Hits: 25

Muhammad Abdul Fattah

“Hufft.. “ kutarik nafas panjang menggantikan verbalku mengungkapkan letihnya tubuh ini. Kulirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan telah menunjukkan pukul lima, namun langit tampaknya lebih dulu meninggalkan waktu petang.

Kurasa karena dia habis menangis penuh derai air mata sehingga membuat lantai stasiun terlihat mengkilap. Segera kubergegas untuk menuruni kereta api yang dari empat jam lalu merupakan tempatku berdiam diri.

Smartphone-ku berdering, kulihat Abangku menelepon melalui jaringan seluler. “Hallo, Bang. Awak dah sampe di stasiun.” kataku cepat, karena aku tahu dia akan bertanya apakah aku sudah sampai atau belum.

“Oh, yaudah. Hati-hati naik angkot , jangan main hp terus. Maaf Abang gak bisa jemput karena ada bukber.” katanya sebagai rasa bersalah, seperti tebakanku.

Aku pun tak berlama-lama berbicara dengannya karena angkotku telah datang. Ya, sudah 20 menit aku menunggunya di bawah jembatan penyebrangan ini. “Yaudah gapapa kok. Udah dateng, nih, angkotnya. Sampe jumpa di rumah ya!” kataku sambil menutup telepon darinya yang aku fikir beberapa detik itu tak sopan. Kulambaikan tanganku dan ternyata aku ditolak karena isi angkot telah sesak saking padatnya.

Terpaksa aku harus menunggu 20 menit lagi untuk angkot yang lewat berikutnya. Kulirik kembali arlojiku telah menunjukkan pukul lima lewat 30 menit. Sedikit was-was, kusempatkan membeli air mineral untuk berjaga-jaga jika harus terpaksa berbuka puasa di dalam angkot.

Kubeli juga roti paha ayam untuk menemani air mineralku nanti. Tak sampai 20 menit, ternyata si 87 melintas yang kali ini tidak sepadat si 87 yang tadi. Langsung aku naik dan memilih posisi duduk senyamanku.

Angkotku pun melaju seperti biasanya angkutan umum di Medan kebanyakan. Tapi, kelajuannya mendadak menurun karena ada penumpang yang akan naik ke dalam angkotku.

Kulihat ternyata seorang kakek tua yang tidak terlalu kumuh naik dan duduk tepat di hadapanku. Dia menyapaku dengan senyumnya yang membuatku terpaksa harus membalas. Namun seketika angkot kembali melaju dan seluruh penumpang seketika membisu. Suasana sepi hanya ada suara rintikan hujan yang mulai turun kembali.

Satu per satu penumpang turun di tujuan mereka masing-masing. Dan kulihat arlojiku kembali tinggal 5 menit lagi menuju berbuka puasa. Tapi jalan ke arah rumah masih sangat jauh. Kira-kira 15 menit lagi dengan kondisi langit menangis seperti ini. Tersisa hanya aku dan si Kakek Tua tadi yang tinggal di angkot 87 ini.

Lama kelamaan lidahku tak sabar untuk menuturkan kata padanya. “Rumah Kakek di mana?” tanyaku singkat.

Si Kakek membalas dengan senyuman lebih dulu. “Di air bersih.” jawabnya singkat menyambung dari senyum indahnya.

 “Kakek abis pulang kerja atau gimana?” tanyaku semakin membuat suasana akrab.

“Iya Cu, Kakek baru pulang kerja di kesawan. Cucu rumahnya di mana?” jawabnya membalas pertanyaanku tadi.

“Di Seksama, Kek.” jawabku singkat dan seketika terhenti karena adzan maghrib berkumandang. Dengan segera kubuka air mineralku untuk segera membasahi kerongkonganku yang telah menahan dahaga selama 13 jam lamanya.

Tak lama kemudian si Kakek bertanya, “Cu, di sini tinggal sama orang tua?” aku sedikit terkejut karena pikirku, si Kakek tahu kalo aku anak kos di sini.

“Sama abang, Kek, orang tua di kampung.” jawabku.

“Wah mandiri ya, gak kayak anak awak,” tambahnya lagi seakan terceplos dari lidahnya.

Supir angkot yang tadinya diam memperhatikan seolah menyambung obrolan di antara kami. “Loh anak uwak tinggal sama uwak rupanya?” tanyanya.

Si Kakek pun terus melanjutkan kisahnya dan kami berdua mendengarkan. “Lah, ya iya, malah sama istri dan anak-anaknya di rumah itu,” katanya. “Wuh, kalo nengokkan mantu awak itu, geram kali awak lah. Banyak permintaan, mulutnya nyinyir. Anak-anaknya kasian awak nengokkannya.” tambahnya lagi.

Aku penasaran dan menggali kisah si Kakek yang masih mantap untuk bercerita. “Emang mantu kakek kenapa, Kek?” ucapku pelan sembari untuk menenangkan perasaan si Kakek.

Namun dia tampak biasa saja dan membalas pertanyaanku, “Ya gitu, kalo awak pulang gini minta duit katanya untuk belanja. Ya, awak kasih karena kan awak makan sama orang itu. Padahal tiap awak pulang nasi belum dimasak. Mesti awak sendiri yang masuk baru bisa makan serumah, lauknya pun bukan ada mesti beli ke depan gang rumah baru.” Perkataan si Kakek langsung menyambar hatiku yang telah sejuk disiram air mineral berbuka tadi.

“Owalah kurang ajar kalo gitu sih, Kek” sambung si sopir angkot dengan geram.

“Ya gimana lagi, udah gitu awak rasa naseb awak. Ya, awak terima ajalah semoga Allah memberikan balasan sama mantu awak itu. Kalo awak pigi dari rumah nanti tiba-tiba awak sakit, kek mana ya kan, ” begitu ucap si Kakek yang seolah masih berharap bahwa mantu dan anaknya akan memberinya belas kasihan.

“Jadi wak, anak uwak gak ngebela uwak?” tanya si sopir angkot lagi.

Si Kakek diam dan mengusap air matanya, “Kok ngebela, malah awak dimarahin kalo engga nuruti mau istrinya. Awak Cuma bisa diam aja lah.” begitu katanya.

Hatiku terasa panas, sangat panas mendengar si Kakek mengatakan demikian. Lantas aku memandang si Kakek dengan belas kasih sembari tangan kananku merogoh kantung yang berisi uang lumayan banyak, kembalian dari membeli air mineral tadi. “Kek, ini ada sedikit rezeki sedikit buat Kakek. Kalo boleh Kakek terima yah untuk nambah beli lauk.” ucapku sambil memberikan uang kepada si Kakek.

Namun dia menolak dengan senyuman tulus sambil berkata, “Tidak Cu, awak bukan meminta belas kasihan dari orang-orang. Kakek hanya ingin mengeluarkan uneg-uneg awak yang membekas di hati selama ini. Karena awak gak tahu mau cerita sama siapa. Lagi pula, ini awak juga baru dapat rezeki yang lumayan banyak dari bos awak.” Aku pun terdiam dan mencari cara untuk memberikan sesuatu agar dia menerima, dan aku ingat roti paha ayamku.

“Kalau Kakek gak mau terima duit saya, ya sudah. Tapi saya ingin memberikan roti ini kepada cucu kakek, boleh kan? ” bujukku agar dia menerima.

Sesungguhnya itu kuberikan untuknya, namun kusiasati agar diterima olehnya. “Oh terima kasih, iya jelas bakal awak kasih ke cucu-cucu awak. Karena awak pun ada sakit gula tidak bisa makan yang manis gini hehehe.” balas si Kakek dengan tawa sembari mengambil roti paha ayam yang kukasi.

Aku sedikit lega, akhirnya aku dapat sedikit mengukir senyum di wajah si Kakek ini. Dan tak lama kemudian dia turun di persimpangan jalan air bersih. Sambil mengeluarkan uang dia memegang kepalaku dan mengucapkan, “Kamu anak baik dan bakal sukses di masa depan.” Aku terkejut dan ingin membalas namun dia sudah turun dari angkot.

 Si sopir angkot juga menolak ketika akan dibayar oleh si Kakek ongkos angkotnya. “Terimakasih!” teriak si Kakek kepada si sopir angkot.

Aku hanya bisa senyum-senyum sendiri tanpa kusadari si sopir angkot bertanya kepadaku. “Abang turun di mana? Bang? Ooooh Bang?” katanya sambil meneriakiku.

Aku terkejut karena suaranya, kusangka petir yang menyambarku dari jendela angkot 87 ini. “Ah, di Seksama, Bang. Depan Mie Aceh Aulia.” jawabku.

“Oke.” balas si sopir angkot.

Aku berfikir betapa teganya anak dan menantunya memperlakukan si Kakek. Aku jadi teringat akan Ayah dan Ibuku yang ada di kampung halaman. Aku tak mau mereka seperti itu tua nanti. Aku akan bekerja keras untuk memiliki kehidupan layak di masa depan seperti kata si Kakek tadi.

Khayalanku terhenti ketika gang rumah terlewat oleh angkot 87 ini, “Bang kelewatan gangnya,” kataku sambil memarahi si tukang angkot.

“Lah, Abang gak bilang. Malah menghayal. Menghayal cewek, ya? Ingat Bang puasa hahaha,” balas si sopir angkot.

“Udah buka kali.” kataku sambil memberikannya uang lima ribu rupiah.

 “Makasih ya, Bang.” kata si sopir angkot sambil melajukan mobil pribadinya, angkot 87, sesudah aku turun.

 

Leave a comment