Hits: 54
Sudah lama sekali keberadaan pantun tidak tampak di media maupun televisi. Paling hanya sesekali di munculkan pada acara-acara lawak di layar kaca.
Seiring dengan perkembangan sastra di indonesia. Pantun sendiri seperti diasingkan di antara puisi, cerpen, dan novel. Padahal pantun sendiri memiliki daya tarik dibandingkan dengan puisi dan cerpen. Akan tetapi berbagai media masa sendiri lebih memilih cerpen dan puisi untuk lembaran akhir pekan.
Dalam paradigma para pengarang sendiri lebih cenderung mengikuti perkembangan sastra dunia. Yang dimana lebih meneguhkan kekuatan estetika bahasa puisi. Dan nilai-nilai jual novel atau cerpennya. Mungkin sudah lupa bahwa pantun itu juga merupakan warisan budaya negaranya.
Latah
Itulah kata yang tepat untuk para pangarang dan penjaga gawang surat kabar. Pantun yang juga bagian dari prosa lama, kita ketahui memiliki tingkat kesulitan dalam penulisannya. Tidak hanya puisi. Media seharusnya lebih jeli dalam memandang karakteristik antara media-media sejawatnya. Jika semua memiliki semua memiliki rubrik untuk puisi berestetika dan cerpen cengeng, dimana pantun yang segar di sembunyikan?
Kelatahan ini pun semakin menjadi-jadi. Hampir setiap rubrik sastra yang di isi puisi dan cerpen tidak jelas orientasinya. Kembali lagi masalah selera. Redaksi-redaksi surat kabar sendiri belum mempunyai titik baku perantara antara penulis dan masyarakat. Tentunya di jaman modren sekarang hampir semua pengarang puisi, cerpen, dan novel berburu rupiah dan popularitas. Mungkin ingin mendongkrak namanya sebagai pengarang yang hebat. Jika semua merasa hebat, pengarang puisi dan cerpen hebat, penjaga gawang hebat, Pantunnya dimana?
Kita tahu bahwa pantun dari puisi lama masih diajarkan pada anak SD,SMP dan SMA. Yang mereka pelajari itu salah satunya pantun. Nah, jika mereka sering mendapat contoh puisi, cerpen, dan tulisan yang lainnya di media. Dimanakah mereka mencari contoh pantun yang mereka pelajari? Media seakan memaksa agar eksistensi pantun tidur panjang menunggu jam pembangun berdering.
Hal inilah yang sering terjadi di negri ini. Kelemahan menangkap potensi-potensi budaya. Kelatahan dalam menafsirkan jaman. Bila pantun betawi di klaim negara tetangga, baru semua marah. Padahal tak ada ruangan yang memberikan tempat pantun-pantun indah untuk bergema.
Sekarang ini pantun sering di bawakan oleh jarjit karakter tokoh dari serial kartun upin-ipin yang di produksi oleh negara tetangga. Seakan memberi stigma bahwasannya pantun hanya dimiliki oleh negara tetangga. Kemirisan ini sudah menjadi suatu hal yang sengaja di lumrahkan. Lemahnya filtrasi dari budaya barat melengkapi kebobrokan bangsa yang lupa budayanya.
Mari renungkan sejenak. Apa benar pantun kurang memliki tempat di masyarakat? Atau memang media yang berubah menyesuaikan dengan peradaban. Dan melupakan bahwa pantun juga menjadi sebuah karya megah dan memiliki nilai yang jauh lebih tajam di bandingkan puisi ataupun cerpen. Sekiranya perubahan tanpa mempertahankan jati diri sama saja seperti bangsa yang durhaka pada negrinya.
***
Arief Sinaga, Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Penggiat Sastra