Identitas “Kampus Pinggiran”

Hits: 59

OLEH AMIR FADLI NASUTION
[Penulis adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi USU angkatan 2009 dan staf Pusat Pengkajian Komunikasi Massa USU]

Sekarang ini kita boleh berbangga hati menyandang identitas sebagai kaum intelektual. Hidup dalam lingkaran penghargaan pada ilmu pengetahuan. Menjadi segelintir kelompok elit sosial dengan peran dan kedudukan yang dihormati berkat status kita sebagai anggota keluarga Universitas Sumatera Utara (USU).

Kerapkali kita mahasiswa USU membanggakan diri sebagai kaum terpelajar didikan universitas dengan kredibilitas tinggi di benak mereka. Sayangnya, sebagian kita adalah pribadi yang sarat keterbatasan, termasuk terbatas dalam relasi, pengaruh, dan jangkauan sosial. Tatkala kita melewati garis batas almamater dan membandingkan dengan ragam warna almamater lain, lantas sadarlah kita kampus ini tak lebih cuma “kampus pinggiran”.

Tidak sedikit di antara kita yang telah memiliki kesadaran ini. Mungkin hal ini didapatnya dari pengalaman saat ia mengikuti program magang (PKL) atau kegiatan nasional yang mempertemukannya dengan saudara-saudara dari alamamater lain, terutama dari Pulau Jawa. Tanyakanlah kepada mereka bagaimana pandangan mahasiswa lain pada almamater kita. Dapat juga ditanyakan kepada senior kita yang pernah bersaing merebut kesempatan berkarier. Tanyakanlah seberapa besar tingkat kepercayaan dirinya ketika harus bersaing dengan pemakai almamater kuning UI, coklat muda UGM, biru tua Unpad, dan yang lainnya. Banyak juga dari kita yang telah sadar jauh sebelumnya, sejak ia memilih warna almamaternya. Almamater hijau kita biasanya hanya cadangan saat seleksi masuk PTN, jika prioritas warna utama tak mampu diraih.

Fenomena ini menjadi tradisi rutin tahunan. Jika ditanya penyebabnya, tentu dengan spontan perbedaan kualitas dan nama besar menjadi jawaban kita. Namun tak cukup hanya sampai disitu. Penguraian total akar masalah penting kita lakukan, agar tak terjebak dalam prasangka dan pemahaman yang sempit.

Secara kuantitas berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), dewasa ini sebesar 56 persen perguruan tinggi berada di Pulau Jawa. Dari jumlah tersebut, terdapat 22 perguruan tinggi negeri (PTN) atau sekitar 45 persen. Mahasiswa yang ditampung dalam perguruan tinggi di Pulau Jawa adalah 66,6 persen dari total mahasiswa Indonesia. Jumlah tenaga pengajar yang dimiliki lembaga-lembaga pendidikan tinggi di Jawa adalah 58 persen dari seluruh tenaga pengajar perguruan tinggi di Indonesia. Deretan angka ini cukup menunjukkan betapa besar ketidakseimbangan pendidikan di Indonesia. Namun, hal ini dapat dimaklumi mengingat jumlah penduduk Pulau Jawa adalah yang terbesar di Indonesia. Tentu kebutuhan kuantitas pendidikan mereka harus turut mengikutinya.

Sementara dari segi kualitas, berbagai perguruan tinggi di Pulau Jawa dapat memiliki nama besar dan gengsi tinggi tak lain disebabkan karena banyaknya prestasi yang mampu mereka raih dan hal-hal besar yang mereka ciptakan sebagai lembaga pendidikan dan ilmu pengetahuan. Mulai dari aspek penghargaan pada kualitas, sistem pendidikan yang dilaksanakan, hasil karya ilmiah, tokoh-tokoh besar yang dilahirkan, prestasi dosen dan mahasiswa, dan berbagai pencapaian besar lainnya.

Secara pribadi, permasalahan kualitas ini menjadi pokok perhatian saya dalam membandingkan strata kampus kita dengan kampus-kampus ternama di Pulau Jawa. Termasuk identitas kampus kita yang masih berlabel kampus ‘pinggiran’. Jika menoleh dari sisi sejarah, riwayat USU yang dimulai sejak 1952 bahkan jauh lebih “senior” daripada beberapa universitas ternama lain seperti Unpad (1957), Undip (1957), dan Unair (1954). Sementara dari faktor kualitas SDM civitas academica, terutama dari kalangan mahasiswa, saya tidak melihat ketimpangan jauh yang membuat kita patut seolah dimarginalkan dalam kesetaraan status sebagai mahasiswa Indonesia. Keyakinan ini saya peroleh dari pengalaman pribadi saya dan cerita beberapa teman dekat yang beberapa kali telah bertemu dan berdiskusi langsung dengan mahasiswa lain dari berbagai universitas ternama. Lagipula tinggi rendahnya kualitas SDM bukanlah satu hal yang statis dan mutlak. Ia dapat tumbuh berkembang dari proses pembelajaran berdasarkan ilmu pengetahuan dan pengalaman. Dan bukankah justru itulah fungsi utama dari keberadaan universitas? Di mana pun ia berada, Jawa atau di luarnya, ia memiliki tanggung jawab yang sama untuk meningkatkan kualitas SDM manusia Indonesia. Maka dalam hal ini jelas kualitas SDM tidak layak dijadikan tolak ukur.

Kiranya saya terus mencari-cari akar permasalahan utama atas semua ini. Hingga akhirnya dengan melihat, mempelajari, dan didukung pengalaman pribadi, saya sampai pada satu kesimpulan bahwa motivasi, sistem, dan budayalah penyebabnya. Ketiganya saling terkait membentuk lingkar rantai yang membelenggu USU dari hak dan kebebasannya meraih nama dan kredibilitas yang sama besar dengan universitas ternama lain. Minimnya motivasi membuat kita belum lagi mengubah (atau mungkin berusaha mempertahankan) sistem birokrasi yang berbelit-belit, menyediakan dan membuka akses seluas-luasnya pada berbagai informasi penting (kegiatan, kompetisi, beasiswa, penelitian ilmiah, dan lain-lain) juga mendukung penuh secara moril dan materil pada berbagai upaya pencapaian prestasi dan hal besar membanggakan lain bagi kampus kita bersama. Ditambah lagi budaya kampus kita yang terkesan ‘santai’, mempengaruhi banyak civitas academica kita terlena dalam kondisi ini. Semua ini berimbas pada minimnya prestasi, karya cipta ilmiah, dan pencapaian hal besar lainnya. Alhasil saya melihat kita seolah hanya jalan di tempat sembari berdoa agar tak mundur ke belakang.

Seiring perjalanan waktu, secara kasat mata, memang terlihat perkembangan yang signifikan USU dengan dibangunnya berbagai gedung baru seperti Rumah Sakit USU dan tambahan gedung di beberapa fakultas favorit. Namun jika kita menyadari, justru hal ini titik permasalahannya. Terjadi ketidakseimbangan pembangunan saat infrastruktur fisik lebih diutamakan ketimbang sistem, budaya, dan motivasi akademik. Ketimbang hal yang sederhana, misalnya sistem akses portal akademik kita. Padahal tentu kita semua mengetahui bahwa pembangunan harus dijalankan komprehensif dengan memperhatikan segala aspek yang ada.

USU adalah rumah kita. Tegak atau robohnya rumah ini adalah tanggung jawab kita bersama, baik dosen, pegawai, juga mahasiswa, apalagi alumni. Di awal bergabungnya kita dalam keluarga ini kebanyakan kita tentu memiliki kesadaran pada tanggung jawab itu, bahkan tak sedikit dari kita yang memiliki keinginan untuk mengangkat setinggi-tingginya nama USU dalam skala nasional. Memberikan kebanggaan padanya atas kesungguhan tekad dan usaha kita. Tapi tentu tak sedikit pula yang belum memiliki kesadaran itu. Jadi kepada mereka yang seperti ini, perlukah pemaksaan kesadaran dilakukan sebagai jalan perjuangan demi cita-cita melihat kebesaran USU?

Leave a comment