Hits: 152

Aqillah Syahza Non

“Kekhawatiran itu cara pandang yang benar terhadap dunia. Hidup memang mengkhawatirkan.” – (Halaman 66)

Pijar, Medan. Ketika hari demi hari seperti teka-teki yang tak kunjung berakhir, bahagia hanya dimaknai sebagai kesenangan semata, sedih dimaknai sebagai kesalahan yang fatal, dan harapan dapat hilang dengan mudahnya lalu berganti menjadi kebimbangan. Ketika teka-teki tetap belum berakhir, hanya rasa khawatir yang memenuhi pikiran, dan kekhawatiran berubah menjadi penyakit yang menyelimuti diri sendiri. Begitulah permasalahan ini digambarkan dalam tokoh Aza Holmes oleh John Green dalam novel Turtles All the Way Down.

Novel ini bercerita tentang Aza Holmes dan sahabatnya, Daisy Ramirez yang terlibat dalam sebuah pencarian seorang miliarder bernama Russel Pickett demi mendapatkan seratus ribu dolar. Russel Picket sendiri merupakan ayah dari Davis Pickett, teman lama Aza yang sempat Aza kagumi.

John Green, penulis novel Turtles All The Way Down membentuk identitas Aza sebagai wanita remaja pendiam yang mengidap Obsessive Compulsive Disorder (OCD). Aza masih berusia 16 tahun dan memiliki ketakutan berlebih terhadap bakteri C. diff di lingkungan sekitarnya. Dalam benak Aza, bakteri tersebut hidup dan terus berkembang biak, lalu mencoba untuk masuk ke dalam tubuhnya hingga dapat menyebabkan ia mati. Aza juga sering sekali terpenjara dalam pemikirannya sendiri, sampai-sampai ia merasa seringkali keputusan yang ia ambil sebenarnya bukan keinginan Aza, melainkan pemikiran-pemikiran lain yang tidak tahu datang dari mana.

Berbeda dengan Aza yang hemat berbicara, Daisy digambarkan sebagai karakter talkative dan pemberani. Akan tetapi, Daisy berasal dari keluarga yang kurang mampu, sehingga mengharuskannya untuk bekerja guna membiayai keperluan akademiknya.

Tokoh utama lainnya dalam novel ini yaitu Davis, remaja yang serba berkecukupan, akan tetapi kesepian. Davis masih menyimpan duka atas kematian ibunya, ditambah lagi kini ayahnya menghilang tanpa jejak dan diisukan telah meninggal juga. Sebagai seorang yatim piatu, beban Davis semakin ditambah karena harus bertanggung jawab atas kehidupan adiknya juga.

Bukan sekadar pencarian semata atas kasus hilangnya Mr. Pickett, Turtles All the Way Down lebih dari itu. Dalam perjalanan kisah pencarian, John Green menyisipkan cerita persahabatan antara Aza dan Daisy, kisah kasih Aza dan Davis, dan tak lupa pula kisah tentang perjuangan Aza untuk melawan isi pikirannya sendiri.

Pemikiran-pemikiran Aza yang terus mengganggu membuatnya kesulitan dalam menentukan kemauannya dan membuat keputusan. Walaupun Aza sudah mendapatkan terapi dan dikelilingi oleh orang-orang yang suportif, tetap saja, tidak mudah baginya untuk mengontrol pikirannya.

Melalui sudut pandang Aza, kita akan diajak untuk mengetahui isi pemikiran Aza yang berulang-ulang dan penuh kecemasan. Memberi gambaran bagaimana para pengidap anxiety dan OCD dalan usaha melawan pikirannya sendiri.

Cara Aza yang menjelaskan keadaan mentalnya dengan sangat jelas, tidak hanya membuat kita yang membacanya menjadi gemas dan kesal, namun juga menjadikan kita tahu betapa sulit keadaan pengidap penyakit mental dan membuat kita lebih mengerti dan peduli.

Turtles All Tthe Way Down sendiri merupakan sebuah pepatah dari mitologi yang mengatakan bahwa bumi hanyalah pesawat datar yang ditopang di atas seekor kura-kura raksasa yang bertumpu pada kura-kura raksasa lainnya, dan sampai ke bawah pun tetap kura-kura. Pepatah ini juga dimaknai sebagai kemunduran yang tidak berujung, sebagaimana Aza dengan kecemasannya yang terus berulang tanpa ujung.

Novel ini seperti menelanjangi berbagai masalah yang kerap dirasakan oleh para remaja. Mulai dari permasalahan dalam persahabatan, percintaan, dan keluarga, sampai pada permasalahan dengan diri sendiri seperti begitu banyaknya kecemasan, merasa kesepian, bahkan tentang perjuangan. Jika sudah membacanya sampai akhir cerita, kita mungkin akan mendapatkan makna baru dari kehidupan.

(Editor : Lolita Wardah)

Leave a comment