Hits: 448
Sulisintia Harahap
“Kau tidak hancur, kau sedang dibentuk”
Pijar, Medan. Untuk menjadi manusia yang seutuhnya, perlu luka untuk sedikit membuat kita merasakan arti pulih. Perlu gesekan takdir untuk tahu berharganya waktu. Juga perlu menjadi pecundang untuk tahu siapa diri kita yang sebenarnya. Ya, terkadang manusia belum sadar akan hal itu. Memasang topeng pemenang untuk diakui kekuatannya, berpura-pura bahagia sedang pikiran terus berkecamuk, dan berkeras teguh sedang hati meronta meminta pertolongan.
Mungkin hidup memang bisa dibuat sebercanda itu, akibatnya takdir juga licik dalam memperhitungkan waktu. Bersamaan dengan dunia ini yang begitu kejam, ternyata tak sedikit manusia hidup dalam banyak kebohongan besar. Hal ini kiranya yang menjadi gambaran isi buku Kamu Gak Sendiri karya Syahid Muhammad.
Berbicara kecemasan, kegundahan, kegelisahan, kesakitan, kesedihan sampai perundungan tentu tidak akan ada habis-habisnya. Sebab manusia terus diam, menyimpan ceritanya dan berlagak baik-baik saja. Senada dengan sepenggal blurb dari buku setebal 340 halaman ini.
“Kita sudah cukup baik, membuat orang mengira kita baik-baik saja. Sekarang saatnya jujur, yang kecewa, yang lelah, yang gak tahu kapan harus istirahat, kamu boleh marah, boleh sendiri dulu, boleh kalau tiba-tiba pengen nangis, boleh banget perlu bantuan. Kamu gak harus baik-baik aja. Gapapa, gapapa. Terima, akui, lalu lepasin.”
Syahid Muhammad atau akrab disapa Bang Iid, kembali menorehkan pikiran-pikirannya melalui karya pertamanya yang bernuansa nonfiksi setelah berhasil merakit beberapa buku seperti Kala, Amor Fati, Egosentris, Paradigma, Saddha, dan 25 Jam. Entah apa yang menjadi alasan Bang Iid memilih ‘hitam’ sebagai warna dasar dari setiap sampul bukunya, khususnya buku Kamu Gak Sendiri ini. Memang terlihat menarik dan serasi dengan isi buku tersebut yang jugs bercerita tentang gelapnya kehidupan hingga terkadang membuat manusia merasa sendiri.
Mengemas jalannya cerita hidup yang sempat dilalui penulis, seakan membuka luas ruang hati dan pikiran pembacanya untuk bersiap mengeluarkan segala cerita yang selama ini tersembunyi serta membuka tebalnya topeng yang terpasang untuk rupa judi yang terkenal palsu.
Bang Iid mencoba merangkai kata untuk mengungkapkan masa kelam yang pernah dilaluinya hingga ia menemukan jalannya untuk membuka secercah cahaya kehidupan yang ternyata begitu berwarna jika hidup tidak lagi ditutupi dengan kebohongan dan kepalsuan. Melalui hal itu, para pembacanya pun berhasil terhipnotis dengan berseraknya pesan moral berisi ajakan, renungan, hingga pengetahuan mengenai kesehatan mental seperti Generalizes Anxiety Disorder, Inner Child, dan lainnya.
Uniknya, buku ini dirancang dengan beberapa sub bab yang diakhiri dengan halaman hitam berisikan kata-kata berupa dialog diri sendiri yang mungkin sering terjadi di dalam diri kita. Hingga pembaca pun dipaksa berpikir dan menemukan ‘jawaban’ terbaik atas segala terka yang pernah terbesit dalam diri selama ini. Karena penulis sendiri pun mengekspresikan pengalamannya lewat dialog-dialog itu akibat sulitnya melawan segala rasa sakit yang selama ini terpendam.
Tulisan Bang Iid dalam buku ini juga lebih santai dan tidak monoton merangkum tentang kehidupan yang menyerang mental manusia. Bang Iid juga mencoba untuk memberi bumbu-bumbu humor agar pembaca tidak terlalu larut dengan nasibnya yang berhasil digambarkannya.
Di beberapa akhir sub bab pembaca pun dibawa untuk menyadari begitu berharganya diri kita sebenarnya. Topiknya membahas tentang proses terbentuknya diri dan peduli terhadap diri sendiri. Didapati ‘jawaban’ atas mengapa kita harus bertahan, mengapa kita harus mengakui segala emosi kita hingga bagaimana kita harus mengendalikan semua ‘rasa sakit’ itu. Karena pada akhirnya kita pun dapat memahami jika hal yang menjadi kecemasan dan ketakutan selayaknya dapat diolah menjadi sesuatu yang lebih baik ‘melalui medium yang tepat’.
Oleh karena itu, secara keseluruhan buku ini sangat disarankan untuk dibaca sobat Pijar terkhusus yang masih sering merasa sendiri sehingga terpaksa bertopeng memalsukan diri di hadapan orang-orang sekitar. Sebab pada dasarnya, kita hanya perlu mengakui apa yang kita rasakan, apa yang kita inginkan, dan bagaimana kita bisa berdamai dengan semua rasa itu. Sekali lagi. Lepas topengmu, kamu gak sendiri!
(Editor: Lolita Wardah)