Hits: 52
Nurul Sukma Asghar / Intan Husnul Khatimah
Pijar, Medan. Siapa yang tak kenal dengan kue keranjang atau yang sering kali disebut dengan kue bakul atau dodol cina. Kue bulat yang dicetak berbentuk keranjang ini memiliki tekstur yang kenyal, rasa yang manis, dan warna coklatnya.
Kue keranjang disebut juga dengan Nian Gao, kata Nian yang berarti tahun sedangkan kata Gao yang berarti kue atau juga bisa terdengar seperti kata tinggi. Karena itulah kue keranjang sering disusun menjulang ke atas dan bertingkat. Semakin bertingkat kue keranjang disusun, maka berarti semakin meningkat rezeki dan kemakmuran pemilik rumah. Dan pada zaman dahulu, kemakmuran suatu keluarga dilihat dari banyaknya tingkat kue keranjang yang disusun. Selain itu, kue keranjang disusun menjulang tinggi juga sebagai harapan agar segala doa bisa tersampaikan kepada dewa-dewa yang berada di atas.
Ada dua kisah berbeda yang menceritakan asal usul kue keranjang ini. Pertama, kue keranjang berasal dari kisah tentang raksasa jahat yang suka memangsa manusia bernama Nian. Karena ulahnya, pemuda baik hati bernama Gao meminta warga untuk membuat kue manis yang lengket dan ditempel di depan pintu. Berkat ide Gao, raksasa tersebut sudah tak lagi memangsa manusia melainkan terkecoh dengan kue yang manis dan lengket tersebut.
Kisah kedua berkaitan dengan dewa dapur. Yang mana pada awalnya terdapat sepasang suami istri yang berdagang makanan ringan. Namun, karena merasa iri dengan dagangan sang istri yang sukses, ia pun menceraikan istrinya dan memulai usahanya sendiri yang tak berbuah hasil dan menjadikannya gelandangan. Suatu ketika, istrinya yang semakin sukses pun membuka dapur umum untuk membagikan makanan kepada gelandangan. Karena tahu suaminya datang, ia pun menyajikan makanan dengan menaruh barang pemberian mantan suaminya. Mengetahui hal tersebut, sang suami malu dan bunuh diri di dapur tersebut.
Dipercaya arwahnya menjadi Dewa Dapur yang selalu mengunjungi rumah warga. Setahun sekali ia terbang ke kayangan untuk melaporkan amal baik dan amal buruk pasangan rumah tangga dari rumah-rumah warga yang ia kunjungi. Setiap pasangan yang beramal buruk akan diberikan kutukan. Oleh karena itu, warga setempat membuat kue keranjang agar Dewa Dapur hanya melaporkan hal-hal yang manis.
Kue khas Tiongkok ini masuk ke Indonesia pada abad ke 4 M dibawa oleh orang-orang Tiongkok yang bermigrasi ke Indonesia, tepatnya di daerah Mangkang, Semarang. Sudah menjadi tradisi turun menurun untuk menyantap dan membagikan kue keranjang disaat perayaan imlek tiba. Kue ini biasanya digunakan sebagai sesaji pada upacara sembahyang leluhur yang dimulai dari tujuh hari menjelang Tahun Baru Imlek sampai puncaknya pada malam sebelum Tahun Baru Imlek. Sebagai sesaji, kue keranjang biasa dimakan setelah Cap Go Meh, yaitu malam ke lima belas setelah Tahun Baru Imlek.
Siapa sangka, dibalik bentuk khasnya yang bulat terdapat makna yang melambangkan persatuan. Rasanya yang manis memiliki makna agar siapapun yang memakan kue keranjang akan selalu mengucapkan hal-hal yang baik. Sedangkan tekstur lengketnya memaknai harapan persatuan keluarga yang semakin erat. Penyajiannya pun tak boleh sembarangan. Kue keranjang tidak boleh disajikan dengan jumlah empat (Shi) karena bagi orang-orang Tionghoa, shi berarti mati.
Kue yang dikukus ini awalnya dibungkus menggunakan daun pisang untuk mengeluarkan aroma yang lebih wangi. Namun seiring berjalannya waktu, kue keranjang lebih sering dibungkus dengan menggunakan plastik bening karena tampilannya menjadi lebih menarik. Tak hanya pada saat perayaan imlek, sekarang kamu juga bisa menikmati kue keranjang ini setiap saat loh, karena sudah banyak yang menjualnya. Baik itu secara langsung maupun online.
(Editor: Muhammad Farhan)