Hits: 12

Hidayat Sikumbang

Pijar, Medan. Bumi Manusia adalah mahakarya yang diciptakan Pramoedya Ananta Toer. Sebuah novel yang sempat dilarang pada era Soeharto dan membuat sang penulis diasingkan di Maluku tanpa melalui proses pengadilan.

Bertemakan penindasan di era kolonial antara mereka yang berdarah Eropa dengan masyarakat pribumi, novel ini diangkat ke layar lebar dan Hanung Bramantyo, sang sutradara yang sudah tak asing lagi di Indonesia menjadi peracik bumbu masakannya sebelum disantap di masyarakat. Padahal, sang sutradara  justru pada masa remaja membaca novel ini secara sembunyi-sembunyi agar tidak dianggap pendukung komunis, seperti tuduhan terhadap karya Pramoedya.

Cerita mengenai Bumi Manusia berkisah pada suatu masa, Tirto Adhie Soerjo alias Max Tollenar alias Minke, tampak tertegun lesu. Bukan karena tulisannya gagal dimuat di media massa, namun ada hal yang lebih mendesak lagi menurutnya. Pribumi. 7 huruf yang memberikan perbedaan mendasar di kehidupan pada masa itu. Minke, begitu ia lebih senang dipanggil namanya. Seorang Pribumi terpelajar yang menyukai sejarah. Ia berteman dengan Suurof, remaja seusianya yang berdarah Indonesia – Belanda.

Seperti halnya pertemanan antara remaja laki-laki, tentu tak bisa terpisahkan dari perempuan. Suurof berniat untuk memamerkan adik sahabatnya, Annelies Mellema. Annelies yang juga berdarah Indonesia – Belanda justru berbeda dari “Indo” kebanyakan. Ia justru terpikat dengan remaja pribumi. Gadis ini justru ingin menjadi wanita hebat seperti ibunya.

Pergejolakan antara cinta remaja ini pun tak terhindarkan. Kehidupan keluarga Annelies dan Minke juga bertolak belakang. Minke adalah anak terpelajar, ayahnya seorang anggota dewan. Bahkan bolos sekolah agar bisa bergaul dengan keluarga Annelies saja membuat dirinya dilecut oleh Ayah sendiri. Begitu kontras dengan kehidupan keluarga Annelies. Annelies memiliki ayah yang doyan mabuk-mabukan, seks bebas, hingga mati di kasur pelacur. Keperawanan Annelies telah direnggut oleh Robert, kakak kandungnya sendiri.

“Celakalah keluarga ini,” begitulah ungkapan dr. Martinet, dokter pribadi keluarga Annelies terhadap pandangannya.

Film ini memang lebih menonjolkan kisah cinta dua sejoli yang terhimpit oleh perbedaan kasta pada masanya. Penindasan demi penindasan yang dilakukan oleh para kolonial dipertontonkan. Ada juga kata-kata mutiara yang terangkum dalam buku setebal 535 halaman itu.

Hanung terlihat seperti boros pada penyampaian alur cerita. Ia berusaha membuat Bumi Manusia lebih membumi. Terlihat ringan namun tetap berkualitas. Namun pada akhirnya, film ini terlihat seperti Dilan era Kolonial. Mungkin memang mereka ingin menargetkan para penonton milenial. Akan tetapi, untuk film dengan durasi 3 jam serta menghabiskan rupiah sebanyak 4 milyar rasanya terbilang cukup mubazir. Totalitas Hanung dalam filmnya juga patut diapresiasi. Ia menginginkan orang-orang Belanda asli di filmnya.

Namun bukan berarti film ini tak layak untuk ditonton. Dikutip dari laman resmi PSI, Grace Natalie, politisi perempuan yang juga telah menonton Bumi Manusia mengakui bahwa Bumi Manusia sangat layak ditonton agar lebih membuka mata terhadap diskriminasi di Indonesia pada masa kolonial. “Jujur filmnya bagus banget. Yang terpenting message-nya adalah tadi ya, merasakan gak enak banget kalau kita diperlakukan berbeda. Itu kan setting masih berhadapan dengan Belanda. Tapi ternyata 74 tahun kita merayakan kemerdekaan, problem diskriminasi, ketidakadilan, dan perlakuan yang tidak sama pada setiap orang masih kita lihat sampai hari ini,” ujarnya.

Leave a comment