Hits: 99

Grace Kolin

Tahun 1996

Kamu senang berbicara tentang apapun. Apapun itu. Kecuali Hujan.

Hujan membuatmu basah. Hujan membuatmu berantakan. Hujan membuatmu trauma. Begitu kau utarakan alasan itu, aku langsung mengerti. Kau si Gadis Pembenci Hujan.

“Memangnya kau tidak pengen main hujan di luar? Paling tidak, sekali dalam seumur hidupmu?,” ujarku sambil menyuapi wedang tahu hangat ke mulut Laila.

Laila menggeleng sambil mengulum hidangan favoritnya. Mukanya tampak begitu kusut semenjak ia dibebastugaskan dari pekerjaannya sebagai jurnalis suratkabar. Ia cukup frustasi dengan vonis dokter. Katanya, ia sakit tifus dan harus banyak istirahat di rumah.

Laila yang dulunya terlihat lincah mengejar berita dan narasumber, kini terbaring lemah di atas kasur. Aku turut merasa kehilangan jiwa Laila yang begitu semangat, menggebu-gebu. Terkadang, ia yang malah sering membujukku untuk menemaninya liputan. Padahal aku hanyalah seorang fotografer. Aku bahkan nyaris sudah mau resign karena minus mataku yang terus bertambah. Sumarno, redaktur fotoku sendiri sering mendampratku karena hasil fotoku yang jelek, blur semua.

Aku sudah pasrah. Paling tidak, aku harus mencari pekerjaan baru. Dan sialnya, entah dari mana, Laila berhasil merampas map resign-ku dan menceramahiku habis-habisan. Panjang kali lebar.

Ada satu pernyataan darinya yang cukup menyentak akal sehatku.

“Satu hal yang perlu kau tahu. Aku iri padamu. Kamu bisa membekukan waktu sementara aku tidak.” Bodoh. Makiku dalam hati. Tahu apa kau tentang aku?

“Kau lihat. Lihat tanganku!” Laila mengangkat kedua tangannya tepat di depan mataku. Tangannya gemetar. Ah. Ternyata Laila punya penyakit tremor. Aku jadi urung membantahnya.

Laila tahu, diam-diam aku sering dipanggil ke ruang Sumarno. Dari situ, dia mencari tahu, ternyata mataku bermasalah. Semenjak hari itu, Laila rajin membawaku berobat dengan separuh gaji yang disisihkannya. Awalnya aku menolak. Tapi karena melihatnya begitu semangat mengharapkan kesembuhan mataku, aku jadi tak berdaya menolaknya. Dia bahkan mengancamku.

“Kalau kau tidak sembuh juga. Aku yang akan resign,” katanya dengan sungguh-sungguh. Aku tahu betul, Laila adalah jurnalis yang cukup disegani di kantor. Kepergiannya hanya akan merugikan suratkabar ini. Sial-sial.

Harap bersabar. Ini ujian!!! Teriakku di dalam WC yang kebetulan sedang sepi.

***

Tahun 1994

Kala itu, Laila berulang tahun pada tanggal 11 November. Ulang tahun yang cukup menyedihkan. Ia merayakan usianya yang ke-25. Tanpa orang tua, tanpa teman dan tanpa seorang kekasih. Lebih tepatnya, sebatang kara.

Laila aslinya bukan orang sini. Ia perantauan. Ia juga tak banyak bersosialisasi di kantor dan lebih sering ke lapangan. Ia dengan bangga memproklamirkan padaku bahwa ia seorang introvert ‘garis keras’.

Rumah mungilnya di pinggir kota bahkan dipenuhi dengan buku. Aku sering kesulitan mendorong pintu karena buku Laila yang terlanjur mejegal daun pintu. Pantas saja ia merasa tak perlu memiliki teman.

Ketika aku menghadiahkan buku Hujan di Bulan Juni-nya Sapardi Joko Damono. Ia sempat mengernyitkan alis. Aku jadi serba salah. Saat itu, aku belum tahu dia benci hujan.

“Coba kau ceritakan isi buku ini padaku.” Pintanya dengan wajah memelas.

“Ehm. Sebenarnya, Aku tak pandai bercerita.” Jawabku canggung sambil menggaruk leher.

“Spesial untuk hari ulang tahunku, kau harus bercerita.”

Oi!!! Bunuh saja aku. Aku sama sekali tak sanggup mematuhi taklimat sinting itu.

Tapi, untuk Laila… Biarlah. Barangkali, ini bisa menjadi pelipur lara untuk dunianya yang sepi.

***

Tahun 1996

Sudah satu jam berlalu, aku masih menyuapi Laila wedang tahu. Cahaya matanya redup, dan wajahnya masih terlihat murung. Dia seperti sedang memikirkan sesuatu, tetapi apa? Gumamku sambil menerawang isi otaknya.

Aku mencoba mengiburnya dengan menunjukkan album hasil jepretan fotoku yang tak seberapa ini. Sesekali ia tersenyum lesu, kadang juga disertai komentar singkat. “Bagus ya…” “Keren.” “Kapan ini diambil?”

Ketika lembar foto jendela yang dipenuhi bulir hujan terbuka, Laila mendorong albumku dengan kasar hingga jatuh berdebam di atas lantai. Dia mulai menangis sambil berteriak mengusirku untuk pergi dari kamarnya. Aku tak mengerti. Kenapa Laila seperti ini? Lantas aku segera mengutip album fotoku dan keluar dari kamar.

Sebelum menutup pintu kamar, aku mendengar Laila berbisik lirih, “Kumohon Lintang, jangan pergi… jangan pergi…” Sambil menangis tersedu-sedu.

Apa yang salah dengan Hujan? Siapa Lintang?!

***

Tahun 2012

Aku baru saja pulang dari menemani salah seorang jurnalis meliput kejadian kebakaran hebat di salah satu pemukiman padat di Jakarta. Hasil jepretan fotoku kali ini lumayan bagus. Aku langsung singgah di satu cafe sambil mengirim fotoku ke Sumarno via email. Rencananya setelah itu, aku ditugaskan untuk memoto sosok tokoh politik penting dalam konferensi pers.

Sambil terburu-buru, aku memesan kopi hangat untuk diminum selama nyetir di perjalanan.

Ketika aku mau keluar dari cafe, tanpa sengaja aku melabrak seorang wanita yang sedang berjalan dari arah yang berlawanan. Ah! Hampir saja kopiku tumpah. Sosok wanita itu berkelebat begitu cepatnya, sampai-sampai aku tak sempat menangkap bayangannya.

Seperti hantu saja, pikirku.

Berselang berapa detik setelah kejadian itu, hujan pun turun. Deras sekali. Aku pun segera dan menyalakan mesin dan menginjak pedal. Namun entah mengapa, pikiranku tak bisa berhenti memikirkan sosok wanita misterius itu? Siapa dia? Laila?!

Mustahil.

***

Tahun 1996

Aku merasa bersalah. Belakangan ini, aku hanya mengacaukan kehidupan Laila saja. Laila pasti sangat-sangat benci padaku. Karena itu lah, aku tak berani lagi menjenguk Laila.

Aku tahu, Laila sakit. Dia butuh semangat. Lebih dari itu dia juga butuh dorongan motivasi.

Apakah aku ‘salah’ karena telah meninggalkannya?

***

Tahun 2014

Cukup lama aku termenung di depan arsip surat kabar. Sampai Arina, fotografer magang yang masih muda itu menepuk bahuku.

“Mikirin apa Mas Gilang?”

“Ah, Tidak ada. Cuman kurang tidur saja.”

Arina memerhatikan judul halaman depan yang cukup tebal dan mencolok itu.

SEORANG WARTAWAN TEWAS TERTIMPA TRUK

Aku langsung melipat suratkabar itu lalu meletakkannya kembali di dalam loker arsip Januari, 2012. Arina tahu, aku sedang tidak ingin diganggu. Maka ia pun segera mohon pamit dariku sambil menenteng buntalan tas kamera kesayangannya.

Mungkin, aku perlu waktu untuk menyendiri.

Sambil membongkar kembali arsip yang kusimpan, aku menyalakan rokok. Kubuka kembali halaman yang penuh dengan ‘goresan luka’ itu. Entah mengapa, dadaku terasa ngilu. Walaupun telah berulang kali aku membaca berita itu. Rasanya tetap sama.

Wartawan yang dimaksud itu adalah Laila. Si Gadis Pembenci Hujan.

 

***

Tahun 2012

Di tengah perjalananku menuju konferensi pers, aku ditelpon Sumarno. Dia menyuruhku memutar arah ke Jalan Kemang. Ada kecelakaan katanya. Tanpa membuang-buang waktu, aku pun segera banting setir ke arah jalan yang berlawanan.

Aku sampai ketika jenazah korban telah diangkut pergi. Sial. Aku melewatkan momen yang sangat berharga. Tanpa berpikir panjang, aku pun langsung meminta foto yang sempat diambil wartawan yang terlebih dulu sampai di TKP, dengan imbalan yang pantas tentunya.

Karena aku penasaran, aku bertanya pada salah wartawan itu. Siapa yang tewas? Dan bagaimana kejadiannya?

“Yang tewas itu seorang sarjanawan yang baru diwisuda. Ia tertabrak ketika menyebrangi jalan.”

“Oh.” Aku kirain Laila.

Kemudian, hari telah berangsur gelap. Aku harus segera pergi memotret kedua client-ku di malam pesta pernikahan. Dan lagi-lagi, aku terjebak macet. Ternyata, menurut desas-desus, ada truk besar yang terguling tadi siang. Huh! Benar-benar hari yang sial.

***

Tahun 2014

Tiga tahun pasca kematiannya, masih menyisakan tanda-tanya di kepalaku.

Seperti laiknya teka-teki. Aku penasaran. Apakah Laila meninggalkan pesan terakhir sebelum dia pergi? Tiba-tiba saja aku tergoda untuk mengunjungi rumahnya kembali. Mungkin, aku bisa menemukan jawaban yang disana.

Singkat kata, aku baru tiba di bekas kediamannya pada waktu tengah hari. Rumah Laila masih sama seperti dulu. Warna cat temboknya masih utuh meski kebanyakan sudah hampir mengelupas. Ilalang liar yang tumbuh setinggi lutut orang dewasa semakin menambah kesan tak terawat pada rumah ini.

Kebetulan karena pintunya tidak terkunci, aku menyelonong masuk tanpa izin. Menyusuri semua jejak renik yang pernah ditinggalkan oleh Laila.

Lihat! Buku-bukunya masih berserakan, persis seperti dulu. Sayang, buku-buku itu mulai diselimuti debu. Bercak kekuningan tumbuh di setiap helai kertasnya. Crsssssss! Tiba-tiba hujan turun menghantam atap seng yang ringkih. Entah mengapa, tiba-tiba jantungku berdebar kencang. Apakah Laila ada disini?

Sial. Ketakutanku pada arwah penasaran semakin menjadi. Pasalnya, Laila mati dengan cara yang mengenaskan. Bisa saja, dia muncul di depanku sekarang. Tapi sungguh, aku tidak siap. Tidak siap untuk memaafkan diriku sendiri. Ah. Dasar pecundang!

“Lintang, kaukah itu?”

Suara Laila? Di belakangku?! Aku ingin membalikkan badan. Tapi aku takut. Takut Laila menjelma jadi Kuntilanak, Sundel Bolong, atau dedemit lain yang jauh lebih menakutkan. Jadi kuputuskan untuk diam dan tetap melanjutkan penyusuran.

Tak perlu waktu lama, aku menemukan kamar tidur Laila.

Dan tak perlu waktu lama juga, aku menangis seperti anak-anak.

“Lintang, main hujan yuk!” Sekoyong-koyong, Laila menggiringku keluar menembus tembok.

Kami berlari kencang dibawah hujan. Menantang kecepatan kilat dan tak peduli jika petir turun menyambar kami. Meskipun aku masih agak shock dengan kejadian barusan, tetapi aku cukup senang. Akhirnya, Laila telah kembali.

Melepas lelah, kami pun singgah sebentar di tengah hutan. Laila masih tampak begitu ceria. Kakinya melompat bebas di atas rumput basah sambil tertawa lepas. Seolah, ia bukan Laila yang aku kenal. Sementara aku disini berdiri mematung dan tak tahu mau berkata apa karena saking bingungnya.

“Aku senang. Ternyata kamu selamat. Aku kira, antek OrBa itu berhasil menangkapmu. Dasar!” Laila mendekap erat tubuhku sambil membenamkan wajahnya di dadaku.

“Pelarianmu kala hujan sungguh membuatku merasa kehilangan. Kupikir itu untuk selamanya,” sambungnya lagi tanpa mempedulikan reaksiku. Dalam benakku, sepertinya Laila salah fokus.

Aku bukanlah Lintang.

Namun, apa yang membuat aku begitu pasrah dalam pelukannya adalah karena aku juga sangat merindukannya. Dan mungkin juga, mencintainya.

***

Tahun 2014

Aku meletakkan karangan bunga Hydrangea di atas pusara Laila. Semoga Laila menyukainya. Walaupun secara pribadi, aku tidak pernah menanyakan soal bunga kesukaannya. Kau tahu, aku ini lelaki pemalu. Tak tahu diuntung. Mungkin, aku memang ditakdirkan jadi bujang lapuk. Ya, kau boleh tertawa di alam sana.

Leave a comment