Hits: 36
Shalli Anggia Putri
Pijar. Medan. Hujan deras mengguyur malam itu, sampai-sampai tak terdengar suara apapun kecuali suara hujan di luar rumah. Di umur 30 tahun sekarang, aku sibuk menjalani hari-hari di perusahaan bidang pengangkutan mineral dan batu bara milik papaku, Kanigara Baswara. Sejak kecil aku hidup dalam kecukupan malahan kemewahan yang tidak henti-hentinya. Menjadi anak tunggal membuatku menimati ini semua sendirian. Namun kemewahan ini tak dapat memenuhi semua keinginanku. Tuhan memang adil. Aku tidak bersatu dengan kekasih yang kucintai. Jika teringat dia, maka mengingatkanku kenangan indah nan hangat di bangku kuliah bersamanya.
Beberapa tahun silam, aku merupakan mahasiswa teknik geologi sedangkan ia adalah mahasiswi sastra inggris. Kami bertemu di hari indah itu saat festival dari Fakultas Imu Budaya dilaksanakan, di mana jurusan apapun boleh ikut bergabung untuk memeriahkannya. Seorang wanita berdiri dengan menggunakan baju panitia bewarna biru tua yang dipadukan dengan mini skirt coklat muda. Aku melihat wajah manis dan kulit coklat eksotis. Ia terlihat sangat ayu dengan mata beloknya dan bibir kecil merah mudanya di bawah kerlap-kelip lampu festival. Rambut panjang hitam pekat yang terurai menarik perhatianku. Tiba-tiba, ia hilang dari pandanganku. Kemana dia? pikirku, aku ingin memandanginya lebih lama lagi.
Aku pun hanya kembali menikmati festival tersebut. Tiba waktunya konser oleh penyanyi hits ibu kota kesukaan temanku. Sebenarnya aku tidak suka dengan keramaian dan lebih suka menyendiri dalam keheningan. Tetapi, teman kecilku bernama Bumantara alias Tara terus memaksaku ikut pergi ke festival, aku pun tidak bisa menolak keinginannya. Saat terhimpit di tengah keramaian penonton konser, aku menyesali keputusanku, namun jika mengingat Si Dia aku tidak menyesal, deh. Kalau tidak ke sini, tidak akan bertemu dia dong.
Aku ingin meluapkan amarahku. Tangan berkeringat dari kananku. Si Tara yang menyentuh lenganku, diikuti bau tidak sedap dari arah depanku. Wah, rasanya aku ingin memukuli temanku, dasar Tara sialan! Namun, ada wanita yang tidak sengaja mengenai lenganku dari arah belakang, awalnya ingin marah, tetapi karena ia wanita tak jadi kuluapkan amarah ini. Saat aku melihat ke arah kiriku, ternyata dia wanita yang tadi kulihat. Aku pun hanya tersenyum bahagia. Aku pikir ini kesempatan dari Tuhan, jadinya langsung gas aja deh. Aku ajak dia berkenalan dan dia tenyata orang yang ramah.
Kami pun bertukaran kontak agar aku tetap bisa menghubunginya. Aku mulai mengajaknya bertemu hanya untuk sekadar berbicara santai. Semakin hari kami semakin dekat. Aku juga sering mengajaknya nonton dan makan. Berasa sedang kencan bersama kekasih. Aku juga jadi sering menjemputnya pergi kuliah dari rumah. Pulangnya pun sering kuantar.
Wanita bernama Arunika Kirana, ayu seperti namanya. Arunika berarti cahaya matahari ketika pagi mulai dan Kirana mengandung makna bersinar atau cantik. Aku biasa memanggilnya dengan Runi. Runi, kau merupakan wanita yang selalu dan akan kucintai. Kau telah menorehkan catatan cinta dalam hati yang sulit sekali kulupakan. Apa aku bisa memilikimu? Apakah kita bersama? tanyaku dalam hati.
Hubunganku dengan dirinya ditentang oleh orang tuaku. Runi merupakan gadis dari keluarga sederhana. Ayah dan ibunya hanya berdagang sayuran di pasar tradisional. Hal inilah yang membuat keluargaku menolaknya. Aku berpikir apa salahnya ia dari keluarga sederhana, yang penting aku sebagai lelaki bisa memberikan kecukupan hidup padanya.
“Kamu tahu, kita ini Keluarga Baswara, Dirga! Kamu mau buat malu Papa dan Mama ya?” ujar mamaku dengan tatapan tajam dan suara yang lantang.
“Iya, aku Dirgantara Baswara terus kenapa Ma?” tanyaku.
“Kamu pakai nanya segala, yang ada keluarga kita malu, gadis itu tidak sederajat dengan keluarga kita. Mama tidak mau mempunyai menantu satu-satunya dari keluarga seperti itu! Mau tidak mau kamu harus menikah dengan Lembayung, kalian sudah dijodohkan dari kecil oleh Papamu dan Papanya. Setelah Lembayung menyelesaikan pendidikan dokternya, kamu akan menikahinya,” tegas Mama.
Aku yang berada di semester akhir kala itu, lulus terlebih dahulu. Aku dan Runi pun mengakhiri hubungan kami. Ia datang tepat di hari kelulusanku setelah hilang kontak beberapa waktu. Tanpa sepengetahuanku, Mama menemuinya dan memintanya untuk menjauhiku.
“Semoga kamu sukses ya! Kita harus akhiri hubungan ini, aku dan kamu dari kelas yang berbeda. Aku sadar akan posisiku, Dir! Terima kasih untuk semuanya,” ujarnya dengan nada rendah.
Air matanya jatuh membasahi pipinya, senyum kecil dari bibirnya tak terlihat lagi. Aku sudah menyakiti orang yang kucintai. Namun aku bingung, orang tuaku sudah menyiapkan pendidikan lanjutanku di luar negeri.
Aku pikir dengan perginya aku jauh dari dirinya, aku mampu melupakannya. Nyatanya, kenangan itu terlalu hangat. Setelah sekian lama, aku kembali dan menikahi gadis yang sudah ditetapkan orang tuaku. Maka dari itu, aku harus fokus ke masa depan. Sekarang aku sudah menikah dengan Lembayung dan sedang menunggu buah hati kami melihat dunia. Aku pun mendengar kabar bahwa Runi sudah menikah dengan seorang pria kantoran dan dikaruniai seorang anak perempuan yang dinamakan Renjana.
Untukmu Arunika Kirana, kau adalah kekasih hatiku. Semoga Tuhan menggantikan nestapa yang kuberikan dengan kebahagiaan terhadap keluarga kecilmu. Dan Renjana, aku menulis doa ini dari sanubariku, agar kelak kau menjadi anak yang kuat seperti namamu dan Ibumu. Hari ini, aku menutup kenangan kita, Run. Kita akan bahagia dengan pasangan kita dan memiliki keluarga yang bahagia. – Dirgantara Baswara