Hits: 31
Nadya Divariz Bhayitta Syam
Pijar, Medan. Jakarta adalah kota yang tak pernah sunyi, selalu ramai, kicauannya tiada henti sejak pagi hingga malam hari. Namun kota ini mendadak hening pada 14 Januari 2016 pukul 10.40 WIB. Terdiam, membisu, dan tanpa suara.
Sokongan dan dorongan moral lewat media sosial dengan tagar #KamiTidakTakut menjadi tanda bahwa Jakarta tidak sendirian. Keberingasan teroris yang meledakkan perempatan Sarinah, tepatnya di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat ini pun diangkat ke layar lebar dengan judul 22 Menit.
Film ini mengisahkan tentang apa yang terjadi di Jakarta melalui lima sudut pandang yang berbeda. Penggambaran cerita dimulai dengan cara yang sama. Diawali dengan rutinitas yang dilakukan oleh masing-masing karakter, kemudian jam digital akan muncul dan bergerak mundur menandakan beberapa menit waktu yang berjalan sebelum ledakan tersebut terjadi.
Selain menampilkan aksi laga yang mengesankan, 22 Menit juga menghadirkan subplot kakak beradik Hasan, yang diperankan oleh Fanny Fadillah dan Ence Bagus yang berperan sebagai Anas. Sebuah angin segar di antara beberapa adegan berdarah saat bom meledak.
Selain sudut pandang Anas, film ini juga menampilkan aksi heroik dari seorang Ario Bayu yang berperan sebagai anggota pasukan anti terorisme. Ade Firman Hakim memainkan polisi lalu lintas bernama Firman, Ardina Rasti sebagai pelanggar lalu lintas bernama Dessy serta yang terakhir, Hana Malasan menjadi pengunjung kedai kopi bernama Mitha.
Kejeniusan Eugene Panji dan Myrna Paramita yang menggarap film ini seperti Vantage Point, membuat film yang diangkat dari kisah nyata ini tak membosankan bahkan bisa dibilang menjadi heroik. Masing-masing karakter dimunculkan satu per satu, mengaduk-aduk emosi penonton. Selain itu, film ini juga memiliki kualitas gambar CGI (Computer Graphic Image) yang sangat baik untuk film Indonesia hingga saat ini. Adegan ledakan terasa seakan nyata.
Selama yang kita tahu, ranah film nusantara hanya mengangkat film-film dari kisah nyata yang berkutat di seputar drama dan biopik belaka. Panji juga mengungkapkan bahwa meskipun berasal dari kisah nyata, 22 Menit tidaklah semurni kejadian yang berlangsung di lapangan. Ada beberapa yang didramatisir oleh pihaknya. Bahkan Panji mengakui hanya 70 persen saja yang sesuai dengan kejadian di Sarinah.
“Film ini bukan dokumentasi tentang kejadian bom Thamrin karena ada banyak bagian yang kami dramatisir untuk keperluan film,” tuturnya.
(Redaktur Tulisan: Intan Sari)