Hits: 40
Saat ini, zaman sudah berada di Era 4.0 dimana perkembangan teknologi kian terasa pada era ini. Adanya perkembangan teknologi tersebut sangat membantu kita dalam memproses, mengolah, mendapatkan, serta menyimpan informasi. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, khususnya media sosial, telah mengubah paradigma komunikasi politik modern.
Media sosial telah menjadi alat komunikasi yang ampuh dan banyak digunakan oleh individu dan kelompok serta digunakan dalam berbagai bidang, bahkan politik. Teknologi menjadi salah satu alat yang digunakan oleh partai politik dan politisi untuk dapat melakukan kampanye politik mereka agar pesan dan kepentingan mereka dapat menjangkau generasi muda.
Kesempatan yang terbuka lebar ini dimanfaatkan oleh para pelaku politik untuk mencapai keinginan mereka dalam berpolitik. Sebagai generasi muda, kita harus lebih peduli terhadap situasi politik saat ini. Terutama di tengah gemparan tsunami informasi karena pesatnya perkembangan teknologi yang tidak dapat terelakkan.
Penggunaan media sosial dalam kampanye politik tidak hanya mengubah cara pesan politik dikomunikasikan, namun juga mempengaruhi perilaku politik, partisipasi politik, dan persepsi masyarakat. Hal ini telah menjadi fenomena penting dalam beberapa dekade terakhir, terutama dengan perkembangan teknologi informasi. Seiring dengan transformasi digital, media komunikasi tidak lagi hanya menjadi sarana penyebaran informasi, tetapi juga platform strategis untuk membangun citra, mempengaruhi opini publik, dan memobilisasi pemilih.
Hal ini terlihat dari data yang menunjukkan peningkatan signifikan penggunaan media sosial, televisi, dan media digital dalam berbagai kampanye politik di seluruh dunia. Sebagai contoh, pada pemilu Amerika Serikat 2020, hampir 70% dari total pengeluaran kampanye digunakan untuk iklan digital, yang sebagian besar disebarkan melalui platform seperti Facebook, Instagram, dan YouTube. Ini menunjukkan bagaimana media komunikasi telah menjadi instrumen kunci dalam meraih dukungan politik.
Namun, apakah dengan adanya perkembangan teknologi ini membuat kita sebagai generasi muda Indonesia jadi semakin melek terhadap politik dan segala informasinya atau justru kita meniadakan diri dengan menjauh dari paparan informasi berbau politik karena sikap apatis yang ada di dalam diri kita sebagai generasi muda?
Komisi Pemilihan Umum (KPU) melaporkan bahwa pemilih pada Pemilu (pemilihan umum) 2024 didominasi oleh generasi Z dan milenial dengan proporsi 55% dari total pemilih 33,60% untuk generasi milenial dan 22,85% untuk generasi Z.
Sebagai perbandingan, pemilih generasi muda di Pemilu 2014 hanya mencakup 30% dari total pemilih. KPU telah menetapkan 204,8 juta Daftar Pemilih Tetap (DPT) untuk Pemilu 2024 dengan 114 juta pemilih di antaranya masih berusia di bawah 40 tahun (BBC, 2023). Anak-anak muda yang mengisi lebih dari setengah jumlah pemilih ini akan berperan besar dalam menentukan iklim politik di Indonesia ke depannya.
Kesadaran politik generasi muda Indonesia masih dipertanyakan saat ini, kemudahan dalam mengakses informasi seharusnya dapat menjadi kesempatan besar yang dimiliki generasi saat ini untuk dapat memperoleh informasi yang sekiranya pada zaman teknologi tidak semasif ini digunakan dan sulitnya untuk mendapatkan informasi mengenai politik.
Peran yang dimiliki generasi muda saat ini sebagai penentu arah kebijakan yang akan terjadi di negara memiliki jumlah yang begitu besar. Akan sangat disayangkan jika generasi ini tidak menaruh rasa peduli yang lebih akan kondisi politik di tanah air. Banyak generasi muda beranggapan bahwa cara untuk ikut dalam politik ialah dengan terjun langsung menjadi wakil rakyat atau pejabat dan politisi, padahal kepedulian kita dapat kita tunjukkan tanpa harus terjun ke dalam politik praktis.
Pemilu yang lalu dapat dijadikan sebagai contoh bahwa penggunaan media sosial dalam kampanye politik dijadikan ajang untuk memainkan emosional para generasi muda yang dilakukan oleh buzzer-buzzer politik. Sayangnya, generasi muda tidak berpikir rasional dan membiarkan ranah politik melibatkan emosional mereka dengan maraknya konten “menangisi” salah satu Calon Presiden (Capres) yang “diserang” dalam debat kala itu, Padahal, kejadian seperti itu semestinya merupakan suatu hal yang wajar dalam berdebat, yaitu menyerang substansi yang sedang menjadi tema debat pada saat itu.
Mudahnya suatu konten menjadi viral dan mendapatkan panggung di sosial media saat ini menunjukkan tingkat literasi media digital negara ini belum begitu tinggi dan membuat hal ini dimanfaatkan oleh para politisi untuk menarik perhatian para generasi muda dengan cara-cara “murahan” untuk dapat menarik dan memobilisasi dukungan serta kepentingan yang mereka inginkan. Tentunya sebagai generasi muda, kita harus kritis dalam menggunakan media sosial.
Dilansir dari Kominfo, menyatakan bahwa jumlah masyarakat Indonesia yang sudah mulai melek dengan media mengalami peningkatan pada tahun 2021 dengan skor 3,49 poin (naik 0,03 poin). Hal ini berbeda dengan tahun sebelumnya, yaitu pada tahun 2020 Masyarakat Indonesia mengalami penurunan pada minat literasi media digital dengan nilai 3,46 poin.
Hal ini menunjukan bahwa tingkat literasi media digital anak muda maupun masyarakat Indonesia mengalami peningkatan di setiap tahunnya. Skor ini didapat berdasarkan hasil survei Status Literasi Digital Indonesia 2022 yang dilaksanakan oleh Kementerian Kominfo yang bekerja sama dengan Katadata Insight Center (KIC).
Hasil survei menjelaskan bahwa tingkat literasi media digital masyarakat Indonesia mengalami peningkatan di setiap tahunnya walau tidak signifikan. Perlahan namun pasti, Besar harapan agar tingkat literasi di Indonesia semakin membaik untuk dapat meningkatkan kritisnya pengguna media sosial, khususnya anak muda dalam menerima informasi yang beredar agar tidak mudah diperdaya oleh elit-elit negara ini. Terutama sebagai mayoritas yang akan menjadi penerus bangsa ini kedepannya, begitu banyak kepentingan yang dapat kita titipkan dalam politik tanah air.
Kita sebagai anak muda yang mungkin saja apatis dan pesimis terhadap kondisi politik saat ini dipengaruhi oleh rasa muak saat melihat informasi yang beredar mengenai politik hanya berisi tentang sisi negatifnya dari politik itu sendiri. Pemberitaan seperti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) serta kegaduhan antar elit politik membuat rasa-rasa itu muncul.
Pada akhirnya, saat informasi mengenai politik kembali muncul ke beranda media sosial kita, alih-alih membacanya justru kita secara sadar melewati informasi yang didapatkan mengenai politik berkutat pada hal negatif saja.
Hal ini juga didasari oleh banyaknya anak muda yang mengikuti dunia politik dengan bermodalkan membaca berita hanya sekedar headline beritanya saja atau bahkan melihat berita dari sebuah video yang berisikan narasi yang tidak didasarkan pada fakta yang ada, serta konten-konten yang hanya berisikan informasi bohongan saja.
Kesalahan dalam memproses informasi inilah yang membuat tingkat kekritisan kita terhadap informasi itu sendiri semakin tumpul kedepannya. Sebaiknya, sebagai generasi muda yang terpapar langsung oleh teknologi dan informasi, kita harus pandai dan cakap dalam mencari kebenaran berita serta mencari tahu hal-hal yang sebenarnya harus kita ketahui sebagai calon penerus bangsa ini.
Media sosial yang saat ini ada di genggaman kita bagai pisau bermata dua yang penggunaannya dapat berbahaya jika kita tidak dapat memposisikan diri sebagai pengguna yang terliterasi agar terhindar dari dampak-dampak negatif yang dibawa olehnya.
Kita tidak mungkin mengelakkan perkembangan teknologi yang ada karena hampir setiap sektor dalam kehidupan kita saat ini sudah menggunakan teknologi, bisa saja kedepannya penggunaan teknologi akan semakin masif digunakan dikehidupan. Sama akan halnya media sosial bak pisau bermata dua, politik juga memiliki sisi positif dan negatif di dalamnya. Kita dapat memilih dari sisi mana kita melihat dan ikut serta dalam politik itu sendiri.
Kepedulian yang kita miliki terhadap politik akan sangat berdampak pada arah jalan bangsa ini kedepannya akan berlabuh. Kedamaian, keadilan dan kemakmuran hal-hal terkait dapat berjalan baik ketika roda politik di negara ini juga baik. Maka dari itu, sebagai generasi muda dan mayoritas penduduk saat ini, marilah kita menjadi kontrol sosial dan contoh bagi bangsa ini di dalam kehidupan bermedia sosial dan lebih peduli lagi terhadap politik tanpa harus terjun ke dalam politik secara praktis.
Dicky Wahyudi / Adinda Amelia Putri Br. Tarigan