Hits: 12

Fatin Faiza Siregar

“Tuhan menciptakan tangan seperti tangan adanya, kaki seperti kaki adanya, untuk memudahkan manusia bekerja.” – halaman 37.

Pijar, Medan. Nama Andrea Hirata tak asing lagi bagi para pecandu buku. Andrea Hirata yang lahir pada 24 Oktober 1967 ini memiliki andil dalam revolusi sastra Indonesia. Setiap karyanya selalu dapat menarik pembaca untuk lebih mengenal diri dan mimpi masing-masing. Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi adalah saksi keberhasilan ia sebagai penulis dan warga negara yang cinta akan kota kelahirannya, Bangka Belitung. Sirkus Pohon pun menjadi saksi tambahan atas itu.

Sobri selalu menjadi tempat kemarahan adik perempuannya. Selain karena ia tidak punya pekerjaan, tapi ia juga menambah kemalangan nasib keluarga mereka. Sobri merupakan anak keempat dari lima bersaudara dan dialah satu-satunya yang tidak tamat sekolah menengah pertama. Ketiga abang Sobri sudah bekerja, dua di PN Timah dan satu menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Hanya Sobri yang masih tinggal bersama ayahnya serta Azizah, adik Sobri beserta suaminya.

Bukan Sobri tidak ingin bekerja. Riwayat pendidikan membatasi gerak pekerjaannya. Ia selalu tertahan dengan kalimat “minimal tamat SMA atau sederajat.” Namun begitu, nasib hidup Sobri tidak pernah dikeluhkan oleh ayahnya. Bagi sang ayah, hanya belum tepat waktunya Sobri untuk sukses. Bila diibaratkan pertandingan sepak bola, Sobri sebagai pemain cadangan andalan yang akan dikeluarkan ketika pertandingan final tiba. Sayangnya, tunggu punya tunggu, pertandingan final itu tidak datang-datang.

Kemalangan Sobri tidak sampai disitu. Sobri selalu terlibat dengan kegiatan kriminal. Hebatnya ia tidak pernah tertangkap. Sampai akhirnya, bukan nasib baik yang datang kepadanya. Hari itu dimana Sobri tertangkap basah membawa corong TOA yang ternyata hasil curian dari Dinas Pendidikan Kabupaten. Sialnya lagi, teman Sobri-Taripol-yang menyuruhnya untuk membawa corong TOA tersebut juga tertangkap. Sobri yang semula beranggapan bahwa Taripol adalah sahabatnya yang pintar dan baik semakin menyadari bahwa ia ternyata sebodoh itu.

Harusnya ia tidak pernah dekat-dekat dengan Taripol. Mungkin saja dengan begitu ia bisa lulus sekolah dan mendapatkan pekerjaan. Sobri yakin Azizah kali ini benar, Taripol pembawa kesialan untuk keluarga mereka.

Sama seperti karya sebelumnya, Sirkus Pohon “lahir” berisi mimpi. Bercerita tentang usaha, kegagalan, menerima kenyataan, hingga tentang berjuang ketika semua orang tidak percaya. Tulisan magis Andrea Hirata mampu membawa pembaca masuk kedalam cerita. Bagi Andrea, menulis tidak perlu menggunakan bahasa yang memusingkan. Bahasa dan alur sederhana dapat membuat cerita yang mengagumkan.

Laki-laki kelahiran Bangka Belitung ini juga bercerita tentang politik dengan ringan namun sukses menyindir dunia perpolitikan di Indonesia. Selain itu, buku ini juga tidak lepas dari sisi romantis yang pas. Andrea Hirata sukses menuliskan berlembar-lembar kisah cinta dua kutilang namun pembaca tidak akan merasa bosan. Kisah cinta Sobri yang tidak memandang rupa, tahta, dan harta. Hingga kisah Tara dan Tegar yang memiliki definisi setia tidak bebilang masa.

Sirkus pohon adalah jawaban atas semua pertanyaan penggemar dengan vakumnya ia selama dua tahun. Pembaca akan merasa takjub dengan cerita pada buku ini. Penantian panjang penikmat karya Andrea seolah terbayar dengan tuntas. Andrea Hirata menuliskan cerita yang tidak dapat ditebak dan mengagumkan. Maka tidak heran, ia menyarankan untuk membaca sirkus pohon lebih dari sekali. Pertama, untuk mengerti alur ceritanya. Kedua, untuk mengerti maksud dari ceritanya. Ketiga dan seterusnya untuk menikmati Sirkus Pohon itu sendiri.

“Semoga dapat membaca sambil tertawa,sambil menangis, tertawa sambil menangis, dan pada akhir buku ini pengen merealisir apa yang diinginkan,” ucap Andrea Hirata pada salah satu acara di televisi.

Selamat membaca, sobat Pijar!

Redaktur Tulisan: Hidayat Sikumbang

Leave a comment