Hits: 793
Star Munthe
“Hanya ada dua pilihan: menjadi apatis atau mengikuti arus. Tapi, aku memilih untuk jadi manusia merdeka,” – Soe Hok Gie
Pijar, Medan. Sore ini salah satu kedai kopi yang tak jauh dari kampus hijau dipadati oleh suara-suara yang berdesakan menuju topik demonstrasi mahasiswa. Jauh sebelum sore tak bertepi ini terjadi, tertulislah dalam sejarah kisah mahasiswa bernama Soe Hok Gie. Pemuda yang kini namanya hidup sepanjang reformasi, walau sesungguhnya ia tak punya banyak waktu untuk pertiwi.
Lembar buku perjuangan Soe Hok Gie berakhir satu hari sebelum hari ulang tahunnya yang ke-27. Sebagai sosok yang gemar menaklukan gunung, Gie akhirnya takluk dipelukan Gunung Semeru akibat gas beracun. Tapi sebaik-baiknya sejarah adalah yang tidak dibaca dari halaman terakhir. Pada bab pembuka, Gie seolah sudah ditakdirkan untuk hidup dalam prahara. 1942 merupakan tahun dimana ia pertama kali melihat bumi pertiwi, tepatnya 17 Desember 1942.
Kegelisahan-kegelisahan Gie banyak ia narasikan dalam buku hariannya yang kemudian dibukukan dengan judul “Catatan Seorang Demonstran.” Juga skripsinya tentang pemberontakan PKI Madiun yang dibukukan dengan judul “Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan”.
Dalam banyak cerita yang dituturkan melalui “Catatan Seorang Demonstran,” Gie digambarkan sebagai pemuda dengan idealisme adalah harga mati. Jalan idealisme yang ditempuh tersebut berupa alergi pada politik. Bagi Gie sendiri politik merupakan hal yang busuk dan ia tak akan pernah berhenti berdemonstrasi untuk mewujudkan demokrasi yang ia impikan.
Mahasiswa UI ‘66 kala itu didominasi oleh pihak-pihak yang menentang pemerintahan serta kebijakan-kebijakan yang kontroversial pada era demokrasi terpimpin. Rezim Orde Lama memang pada akhirnya tumbang, dan di sana ada sosok Gie sebagai salah satu yang berperan di dalamnya.
Siapa tak takut berpikir liar pada rezim orde baru? Soe Hok Gie menolak untuk takut. Ia disebut-sebut sebagai orang pertama yang mengkrirtisi rezim yang memang harusnya ramai kritik itu. Sebab idealisme adalah harga mati, Gie menanggung kecewa melihat teman seangkatannya (angkatan ‘66) yang pada saat demonstrasi turun ke jalan, berteriak kelangit mengutuk dan menajamkan logika mengkritik pejabat. Pada akhir perjuangan, ternyata menggunakan dasi dan duduk di kursi dewan dan pro terhadap pemerintah, yang pada kasus lampau memiliki visi dan misi perjuangan.
“Bagiku sendiri politik adalah barang yang paling kotor. Lumpur-lumpur yang kotor. Tapi suatu saat di mana kita tidak dapat menghindari diri lagi, maka terjunlah.”
Soe Hok Gie memang sosok yang keras dan dikenal oposisi dan tak bisa berkompromi dengan hal yang dipandangnya buruk. Mahasiswa anti demokrasi terpimpin ini pernah secara radikal menolak penunjukan 14 perwakilan mahasiswa untuk duduk di kursi MPRS/DPR. Dua dari 14 mahasiswa tersebut adalah teman dekat Gie dalam gerakan mahasiswa.
Penolakannya dilandaskan pada pandangan bahwa fungsi mahasiswa seharusnya lebih bertindak sebagai kekuatan moral daripada kekuatan politik yang duduk manis dalam gedung dewan. Apabila perjuangan mahasiswa telah mewujudkan perubahan, maka sudahlah sewajarnya mahasiswa mundur dan kembali pada tujuan akademisnya di kursi ruang kuliah.
Lewat berbagai media Gie melancarkan kritik kepada ke-empat belas mahasiswa tersebut. Pada 1969 Gie pernah mengirimkan hadiah natal kepada perwakilan mahasiswa tersebut berupa paket lipstick. Hadiah natal tersebut memiliki makna pengecut dan tidak memegang kata-katanya, sebagaimana laki-laki digambarkan pada pandangan Gie.
Mungkin tak dapat dipungkiri bahwa jiwa sastra memang tumbuh liar dalam benak Gie. Semasa hidupnya ia aktif menulis diberbagai media massa seperti Kompas, Harian KAMI, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya.
Tercatatat sekitar 35 karya artikel yang pernah ia tulis. Selain Catatan Seorang Demonstran dan Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, skripsi sarjana mudanya tentang Sarekat Islam Semarang 1909 dibukukan pula dengan judul “Di Bawah Lantera Merah.”
“Saya memutuskan bahwa saya akan bertahan dengan prinsip-prinsip saya. Lebih baik diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan.”
Bersama karya dan karsa, Gie dalam realitas kita sejatinya tak akan pernah mati, selama pustaka itu ada, selama mahasiswa masih menjadi agen perubahan, selama mahasiswa peka terhadap isu dalam masyarakat, dan selama idealisme itu tumbuh subur sepanjang peradaban. Panjang umur perjuangan.
(Redaktur Tulisan: Intan Sari)