Hits: 18

Hidayat Sikumbang

Pijar, Pekanbaru. Terdapatlah sebuah rumah di tepi Sungai Siak yang berada di Kecamatan Senapelan. Lebih tepatnya berposisikan di bawah Jembatan Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzamsyah yang berwarna kuning, persis sebagaimana warna andalan dari etnis Melayu pada umumnya. Rumah ini dahulunya menjadi saksi betapa perkasanya Kota Pekanbaru dalam sektor perdagangan. Rumah ini bernama Rumah Singgah Sultan Siak.

Rumah ini didirkan oleh H. Nurdin Putih, mertua dari Tuan Qadhi H. Zakaria, sang kerabat dekat Sultan. Apabila dilihat dari luar, rumah ini terasa begitu hening. Membisu, tak ingin berbagi sedikitpun cerita persis sebagaimana pemerintah menutup diri terhadap peninggalan budaya kota ini. Padahal, rumah ini menjadi saksi bahwa kota Pekanbaru adalah salah satu kota penting dalam pembangunan bangsa ini, hanya dengan mengandalkan sebuah Sungai Siak saja mampu membuat iri Batavia, ibu kota Hindia Belanda pada masa itu.

Penenun di Rumah Tenun Senapelan masih menggunakam mesin tenun manual.  (Fotografer: Hidayat Sikumbang)
Penenun di Rumah Tenun Senapelan masih menggunakam mesin tenun manual. (Fotografer: Hidayat Sikumbang)

Peranan Sungai Siak dalam pengembangan kota yaitu sebagai sarana transportasi dalam mendistribusikan hasil bumi dari pedalaman dan dataran tinggi Minangkabau ke wilayah pesisir Selat Malaka. Dahulunya, sungai yang dikenal sebagai sungai terdalam di Indonesia ini tepiannya menjadi sebuah pekan.

Pekan yang mendistribusikan komoditas-komoditas yang berasal dari negeri jiran atau sebaliknya. Komoditas-komoditas yang berasal dari negeri ini akan dibawa ke negeri jiran dan dijual. Hingga pada akhirnya, Sultan Siak yang ke-4 memindahkan kekuasaannya dari Mempura dan menjadikan daerah Senapelan sebagai pusat pemerintahan Siak. Pemindahan kekuasaan ini juga sebagai bentuk pencegahan agar Belanda tidak ikut campur tangan mengenai kekuasaan.

“Sultan setiap singgah ke Pekanbaru selalu singgah ke rumah ini untuk sebentar, kemudian akan berjalan menuju Mesjid Raya, setelah itu dia akan ke Rumah Tuan Kadi, lalu kembali ke Siak,” ujar Bayu Amde Winata salah satu penggagas Pekanbaru Heritage Walk.

Kerajaan Siak Sri Inderapura pada masa itu melihat bagaimana peranan dari Sungai Siak yang begitu strategis, sehingga pemindahan kekuasaan pun terjadi. Belanda sudah di ambang batas, dan harus ada kebijakan baru.

Letak Sungai Siak yang membelah Kota Pekanbaru dan wilayah Senapelan juga membuat perkampungannya memegang posisi silang baik dengan pedalaman Tapung, Minangkabau dan Kampar membuat pemindahan kekuasaan pada tahun 1775 pun terjadi untuk membuat Belanda mati kutu.

Diselamatkan Pekanbaru Heritage Walk.

Bukanlah hal baru mengingat banyaknya bangunan-bangunan yang berperan sebagai saksi bisu dalam sejarah perkembangan bangsa ini dibiarkan terlantar, tak terurus, hingga kemudian ‘mati’ begitu saja. Minimnya wawasan dan pengetahuan pemerintah lokal terhadap bangunan-bangunan tua serta sulitnya mengatur peraturan tentang hak milik adalah alasan utama.

Tersebutlah Pekanbaru Heritage Walk, sebuah komunitas yang terdiri atas lima orang Bayu Amde Winata, Mike Agnesia, Riski Ramadani, Wak Romi, dan Butet. PHW, begitu sapaan komunitas ini, bertujuan untuk menyelamatkan dan mengubah konsep suasana daerah Senapelan. Daerah yang sempat menjadi sebuah teror lantaran pemerintah membiarkannya menjadi daerah yang mencekam, kini menjadi destinasi wisata yang wajib dikunjungi saat berkunjung ke Pekanbaru.

PHW yang baru digagas pada Maret 2017 lalu ini pun berusaha memberikan apresiasi terhadap Senapelan, tepian Sungai Siak ini. Ada beberapa objek yang saat ini sudah layak untuk dijadikan spot foto, selain menambah wawasan sejarah.

“Sebenarnya kita sudah telat. Ada beberapa titik yang sudah hancur, selain dikarenakan alam dan lingkungan, tapi juga karena ketidakpedulian pemerintah terkait. Tahun 90-an, Balai Kerapatan Tinggi tempat sultan bermusyawarah itu diganti menjadi ruko dan berubah fungsi,” tutur Bayu. Ia juga menjelaskan, bahwa sudah banyak bangunan yang hilang dikarenakan minimnya wawasan pemerintah lokal terhadap warisan budaya ini. “Jadi, ada sekitar 42 kalau saya tidak salah, dan sekarang yang tersisa hanya tinggal 11,” jelasnya.

Wilayah Pekanbaru sendiri pada dasarnya memiliki banyak sekali obyek wisata sejarah yang menarik untuk dikunjungi. Wilayah yang berdekatan langsung dengan Fort de Kock atau dewasa ini kita kenal dengan nama Bukittinggi yang sempat menjadi Ibu Kota Pemerintahan pada zaman Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), serta aliran Sungai Siak yang membelah Pulau Sumatra dan alirannya langsung menuju Selat Malaka.

“Tahun 1999, saat krisis moneter terjadi harga-harga barang-barang begitu anjlok. Masyarakat Sumatra biasa menikmati barang-barang yang berasal dari luar negeri ya melalui Sungai Siak ini,” tutur Romi yang berasal dari Pekanbaru Heritage Walk.

Sayang, matinya Sungai Siak yang dahulunya sebagai jalur utama perdagangan dari negeri jiran dan penimbunan demi penimbunan terus terjadi yang menyebabkan pendangkalan tentu menjadi pembeda.

Senapelan bukanlah seperti Tanjung Priok atau pelabuhan-pelabuhan lain di Jawa yang langsung berbatasan dengan selat. Senapelan hanyalah tepian sungai biasa yang memiliki cerita

Leave a comment