Hits: 46

Dimulai pada 5 Oktober lalu, di mana anggota DPR sebagai parlemen di negara ini melakukan pengesahan terhadap UU Cipta Kerja yang menuai banyak kontroversi. Adapun sebenarnya, UU Cipta Kerja ini sudah menjadi bahan polemik dan menuai kontroversi sebelum disahkan menjadi UU. Banyak pakar, akademisi, aktivis, serikan kerja dan berbagai elemen masyarakat lain menolak UU ini sebelum disahkan karena dianggap kontra kepada pihak pekerja.

Adapun sebenarnya UU Cipta Kerja ini merupakan usulan Presiden Jokowi sebagai pemimpin tertinggi di negeri ini dengan merekomendasikannya kepada DPR dengan target 100 hari kerja. Dari sisi ini saja, sebenarnya sudah menunjukkan kontradiktif, yang mana sebagai lembaga legislatif, seharusnya DPR yang memiliki wewenang untuk merancang, membuat, dan mengesahkan UU Cipta Kerja dengan rekomendasi dari serikat buruh, civitas akedemika, aktivis, ataupun elemen masyarakat lainnya. Bukan dari lembaga eksekutif yang harusnya hanya menjalankan kebijakan dan konstitusi yang sudah ditetapkan parlemen.

Perancangan dan pengesahan yang dinilai terburu-buru juga dinilai menyebabkan terjadinya kecurigaan publik terhadap UU Cipta Kerja ini. Apalagi UU Cipta Kerja ini disahkan pada malam hari. Sehingga banyak elemen masyarakat bertambah curiga terhadap kepentingan dari UU ini. Ditambah lagi draft UU Cipta Kerja ini yang ternyata juga belum diterima oleh masyarakat padahal sudah disahkan. Lalu, terkait jumlah pasal yang memiliki 2 versi yaitu, jumlah pasal yang mencapai 1028 halaman dan 905 halaman. Tentu ini membuat kebingungan dan kecurigaan di kalangan masyarakat semakin menjadi-jadi. Dapat kita saksikan dengan ledakan demonstran di mana-mana di seluruh penjuru negeri.

Tentu hal ini semakin membuat pilu, terlebih lagi kita masih harus berjibaku melawan pandemi Covid-19 ini yang tentunya diprediksi akan menumbuhkan klaster baru karena demonstrasi pastilah mengumpulkan banyak orang dengan jarak yang berdekatan. Namun sayang sekali, pemerintah baik eksekutif maupun legislatif kelihatannya tidak memiliki kepekaan terhadap situasi sekarang di tengah pandemi ini. Setidaknya UU Cipta Kerja ini harus ditunda terlebih dahulu pembahasannya sampai pandemi ini selesai. Agar para dokter dan tenaga kesehatan dapat fokus dan bertahan untuk menghadapi pekerjaannya.

Presiden Jokowi juga seharusnya mampu mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) agar memberhentikan atau setidaknya menunda pengesahan terkait UU Cipta Kerja ini. Karena kajian terhadap UU ini sangat minim. Para wakil rakyat baik di legislatif dan eksekutif hanya lihai bersilat lidah terhadap UU yang disahkan ini. Seharusnya mereka mempunyai lebih besar ruang empati di dalam hati mereka, yang setidaknya lebih besar dari pada omongan mereka yang banyak menuai kecaman dan kontroversi itu.

Selanjutnya, saya menyoroti bagaimana pengawalan terhadap demonstran yang berpartisipasi dalam demo. Dari media seperti Tirto, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) mengeluarkan surat perintah untuk menginteli, mengawasi, dan melawan narasi penolakan UU Cipta Kerja. Dari sini saya melihat Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sebagai lembaga tidak lagi menunjukkan netralitas dan profesionalitasnya. Seharusnya Polri sebagai lembaga yang netral mendampingi para demonstran untuk menyampaikan aspirasinya kepada lembaga yang dituju. Polri juga telah menciderai nilai-nilai demokrasi yang mana telah dijamin oleh konstitusi.

Dalam penghalauan massa aksi demo, pihak kepolisian juga banyak terlibat aksi represif hingga yang paling parah adalah ketika mereka mencoba untuk mengejar mahasiswa hingga masuk ke wilayah kampus. Fenomena ini juga jarang dan bahkan tidak pernah terlihat di zaman orde baru. Jelas ini adalah pelanggaran terhadap wilayah akedemik yang mana seharusnya dapat dihormati oleh aparat pemerintah. Terlebih lagi kampus yang merupakan sumber dari berbagai aspirasi, ide, dan gagasan yang tidak boleh diganggu aktivitasnya.

Yang jarang dilihat media mainstream juga adalah ketika para aksi massa demonstran terlebih lagi mahasiswa kerap dijadikan kambing hitam atas kerusakan fasilitas umum yang dilakukan oleh oknum-oknum penunggang gelap. Juga para pihak kepolisian yang menginteli aksi massa dengan berpura-pura menjadi mahasiswa atau masyarakat biasa kemudian melakukan penculikan atau penangkapan sewenang-wenang yang tidak sesuai dengan konstitusi. Ditambah lagi dengan melakukan pemukulan kepada para aksi massa dengan brutal di bagian-bagian tubuh yang intim seperti kepala, dada, perut dan sebagainya.

Penghentian terhadap UU Cipta Kerja ini adalah solusi terbaik untuk meredam aksi demo yang terus berlangsung hingga saat ini. Ada baiknya Presiden Jokowi sebagai pemimpin negara ini harusnya memiliki kepekaan terhadap situasi krisis ini. Bukan malah memberi klarifikasi yang sudah hampir tidak dipercaya oleh sebagian besar publik di negeri ini. Sebagai pemimpin, saya berharap Presiden Jokowi mampu mengelola perbedaan dan kontroversi yang kian menjalar ini dengan Perpres untuk menghentikan Omnibus Law.

Adapun tulisan saya ini dimaksudkan untuk mengimbangi pemberitaan yang ditampilkan oleh media mainstream yang notabenenya cenderung memberikan narasi buruk terhadap peserta aksi demonstrasi. Sehingga publik banyak mendiskreditkan para peserta aksi khususnya kepada mahasiswa yang merupakan aktor dari penyalur aspirasi publik.

Muhammad Dhawy

Mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP USU

Leave a comment