Hits: 121

Cut Tasya Salsabila

Pijar, Medan. Brexit The Uncivil War adalah sebuah film bergenre drama sejarah berdasarkan kejadian nyata yang terjadi pada 23 Juni 2016 di Britania Raya, mengenai referendumnya untuk keluar sebagai keanggotaan Uni Eropa. Pada peristiwa ini, seluruh warga Britania Raya berusia 18 tahun ke atas memberikan hak suara mereka untuk memilih nasib yang akan memenangkan referendum Brexit. Pilihan antara Britania Raya tetap menetap ataukah harus memisahkan diri meninggalkan keanggotaan Uni Eropa.

Dikutip dari beritasatu.com, Brexit adalah ungkapan yang digunakan untuk mempersingkat kalimat “Inggris meninggalkan Uni Eropa (UE)”, dengan menggabungkan dua kata yaitu Britain dan exit.

Mengambil sudut pandang sebagai tim vote leave, Benedict Cumberbatch yang berperan sebagai Dominic Cummings, seorang ahli strategi politik, mendapat tawaran dari Matthew Elliot untuk aktif mendukung Brexit dengan iming-iming Dominic dapat mengambil kendali pada tim vote leave. Dengan bergabungnya Dominic, mereka mulai membuat langkah untuk memenangkan pemilihan suara. Hal pertama yang mereka lakukan adalah menyusun strategi untuk kampanye yang tampak berbeda dari kampanye biasa. Pada titik ini, Dominic mengusulkan untuk menggunakan teknologi analisis data guna menampung aspirasi masyarakat.

Teknologi analisis data bukanlah hal yang asing di zaman sekarang, namun penggunaannya di bidang politik terutama kampanye merupakan tindakan yang cukup baru. Pada situasi ini, Dominic bekerja sama dengan AggregateIQ, konsultan politik Kanada untuk menggunakan basis data dari Cambridge Analytica sehingga dapat menggerakkan kampanye Brexit. Lalu, bagaimanakah teknik pengambilan analisis data yang dilakukan mereka?

Media sosial adalah jawabannya. Di era serba teknologi, hampir seluruh masyarakat pastinya memiliki media sosial yang mana menampung beberapa data penting mereka seperti keluh kesah, tanggal ulang tahun, minat belanja, hingga impian. Data dari media sosial inilah yang menjadi patokan untuk dihitung berdasarkan kecanggihan teknologi data. Selain itu, penggunaan sistem ini juga memungkinkan tim vote leave untuk menjangkau masyarakat yang keberadaannya kurang terjamah.

Pembahasan yang disampaikan pada tim vote leave tergolong menarik minat, karena mereka bermain dengan hati dan perasaan yang dialami rakyat. Mereka juga memberi pandangan kepada masyarakat apabila Britania Raya berhasil keluar dari keangggotaan Uni Eropa, maka pengendalian jumlah imigran, pengurangan tekanan pada layanan publik, perumahan, dan pekerjaan dapat dikendalikan. Hal tersebut dapat memungkinkan Inggris membuat kesepakatan perdagangan sendiri.

Sementara itu, kubu vote remain masih menggunakan metode survei dan forum group discussion (FGD) untuk memperoleh informasi mengenai keadaan warga yang menjadi bekal mereka selama kampanye. Mereka berfokus pada ekonomi dan politik sebagai bujukannya dengan menampilkan risiko yang akan timbul apabila Britania Raya keluar dari Uni Eropa. Hal itu seperti permasalahan hubungan internasional, perdagangan, dan ancaman di industri jasa.

Pemilihan strategi di peristiwa ini dijelaskan dalam film dengan cukup apik, baik dari kubu vote leave dan kubu vote remain. Cara baru yang digunakan Dominic untuk memperoleh aspirasi masyarakat dapat menimbulkan ide baru untuk berkampanye di abad 21.

Keunggulan teknologi sudah sebaiknya turut dimanfaatkan tidak hanya di ranah sosial ekonomi, namun juga bidang politik sebagai pendekatan. Pendekatan ini berguna untuk menyampaikan suatu ide atau gagasan dengan menggunakan emosi manusia. Emosi itu dapat diperoleh berdasarkan analisis data.

Namun sayangnya, film ini kurang menjelaskan latar belakang pemilihan Brexit dilaksanakan. Sehingga bagi penonton yang tidak terlalu paham akan politik, kemungkinan akan kesulitan memahami alur ceritanya.

(Editor: Widya Tri Utami)

Leave a comment