Hits: 13

Frans Dicky Naibaho

Pijar, Medan. Setiap orang tentu memiliki impian dan cita-cita yang harus dikejar dengan jatuh bangun. Tapi saat berbicara tentang cita-cita yang dimiliki oleh penyandang sindrom down (down syndrome), ini menjadi hal yang menarik. Demikianlah Tyler Nilson dan Michael Schwartz mengemas The Peanut Butter Falcon, sebuah film dengan drama komedi.

Diawali dengan usaha Zak, diperankan oleh Zack Gottsagen yang kemudian melarikan diri, penonton diajak untuk langsung mengenal tokoh utama dari The Peanut Butter Falcon. Pria berumur 22 tahun ini sudah tinggal sekitar dua tahun di panti jompo dalam asuhan Eleanor (Dakota Jhonson).

Meski mengidap sindrom down, Zak menyadari bahwa panti jompo bukan tempat di mana ia seharusnya tinggal. Ia bertujuan untuk keluar dari panti tersebut dan pergi ke sekolah gulat milik Salt Water Neck.

Pelarian Zak berujung pada pertemuannya dengan Tyler yang diperankan oleh Shia LaBeouf, seorang nelayan yang tak memiliki sertifikat berlayar. Saat itu Tyler sedang berusaha kabur atas ulah yang diperbuatnya terhadap nelayan lain. Di sinilah perjalanan Zak dan Tyler dimulai. Mereka berkelana melewati pantai, sungai, serta perkebunan untuk bisa sampai ke sekolah gulat impian Zak. Sementara Eleanor sibuk mencari keberadaan Zak.

Sejak awal produksi, pengeditan, alur, dan humor dalam The Peanut Butter Falcon disajikan dengan ketajaman yang tak terduga. Sinematografi yang ditampilkan Nigel Bluck selaku sinematografer dalam film ini juga mampu memanjakan mata penonton. Ditambah lagi dengan alunan musik country sebagai lagu pengiring petualangan Zak dan Tyler.

The Peanut Butter Falcon bukan hanya sekadar memiliki cerita yang menyentuh, pesan dalam film ini juga semakin meresap ke benak penikmatnya.

Kisah dalam film berdurasi 1 jam 37 menit ini cukup sederhana. Kesederhanaan ini pula yang menggiring para penontonnya untuk menyadari bahwa setiap manusia memiliki hak yang sama. Tanpa terkecuali bagi penyandang sindrom down.

Ucapan Zak pada menit ke 40 di atas secara gamblang memperlihatkan bagaimana seorang sindrom down dipandang masyarakat awam. Zak kerapkali dianggap sebagai seorang idiot dalam film ini. Namun tidak dengan Tyler.

Sindrom down memang tidak bisa diobati. Tetapi dengan dukungan yang baik dari keluarga, penyandang sindrom down dapat hidup dengan mandiri. Demikianlah digambarkan sosok Tyler dan Eleanor dalam The Peanut Butter Falcon. Dua orang sahabat sekaligus keluarga baru yang mendukung mimpi-mimpi yang dimiliki Zak. Mereka selalu memanusiakan Zak dalam setiap keadaan.

Penggarapan film ini berawal dari pertemuan Schwartz dengan Zack Gottsagen lima tahun lalu, Gottsagen bercerita akan cita-citanya menjadi seorang aktor. Schwartz yang pada saat itu hanya menyutradarai iklan dan film pendek malah termotivasi akan ungkapan Gottsagen. Dilansir dari Jh News and Guide, Schwartz mulai mengajak Nilson untuk mempelajari pembuatan film panjang dan fokus pada proyek tersebut.

Usaha untuk mewujudkan The Peanut Butter Falcon bukan hal yang mudah bagi Schwartz dan Nilson. Membuat sebuah film yang mengangkat tema sindrom down menjadi tantangan yang sangat besar, ditambah lagi Zack Gottsagen yang memerankan Zak merupakan penyandang disabilitas. Ini membuat pemilihan pemeran dalam film ini pun tidak main-main.

Film persembahan Armory Films ini menuai banyak penghargaan. Seperti pada Crested Butte Film Festival 2019 yang memberikan penghargaan kepada Armory Films dalam kategori Audience Choice. Selain itu, Zack Gottsagen juga mendapatkan penghargaan pada Hollywood Critics Association Award 2020 sebagai Best Newcommer. Tak ketinggalan juga Tyler Nilson dan Michael Schwartz yang mendapat sorotan sebagai Best New Filmmaker dalam Hawaii Film Critics Sociaty Award 2020.

The Peanut Butter Falcon sudah rilis di Amerika Serikat sejak 3 Agustus 2019 dan tayang di layar kaca Indonesia pada 3 Oktober 2019 lalu. Film ini menorehkan angka 7,6 dari 10 dalam Intenet Movie Database (IMDb). Bagi kamu yang membutuhkan ketenangan dan kehangatan batin usai menonton film, The Peanut Butter Falcon jelas tak boleh dilewatkan.

 

(Redaktur Tulisan: Hidayat Sikumbang)

Leave a comment