Hits: 43

Star Munthe

“Hancurkan paham para penindas, sadarlah rakyat sadarlah. Kita akan bangun dunia baru, dunia tanpa penindasan,” penggalan mars Internasionale – Eugene Porttier (1871).

Pijar, Medan.  1 Mei selalu identik dengan demonstrasi. Suara orang-orang yang serentak menyanyikan sejumlah mars. Membawa slogan bertuliskan keinginan dan harapan. Berkumpul pada satu titik yang harapannya akan dilihat dan didengar oleh para pemangku kekuasaan.

Tradisi yang selalu berlangsung pada 1 Mei ini sering disebut sebagai May Day. Hari di mana buruh akan turun ke jalan dan menuntut hak-haknya. Kesejahteraan adalah tuntutan utama dari seluruh pagelaran May Day yang berlangsung di seluruh ruas-ruas jalan seluruh negara yang memperingatinya setiap tahun. May Day punya sejarah yang panjang, bahkan lebih tua daripada si Merah Putih itu sendiri.

Pada pertengahan abad ke-18, dunia mengalami revolusi di sektor ekonomi, di mana sektor agraris mulai beralih ke sektor industri. Periode tersebut bermula dari Inggris dan dinamai Revolusi Industri (1750-1850).

Salah satu komponen terpenting industri pada masa itu adalah buruh, tanpa adanya buruh, produksi tak akan bisa berjalan. Maka dari itu perusahaan-perusahaan industri kala itu membebankan jam kerja 14-16 jam sehari kepada karyawannya.

Menyelami fakta sejarah yang diceritakan oleh CNBC, pangkal dari May Day bermula sejak memasuki abad ke 19, tepatnya pada tahun 1817. Saat itu Robert Owen yang merupakan pengusaha tekstil dan filantropis memandang bahwa kualitas hidup buruh menurun karena jam kerja yang tinggi.

Owen kemudian menyuarakan tiga poin tentang angka 8 yang menjadi akar dari pergerakan massa buruh selanjutnya, yakni “8 jam kerja, 8 jam rekreasi, dan 8 jam istirahat.” Suara Owen tersebut tak hanya didengar oleh pekerja di perusahaannya, suaranya bahkan bergema sampai ke Negeri Paman Sam.

Bagai reaksi marah yang tersulut ketika membaca suatu ketidakadilan, para buruh di Amerika Serikat mulai menerima suara Owen dan menumbuhkan keinginan yang besar untuk merealisasikannya. Sejak 1 Mei 1822, tradisi ini dirayakan oleh para buruh.

Mereka melakukan mogok kerja dan turun ke jalan sambil membawa spanduk yang menuntut kesejahteraan. Pada saat itu massa yang rutin turun ke jalan sejak 1822 berjumlah besar dan selalu bertambah setiap tahunnya, namun pemerintah seolah menutup mata dan tak memberikan perhatian, seperti memberlakukan libur nasional setiap 1 Mei.

Butuh waktu yang panjang agar sejarah mampu mencatat puncak dan pukulan pamungkas buruh untuk menegaskan kemenangannya dalam panggung kekuasaan kapitalisme kala itu. Pada musim semi 1 Mei 1886, buruh yang jumlahnya ribuan memadati jalanan kota Chicago. Demonstrasi yang berlangsung selama empat hari tersebut tak seperti demonstrasi buruh tahun-tahun sebelumnya.

Pada hari itu tepatnya di lapangan Haymarket, aparat keamanan yang bertugas mengamankan para demonstran malah terlibat kericuhan, polisi membabi buta massa dengan timah panasnya. Ratusan buruh meninggal. Peristiwa berdarah ini dikenal sejarah sebagai Tragedi Haymarket.

Dua tahun berselang sejak Peristiwa Haymarket, berbagi Negara diundang mengikuti Konfrensi Sosialis Internasional. Salah satu agenda konferensi ini adalah penetapan 1 Mei sebagai Hari Buruh untuk mengingatkan dunia akan lembar hitam Tragedi Haymarket.

Sejak penetapan itu, satu persatu keinginan buruh mulai terealisasi. Salah satunya yakni penetapan peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day dicap sebagai tanggal merah oleh berbagai Negara. Termasuk Amerika Serikat sendiri.

Tradisi May Day di Tanah Air

Mengikuti alur sejarah yang diceritkan oleh Beritagar, perayaan hari Buruh di Indonesia pertama kali dilangsungkan oleh Serikat Buruh Kung Tang Hwee Koan pada 1 Mei 1918.

Tiga tahun berselang, HOS Tjokroaminoto, yang merupakan guru dari Bapak Proklamasi, Soekarno. Berpidato di depan para buruh di bawah bendera Sarekat Islam saat memperingati Hari Buruh 1921.

Empat tahun kemudian, Partai Komunis Indonesia (PKI) bersama kepalan tangan dan semangat sosialisnya untuk meruntuhkan tembok tinggi kapitalisme dan imperialisme, menyulut api besar pada peringatan Hari Buruh tahun itu.

Semaun yang merupakan ketua PKI pertama, mengajak para buruh dan petani melakukan mogok kerja dan bersama-sama bersuara menggemakan tuntutan kesejahteraan.

Sayang perlawanan ini cepat terdengar oleh pemerintah Hindia Belanda saat itu. Upaya dalam mengagalkan cita-cita Semaun dan partainya sukses dilakukan pemerintah Hindia Belanda. Sejak hari itu, peringatan Hari Buruh dihapuskan dari kalender Hindia Belanda, dan melarang segala kegiatan peringatan yang berkaitan dengan Hari Buruh.

Aroma Hari Buruh kian terendus lagi di Tanah Air setelah perang dunia kedua berakhir. Indonesia yang kala itu berhasil mengibarkan benderanya kian membenahai susunan dan mulai memperhatikan kesejahteraan rakyatnya.

Akhirnya tiga tahun setelah pembacaan proklamasi kemerdekaan, hari peringatan Hari Buruh kembali dihidupkan melalui UU No. 12/1948 tentang tenaga kerja.

Sejak Hari Buruh kembali hidup di tanah air, kaum buruh sudah mengalami tiga bab penting sejarah negeri ini, yakni: orde lama, orde baru, dan reformasi. Tapi sampai saat ini, sebetulnya suara buruh yang ramai turun ke jalan setiap 1 Mei selalu saja bertambah keras, apakah itu simbol dari kesejahteraan yang semakin jauh?

Redaktur Tulisan: Intan Sari

Leave a comment