Hits: 25
Patricia Astrid/Laura Arya Wienanta
“Pokok’e Maknyuss!”
Pijar, Medan. Dua kata di atas mungkin sudah tidak asing lagi untuk didengar. Ya, jargon legendaris yang dicetuskan oleh alm. Bondan Winarno tersebut sukses melekat di hati para pemirsa Indonesia sampai detik ini.
Lahir dengan nama lengkap Bondan Haryo Winarno, pria yang akrab dipanggil Pak Bondan ini mengaku bahwa ide mencetuskan kata maknyus pada awalnya muncul karena seringnya beliau makan bersama dengan alm. Umar Kayam. Setiap kali menemukan makanan yang enak, Pak Umar selalu berkata “maknyuss, mantap”. Munculnya kata ‘pokok e’ berasal dari bahasa Jawa yang berarti pokoknya, sedangkan kata ‘maknyuss’ berarti enak sekali.
Nama Bondan kemudian melejit dan dikenal di dunia kuliner. Namun tidak banyak yang tahu, sebelumnya Bondan merupakan seorang wartawan dan penulis. Bisa dikatakan, hampir sepanjang hidupnya dihabiskan untuk menulis. Ia bahkan mengaku bahwa dirinya dapat menulis di mana saja. Beliau telah mulai menulis sejak berusia 10 tahun dan belasan karya telah ia ciptakan mulai dari cerpen sampai buku referensi.
Saat masih duduk di bangku universitas, dirinya sudah berprofesi menjadi seorang fotografer di Puspen Hankam, Jakarta. Beliau bahkan pernah ditempatkan di Kenya, Afrika saat bekerja sebagai wartawan. Lalu, pengalamannya selama berada di Afrika itu diangkatnya ke dalam sebuah cerpen yang berjudul Gzelle, yang kemudian memenangkan lomba cerpen di Femina pada 1984.
Prestasinya di bidang jurnalistik bagai tak ada habisnya. Pria kelahiran Surabaya 67 tahun silam ini pernah membuat sebuah buku jurnalistik dari hasil investigasinya. Buku itu berjudul Brex : Sebongkah Emas di Kaki Pelangi. Buku ini menceritakan tentang kasus pertambangan bodong di Kalimantan Timur yang juga dikenal dengan Kasus Busang. Bondan mencurigai kematian Michael T de Guzman, Manajer Eksploitasi PT Bre-X Corp, sebuah perusahaan pertambangan Kanada, yang disebut-sebut bunuh diri dengan cara melompat dari helikopter yang membawanya dari Bandara Temindung, Samarinda ke Busang.
Lulusan Universitas Diponegoro ini melalui investigasinya berhasil membuktikan bahwa tidak ada emas di Busang. Emas itu hanyalah akal-akalan dari de Guzman untuk menipu para pengusaha dan pemerintah. Beliau membuktikan sudah banyak kalangan yang tertipu oleh de Guzman, dan juga membuktikan bahwa sosok de Guzman yang dikatakan tewas bunuh diri itu masih hidup. Skandal ini lalu diangkat menjadi sebuah film dokumenter televisi di Kanada.
Karya jurnalistik Bondan lain yang tidak kalah terkenal adalah Neraka di Laut Jawa: Tampomas II terbitan Sinar Harapan (1981). Tulisan feature ini mengulas salah satu transportasi terbesar di Indonesia, yaitu terbakarnya kapal Tampomas pada Januari 1981.
Tulisan-tulisannya tersebar di beberapa media seperti Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Kompas, dan Tempo. Ia juga sempat memimpin ruang redaksi Suara Pembaruan pada 2001 hingga 2003. Beliau juga menerbitkan beberapa hasil karyanya yang mengangkat soal kuliner nusantara, beberapa di antaranya berjudul 100 Maknyus Jakarta, 100 Maknyus Bali, 100 Makanan Tradisional Indonesia Maknyus, dan masih banyak lagi.
Kini sosok Pak Bondan telah tiada. Beliau wafat pada Rabu (29/11) pukul 09.05 pagi di Rumah Sakit Harapan Kita, Jakarta. Almarhum wafat di usianya yang ke 67, meninggalkan 1 orang istri dan 3 orang anak. Namun, karya jurnalistiknya akan tetap tergores abadi di hati masyarakat dunia.
Selamat Jalan, Pak Bondan…
(Redaktur Tulisan: Maya Andani)