Hits: 44

Rizka Gusti Anggraini Sitanggang

Saat popularitas mengalahkan kualitas, dimana letak peran media sosial ?

Gawai (gadget) dan media sosial ibarat kembar siam yang terlahir dari dunia maya. Media sosial, nama yang sudah tak asing lagi didengar oleh orang-orang yang hidup di abad 21 ini. Menjamurnya media-media sosial sebagai alat komunikasi instan, juga teknologi yang memadai mampu mengglobalisasikan masyarakat di setiap belahan dunia.

Media sosial digunakan untuk bertukar informasi, memberikan komentar, berbagi gambar maupun video. Selain itu, media sosial menjadi jembatan untuk kepentingan pekerjaan, bisnis, pendidikan, dan bahkan sebagai media untuk meraih popularitas. Tidak sedikit orang yang saat ini memiliki begitu banyak akun sosial hanya untuk sekadar mencari popularitas agar terus eksis di dunia maya.

Ragam perangkat komunikasi yang masuk dalam kategori media sosial yang banyak digandrungi saat ini adalah media sosial berbasis daring, seperti twitter, facebook, path, dan instagram. Sejatinya, media sosial tersebut diciptakan untuk memudahkan individu dalam berkomunikasi, berbagi hal-hal yang positif, dan tetap menjalin hubungan meski jarak antara satu sama lain sangat jauh.

Seorang pengamat media sosial sekaligus aktivis seni dan budaya di kota Medan, Rizky Syahfitri Nasution, M.Psi, mengungkapkan pandangannya terkait kehadiran media sosial ini.

“Keberadaan media sosial untuk menghubungkan orang ke orang lain atau biasa disebut dengan istilah connecting people. Jadi, tidak hanya bisa menghubungkan satu orang ke banyak orang atau sebaliknya, tetapi juga antar kota hingga berbeda negara sekalipun. Bahkan kita bisa ‘berjelajah’ dunia melalui media sosial”, ungkap Rizky saat diwawancarai oleh penulis (03/10).

Indonesia termasuk negara pengguna media sosial terbesar di dunia. Menurut data dari Ditjen Informasi dan Komunikasi Publik (IKP), jenis media sosial yang paling banyak digunakan oleh penduduk Indonesia adalah facebook dan twitter. Indonesia berada di peringkat ke-4 sebagai pengguna facebook terbesar setelah USA, Brazil, dan India. Sedangkan untuk pengguna twitter, sebagaimana yang dilaporkan oleh PT. Bakrie Telecom, pengguna twitter di Indonesia mencapai 19,5 juta pengguna dari total sekitar 500 juta pengguna twitter di dunia. Belum lagi ditambah dengan berbagai jenis media sosial lainnya. Jika dilihat dari banyaknya penggunaan media sosial di Indonesia, maka bisa dikatakan Indonesia adalah negara yang penduduknya suka ‘bersosialisasi’.

Di tengah perkembangan dan kegandrungan media ‘pintas’ untuk bersapa, media sosial justru ikut dikhawatirkan terkait fungsinya sendiri, apakah masih sesuai dengan tujuan penciptaannya yaitu menyebarkan nilai-nilai baik dan bermanfaat. Kadang membuat beberapa dari pengguna ‘lupa waktu’ dan sangat mengganggu pekerjaan jika tidak dikontrol dengan baik. Masyarakat lebih tertarik mengobral informasi, memperbaharui status, atau hanya melihat beranda di berbagai media sosial yang mereka miliki.

Contohnya adalah media sosial facebook yang sangat banyak penggunanya di seluruh dunia. Akhir-akhir ini, di facebook telah beredar berita-berita hoax dan provokatif. Padahal, berita yang belum diketahui kebenarannya tersebut sangat berbahaya jika dikonsumsi oleh publik karena tidak semua masyarakat bisa menerima berita hoax atau provokatif tersebut dengan berpikir jernih. Perang opini pun tidak bisa dihindari antar buzzer yang bisa membuat suasana makin panas. Sehingga, media sosial yang awalnya berperan sebagai media untuk merekatkan silaturahmi antara sesama penggunanya, berakhir menjadi media anti sosial, anti kebersamaan dan sebagai alat merendahkan orang lain.

Kemudian, di instagram sering ditemui caption dan foto yang tidak selaras. Ada kemungkinan si pengguna menampilkan foto diri (selfie) dengan caption kata-kata bijak karena ingin menggambarkan dirinya yang baik. Padahal, belum tentu di kehidupan nyatanya sesuai dengan apa yang ditampilkan di dunia maya.

Akan sangat lebih bermanfaat jika sebagai seorang pengguna media sosial yang baik, bisa lebih cerdas dalam mengelola akunnya. Dengan catatan, tidak menggurui atau malah memberikan komentar-komentar kebencian –sekarang dikenal dengan istilah hate speech–. Sejatinya, kita tidak akan pernah benar-benar mengenal seseorang sebelum bertemu langsung dengan orang bersangkutan.

Ada beberapa poin yang merujuk kepada alasan mengapa media sosial justru membuat orang sering salah kaprah. Pertama, penggunaan media sosial untuk hal-hal yang tidak penting akan cenderung membuat seseorang bersifat individual dan tertutup dengan kehidupan di lingkungannya. Kedua, media sosial dianggap sebagai alat yang mampu menjanjikan popularitas dan penghargaan diri bagi penggunanya. Ketiga, pengguna media sosial tahan berjam-jam melihat gawai dan mengecek akun mereka dibandingkan harus berlama-lama berdiskusi dengan teman, orang lain bahkan keluarganya sendiri.

Alasan keempat, karena pengguna media sosial menganggap bahwa orang-orang yang ada di dunia maya lebih berpengaruh dalam kehidupan mereka. Kelima, rasa tergila-gila dengan media sosial membuat komunikasi dengan orang di sekitar seperti keluarga dan sahabat malah menjadi renggang. Keenam, pengguna media sosial memiliki ‘nilai sosial’ yang tinggi di dunia maya, tapi anti sosial untuk dunia nyata mereka. Ketujuh, sikap sosial yang ditunjukkan oleh pengguna media sosial adalah sikap semu sosial karena yang mereka pedulikan adalah hal-hal yang sebenarnya tidak terlalu penting untuk dipedulikan.

“Secara tidak sadar, orang yang enggak ‘kepo’ malah jadi penasaran kan. Nah, ujung-ujungnya kembali lagi ke orangnya- si pengguna. Kalau terlalu berlebihan, itu bisa menyebabkan seseorang menganggap dirinya enggak butuh  teman karena dia merasa sudah punya cukup teman di media sosial. Contohnya, orang yang cenderung pemalu akan sulit memulai pembicaraan karena kurang percaya diri. Tapi keberadaan media sosial membuat keinginan dia menjadi ‘terkenal’ atau populer jadi tersalurkan. Dia tinggal unggah sana-sini, banyak yang suka, akhirnya seperti yang lagi ngetren sekarang ini jadi selebgram. Itulah mulanya ada istilah hyper-reality, dimana orang merasa dirinya begitu dikenal orang banyak di dunia maya, sedangkan di dunia nyata orang menganggap dia biasa saja”, papar Rizky menambahkan penjelasannya.

Namun, tentu tidak semata-mata pula media sosial menjadi ‘jurang’ bagi para penggunanya. Pandangan yang mengatakan bahwa media sosial akan menjauhkan manusia dari gaya hidup sosial tidak selamanya benar. Misalnya melalui facebook, adanya fitur ‘mutual friend’ memudahkan anggotanya untuk mencari teman yang mungkin saling kenal. Aksi kepedulian seperti penggalangan dana atau dukungan terhadap bantuan bencana, telah sukses membuat lahan media sosial sebagai wahana yang berpotensi dan tidak diremehkan. Fitur ‘kaleidoskop’, pengingat 1 tahun telah berteman dengan orang-orang yang kita tandai di beranda facebook, dan pengingat hari ulang tahun juga menjadi warna untuk mengingatkan momen-momen tertentu.

Di dunia hiburan, media sosial juga telah terbukti mampu meningkatkan popularitas seseorang. Misalnya di twitter, popularitas bisa disaksikan melalui ‘trending topic’ dan jumlah ‘follower’. Seseorang yang bisa mengangkat suatu topik menjadi topik terkini sudah pasti sedang marak dibicarakan, setidaknya oleh pengguna twitter. Sedangkan, jumlah follower mencerminkan bahwa orang tersebut memang layak untuk diikuti sebagai acuan untuk memperoleh informasi sesuai dengan preferensi setiap orang. Mungkin inilah bagian manfaat positif dari penggunaan media sosial yang bijak.

Dalam menanggapi setiap permasalahan dari sebuah fenomena tentu tidak etis bila hanya mengkritisi. Ada empat cara yang bisa membantu para pengguna media sosial yang ‘masih’ cenderung candu. Pertama, niat menggunakan media sosial tentulah harus diluruskan dahulu, seputar untuk apa digunakan dan bagaimana si pengguna menjadikannya sebagai hal bermanfaat. Kedua, gunakan media sosial seperlunya dan mulailah banyak berkomunikasi secara langsung ke orang-orang sekitar karena berbicara langsung lebih mendapatkan banyak makna seperti intonasi dan bahasa tubuh. Ketiga, lakukan ‘keluar’ dari akun media sosial karena hal itu membuat pengguna harus ingat kata sandi dan nama pengguna akun, sehingga akan menimbulkan rasa malas untuk mengoperasikan akun media sosial tersebut. Keempat, membeli paket data internet dengan jumlah kuota sedikit, sehingga dapat menimimalkan penggunaan media sosial.

Terlepas dari baik dan buruknya media sosial, kita tidak bisa melimpahkan kesalahan mutlak ke media sosial, karena media sosial tidak berarti apa-apa tanpa ada penggunanya. Pengguna tentu harus jeli, kapan dan apa tujuan menggunakan aplikasi yang berbeda-beda tersebut. Pemilihan media sosial yang tepat tentu saja akan saling melengkapi kebutuhan informasi yang kita butuhkan, tidak semakin anti sosial, tetapi justru bisa lebih sosial dan peduli dengan keadaan.

Kita terlahir sebagai makhluk sosial, kita tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain dan kita juga tidak bisa merasakan makna kehidupan yang telah dianugerahkan Sang Pencipta tanpa upaya membantu sesama. Maka, mulailah menjadi pengguna media sosial yang bijak. Jika memang suatu kondisi kita sedang berada dalam lingkungan sosial atau berkumpul bersama keluarga-saudara-teman-rekan, alangkah baiknya untuk mematikan sejenak gawai kita dan bercengkramalah dengan orang-orang di sekitar. Untuk menjadi populer tentu banyak yang menginginkan, tapi menjadi ‘sesuatu’ yang berguna tentu tidak semua orang mampu. Sungguh, tidak ada sesuatu yang lebih mengagumkan kecuali kebermanfaatan kita bagi orang lain.

(Redaktur Tulisan: Viona Matullessya)

 

Leave a comment