaksa lidah siapa saja yang ingin mecicipi, karena kopi disajikan dengan rasa apa adanya.

“God bless adalah kopi Indonesia, tak perlu mematut-matut diri untuk menjadi Barat, untuk diterima di seluruh dunia.” Halaman 168

Buku ini bisa dibaca di Ipusnas, tak perlu memakan waktu seharian untuk menamatkan novel  ini. Buku yang berisi 177 halaman ini direkomendasikan untuk pembaca yang ingin membuang bosan dengan bacaan yang komplit. Bacaan yang bukan sekadar dibaca untuk menghabiskan waktu. Karena banyak pelajaran yang bisa diambil dari cerita ini. Memberikan pembelajaran tanpa menggurui.

“Ketika waktu isya’ dia pamit mencari masjid, saya bilang, ada masjid kok. Tuh di pojok. Masjid? Iya, Masjid. Bukan Mushala? Saya menyebutnya Masjid. Tempat bersujud. Ini hanya pilihan kata saja. Saya tidak memilih Mushala, tempat shalat. Bukankah pada saat sujud itulah manusia berada dalam situasi yang paling dekat dengan Allah? “ halaman 90

(Redaktur Tulisan: Lolita Wardah)

Leave a comment